Puluhan orang berkumpul di pelataran Saung Garlic Resto, mengelilingi sosok lelaki yang sibuk menatap layar komputer, mengatur efek pedal, lilitan kabel, membelakangi speaker yang terus mengeluarkan bermacam-macam bebunyian. Suara yang mengingatkanmu akan lengkung besi yang patah, bunyi saat kita login ke komputer, sampai efek game. Semuanya menyeruak ke telinga melalui perpindahan bunyi berfrekuensi tinggi ke rendah dinamis
Keriuhan ini terjadi di Sindudadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Pria yang jadi pusat perhatian dan terus menghasilkan suara itu adalah Taufiq Aribowo. Dia lebih dikenal dengan nama panggung Suffer In Vietnam. Dia menjadi penampil pertama dari sebuah perkumpulan—baik penikmat maupun musisi—dengan satu agenda yang sama: merayakan noise bombing.
Videos by VICE
Tunggu dulu. Apa sih maksudnya noise bombing?
Menurut Indra Menus, salah satu pegiat musik noise senior di Yogyakarta, noise bombing sendiri terinspirasi dari para bomber-bomber grafitti yang berkarya secara insidental di tempat-tempat yang tidak terkira. Meminjam konsep itu, noise bombing menampilkan pertunjukan noise di tempat-tempat yang aneh secara insidentil, seperti di lapangan sebuah universitas ternama yang biasa digunakan untuk jogging atau sebuah food court yang masih sangat sepi.
Hanya saja memang, sepanjang acara yang digelar 15 Januari lalu itu, unsur kejutannya sudah jauh berkurang. Penikmat noise sejak sebulan sebelumnya sudah merancang kegiatan secara seksama. Mereka menamai kegiatan itu Jogja Noise Bombing (JNB). Hampir semua peserta yang tampil sudah saling kenal menjadi teman seperjuangan mengembangkan musik yang luar biasa ‘berisik’ itu. Jadi, acara di Sleman itu lebih menyerupai festival musik alih-alih ‘bombing’ sungguhan.
“Tujuannya untuk mengumpulkan teman-teman sesama penikmat dan pelaku noise untuk membuat ajang silaturahim dan membuka jejaring networking diantara kami untuk mempererat persahabatan,” kata Indra Menus.
Sejak pertama kali Jogja Noise Bombing Festival diadakan, banyak musisi noise internasional terlibat. Di antaranya Azzief dari HKPT (Malaysia) dan S*I*N (Singapura). Keduanya bergabung semenjak JNB Festival pertama pada 2009 lalu, berakhir dengan pengusiran panitia oleh satpam di lokasi acara. Setelah bertahan hingga tahun ke tujuh, semakin banyak nama yang bergabung. Untuk 2017, penampilan yang paling dinantikan pengunjung adalah kolaborasi Raung Jagat dengan Yogyakarta Synth Ensemble.
Setelah Suffer in Vietnam tampil, RupaGangga menarik perhatian pengunjung, dengan menciptakan suara noise dari alat-alat tradisional seperti rebab dan siter. Bahkan dia menggesekkan busur pada alat musik tradisi tersebut sampai benang-benangnya lepas. Penampil lain yang mencuri perhatian adalah Bossbatle.
Duet Sean, musisi Amerika Serikat, dan Rully Shabara dari Indonesia memberi warna baru dalam eksplorasi bunyi. Keduanya mengandalkan instrumen kecil dari Afrika bernama mbira. Sean menggunakan tas untuk membawa alat-alatnya supaya gerak lebih fleksibel dan ditemani oleh Rully yang menggunakan contact mic yang mengitari leher. Dengan alat itu, Rully dapat mengeluarkan suara-suara bahkan tanpa harus membuka mulut.
Hari semakin malam. Tiba-tiba terdengar teriakan provokatif, “KOK NONTON NOISE DUDUK???”
Semua pengunjung sontak berdiri, mengitari meja kotak di tengah halaman. Teriakan itu muncul ketika S*I*N tampil. Crowd berubah chaos. Remon Red, salah satu anggota komunitas dan juga musisi noise ikut tampil bersama. Orang-orang mengitari sebuah meja berbentuk kotak dan melakukan headbang, moshing, hingga stage diving.
Penampil terakhir adalah Raung Jagat dan Yogyakarta Synth Ensemble. Semua pengunjung mendekat, menghayati distorsi-distorsi hasil synthesizer rakitan. Penonton merespon bebunyian itu dipandu oleh Rully, musisi kenamaan Yogya yang juga menjadi motor band Senyawa. “Menggabungkan bebunyian synth dengan suara manusia secara beramai-ramai adalah tantangan yang tentunya menarik bagi kami untuk diwujudkan, juga untuk disaksikan,” kata Rully.
Penonton terlibat aktif dalam penampilan Yogya Youth Ensemble
Kancah noise sudah dirintis di Indonesia sejak 1960-an, terutama atas prakarsa komponis Slamet Abdul Sjukur. Namun, seiring waktu, penikmatnya semakin tersegmentasi. Banyak stigma musik noise itu bising dan pretensius. Indra Menus dan kawan-kawan di Yogya mencoba mematahkan anggapan itu. JNB yang biasanya digelar bareng di gig hardcore, supaya tak diusir satpam, belakangan semakin leluasa menggelar acaranya. Penikmat maupun penampil pun terus bertambah, membuatnya menjadi festival noise terbesar di Indonesia.
Taufiq, penampil sekaligus panitia acara ini, hanya punya satu harapan setelah semua bebunyian hilang malam itu. Setelah yang tersisa hanya dengung di telinga. Sebuah harapan yang sederhana.
“Semoga semakin banyak yang main noise.”