Artikel ini pertama kali tayang di i-D
Yasmeen Mjalli adalah aktivis pembela hak perempuan berdarah campuran Amerika-Palestina sekaligus seorang wirausahawan sosial. Kalau dua predikat ini sudah cukup bikin kalian ternganga, perlu kamu ketahui: Yasmeen adalah seniman pencipta BabyFist Denim, merk jaket denim buatan dan t-shirt hasil kerajinan tangan yang digagas olehnya. BabyFist Denim bukan merk busana standar. Oleh Yasmeen, BabyFist dibikin guna mewarnai perubahan sosial yang dia gagas, #NotYourHabibti. Selepas pindah dari North Carolina ke rumah keluarganya di Rammallah, Yasmeen mengalami pelecehan di jalan-jalan kota itu. Bukannya bikin ciut, pengalaman buruk ini memicu Yasmeen mendirikan sebuah komunitas yang menjadi kanal di mana perempuan Palestina dan Arab dengan bebas tentang beragam tabu yang berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka.
Sadar tingkah polah ala penduduk Amerika Serikat bagian selatan tak diterima di masyarakat Palestina, Yasmeen merasa wajib menyembunyikan sebagian kepribadiannya. “Keramahan di sini kerap dianggap sebagai ajakan melakukan hubungan seksual, jadi aku harus agak mengeremnya,” jelas Yasmeen pada i-D. “Aku benci diriku yang baru.” dia lantas mulai mendalami masalah ini dan mengundang perempuan lain untuk berbagi cerita tentang pelecehan seksual yang kerap mereka terima di jalan. Melalui Typewriter Project, Yasmeen terus mengumpulkan cerita-cerita perempuan dari jalan dan duinia maya. Nantinya, bagian dari cerita-cerita ini akan ditampilan dalam instalasi seni multi-kota yang bakal di pajang tahun ini.
Videos by VICE
Yasmeen bercerita, “semuanya bermulai dari sebuah jaket.” Saat pertama kali Yasmeen menuliskan “Not Your Habibti” di jaket denimnya, dirinya belum berpikir akan memulai aktivitas yang bersifat global. Dia cuma pernah melihat frase “Not Your Baby” bersliweran di media sosial. Namun, Yasmeen mencari ungkapan yang lebih tepat dengan identitasnya sebagai perempuan Arab dan perjuangannya mendamaikan feminisme modern dengan stereotip serta batasan peran gender di masyarakat Arab. BabyFist Denim pun akhirnya lahir bersama diskusi filosofis tentang makna menjadi perempuan di zaman kiwari.
Menurutmu bagaimana fesyen dan aktivisme bisa saling menguatkan satu sama lain?
Menurut saya, fesyen punya kekuatan yang luar biasa, apalagi bila disandingkan dengan struktur dunia media sosial saat ini. Salah satu cara paling cepat untuk memviralkan sebuah tren adalah lewat fesyen. Waktu saya memulai BabyFist, isu yang memancing munculnya pergerakan perempuan di sini adalah pelecehan yang kerap terjadi di jalanan. Dan, pelecehan ini konon berasal dari apa yang kamu kenakan—atau apa yang kamu pikir kamu kenakan. Kamu bakal mikir jika kamu menutup tubuhmu atau memakai baju dengan warna tertentu atau mengenakan jins model tertentu—entah apapun itu—kamu akan relatif terhindar dari pelecehan seksual.
Bagi banyak perempuan, tiap kali kamu keluar rumah, kamu memakai pakaian yang mengekspresikan siapa dirimu. Kamu memakai busana sedemikian rupa agar bisa mencegah atau meminimalisr peluang terjadinya pelecahan seksual. Menurut saya, itulah salah satu alasan kenapa saya memulai semua ini. Saya ingin membuat karya fesyen yang ekspresif sekaligus bisa berfungsi sebagai sebuah penyataan akan sebuah gerakan yang lebih besar dan bisa diikuti semua orang. Kamu memakai busana ini bukan lantaran kamu takut atau ingin menutupi tubuhmu. Kamu mengenakannya karana kamu ingin menunjukkan kamu mendukung apa yang diperjuangkan gerakan ini.
Kenapa kamu merasa harus membatasi proses produksi di BabyFist di kawasan Gaza dan Tepi Barat?
Saya tertarik bekerja di Gaza setelah saya tahu bahwa volume produksi tekstil di sana cuma 1/13 volume sebelum Gaza diduduki Israel. Kini, ada semacam upaya untuk menghidupkan kembali industri tekstil Gaza dan menghubungkan kota ini dengan dunia luar. Gaza punya sumber daya dan kemampaun yang memadai. Yang tak mereka punya adalah kesempatan memproduksi produk fesyen untuk kalian.
Saya mengontak sebuah organisasi yang menghubungkan saya dengan beberapa produsen yang membuat jaket-jaket denim di Gaza. Jaket-jaket ini kemudian dibawa ke West Bank, ke Ramallah, lalu dibordir dengan tangan oleh koperasi yang terdiri dari 25 perempuan—di antaranya adalah ibu dan istri—yang mendedikasikan tiga sampai empat jam sehari saat anak-anak mereka sedang di sekolah dan suami-suami mereka di kantor, untuk mendapatkan penghasilan tambahan untuk keluarga mereka. Kedua puluh lima perempuan ini terpencar di berbagai desa di luar Ramallah. Kaus-kaus kami juga dibuat di Ramallah.
Bagaimana pendudukan Israel berperan dalam feminisme dan aktivisme sosial di Palestina?
Ada gagasan bahwa perempuan-perempuan Palestina merupakan kendaraan atau wadah bagi tradisi. Kami adalah simbol dari tradisi dan identitas [bangsa], yang sayangnya digunakan sebagai cara untuk membelenggu perempuan-perempuan dalam peran gender yang tradisional. Jika kami ingin mempertahankan identitas kami selama pendudukan Israel, itu berarti mempertahankan makna perempuan dalam identitas tersebut. Ini berarti jika kami ingin tetap menjadi orang Palestina dan menunjukkan pada dunia bahwa kami masih ada, perempuan masih harus menjadi ibu, perempuan masih harus mengurus rumah, perempuan masih harus menjahit, dan melakukan segala hal yang dianggap sebagai tradisi Palestina dalam upaya mempertahankan budaya yang terancam. Hal ini sebenarnya keliru, tidak adil, dan kontraproduktif. Yang ada malah membuat budaya kami menjadi stagnan dan tidak berkembang, tidak berevolusi. Hal ini bisa menghambat budaya yang tadinya sangat berwarna.
Di samping itu, pemerintah kami dan banyak warganya menggunakan pendudukan Israel sebagai alasan untuk tidak memerhatikan isu-isu sosial yang genting. Banyak sekali perempuan mendatangi saya saat saya sedang di jalan, dan banyak laki-laki mengirimkan DM di Instagram, intinya bertanya: “Bagaimana bisa kamu memperjuangkan kesetaraan gender saat kita harus berjuang melawan pendudukan [Israel]? Kita harus mengatasi pendudukan ini dulu, lalu setelah kita merdeka, kita bisa mengurus isu-isu sosial.” Itu sangat tidak adil, dan sebuah alasan patriarkis untuk mempertahankan kekuasaan.
Pendudukan ibarat karpet; kami menyapu segala isu sosial dan budaya yang ada ke bawahnya. Selama 70 tahun pendudukan, berapa banyak generasi perempuan yang selama hidupnya menghadapi penindasan dan diskriminasi berbasis gender? Kami tidak bisa terus-terusan menggunakan pendudukan sebagai alasan untuk mengabaikan isu-isu kesetaraan gender. Saya tidak mau menjadi generasi yang seumur hidupnya menghadapi penindasan berbasis gender yang dilalui nenek moyang saya dulu.
Apakah kamu merasa identitasmu sebagai feminis dan identitasmu sebagai orang Arab bertabrakan atau tumpang tindih?
Ada banyak aspek indah pada budaya Arab—tradisi, budaya, bahasa. Sayangnya, kami keliru saat bagian-bagian tertentu dari tradisi kami dengan penindasan. Dalam upaya membedakan diri kami dari warga dunia, terutama Barat, kami berpegang teguh pada identitas ini yang sangat menindas perempuan. Bagaimana saya bisa menjadi orang Arab dan seorang feminis saat keduanya terkesan saling bertabrakan? Saya paham bahwa budaya Arab bukan budaya yang menindas secara inheren. Hanya saja, kami telah menjadikannya demikian dengan menyalahartikan dan keliru memahami siapa diri kami sesungguhnya.
Sebagian besar karya saya berkutat seputar argumen bahwa seseorang bisa menjadi seorang feminis, Arab, dan Palestina sekaligus. Perjalanan saya adalah untuk menyediakan ruang bagi perempuan-perempuan untuk maju dan mendiskusikan betapa mereka ingin menjadi seorang feminis namun kesulitan karena mereka seorang Arab, Muslim, atau Palestina, dan Emangnya bisa jadi dua-duanya? Apa iya mungkin? Saya ingin mereka tahu bahwa hal itu sangatlah mungkin, dan bahwa perasaan mereka sah, dan bahwa ada komunitas yang akan mendukungmu dan merayakanmu kalau kamu memutuskan untuk menjadi keduanya. Karena seharusnya kita tidak perlu memilih.