Memori Anak-Anak Curian Dari Timor Leste

Delina semasa kanak-kanak tak pernah suka mengenakan rok dan berambut pendek. Sehari-hari dia lebih nyaman memakai celana dan kaos oblong. Selalu lupa waktu saat sedang bermain, senang berlari, dan sering berkeringat. “Mama selalu marah kalau saya telat makan. Pulang sekolah langsung main. Lari-lari,” katanya. Delina ingat betul, tempat tinggalnya hanyalah rumah panggung yang dibuat seperlunya. Rumah itu dihuni empat kepala keluarga. Ada nenek, ada pula paman dan tantenya. Tak ada sekat dalam rumah. Hanya ada beberapa kasur. Seluruh anggota keluarga selalu ikut memasak dan makan bersama.

Di sekeliling rumah Delina, seingatnya, ada petakan lahan jagung. Beberapa titik ditanami kopi. Beberapa ekor kambing menjadi peliharaan keluarga. “Bapak saya kadang-kadang beli kambing, dipelihara sebentar lalu dijual kembali,” katanya.

Hidup berjalan apa adanya di Timor. Bapaknya bernama Maleki dan Ibunya bernama Daufoni. Delina adalah anak sulung. Adik laki-lakinya bernama Dominggus, saat itu berusia sekitar 4 tahun. “Kalau malam saya suka tidur dekat-dekat adik. Atau tidur dekat bapak,” ujarnya.

Semua itu adalah kenangan tiga puluh sembilan tahun lalu. Sebelum kehidupan lama Delina terenggut akibat aneksasi Indonesia di Timor Leste. Sebelum dia diambil paksa oleh Tentara Nasional Indonesia, lalu diangkut ke Sulawesi Selatan.

Sosok prajurit TNI bernama Adi Muhammad Amin mengubah arah nasib Delina. Di Aramesiu, sebuah camp tentara yang cukup besar didirikan. Sekira 500 meter dari lokasi markas tentara, rumah Delina berdiri.

Videos by VICE

Amin kerap berjalan-jalan ke sekitar camp. Suatu hari, dia melewati sekolah dasar tempat Delina belajar. Amin melihat Delina lalu menggendongnya begitu saja. Delina menolak digendong paksa. “Saya gigit itu pundaknya tentara dan lari pulang ke rumah,” kata Delina.

Berkali-kali Amin mengulangi upaya mengambil Delina. Baik di sekolah maupun ke rumahnya langsung. “Bapak saya takut karena [Amin] akan membunuh semua orang kampung kalau saya tidak ikut. Jadi saya ke camp itu, kalau Pak Amin sudah tidur saya lari lagi pulang,” kata Delina.

Keganjilan sikap Amin mencapai puncaknya saat mendatangi orang tua Delina untuk terakhir kali. Masa tugasnya berakhir sebagai serdadu Operasi Seroja. Dia meminta izin membawa Delina pergi ke Sulawesi, Indonesia. Ibu Delina tak rela mendengar permintaan itu lalu pingsan. Karena kata-kata tak berhasil membujuk orang tua Delina, Amin berbicara dengan moncong senjata. Akhirnya tuntutan diterima. Delina diantar bapaknya hingga ke Pelabuhan Ibu Kota Dili. “Saya masih ingat muka Bapak penuh air mata, waktu tinggalkan saya di kapal. Dia tak bilang apa-apa. Dia berdoa saja, semoga saya sehat dan rajin sekolah dan bisa pulang ke Timor.”

Menjelang siang, kapal yang memulangkan para serdadu itu akan berangkat. “Saya lihat Bapak turun dari kapal. Dan kapal sudah bergerak, saya menangis terus,” kata Delina.

Amin, yang mulai gusar dengan tangisan anak kecil itu, naik pitam. Tangan sang prajurit meraih tengkuk Delina, lalu sepersekian detik, Amin menghantamkan kepala Delina ke tembok kapal. “Saya pakai bahasa kampung dan bilang ‘kenapa bapak jadi jahat, di kampung hanya pura-pura baik,’” kata Delina.

Saya menemui Delina di Sulawesi Selatan awal Februari lalu. Delina berusaha membuka kembali pintu masa lalunya. Mencoba menggali semua kenangan yang disimpannya di kepala. Beberapa kali dia harus merapatkan punggung di sofa atau menunduk, lalu mengusap wajahnya. Akhirnya, dia menerima kenyataan telah banyak melupakan detail-detail kampung halamannya. “Nama kampung saya itu, Susekar, atau Malmera, atau Remeksio. Kalau disebut-sebut bunyinya seperti itu,” katanya. Di Timor Leste, nama kecil Delina adalah Kauka. Dia dan keluarganya menganut Katolik Roma. “Saya belum dibaptis. Kata bapak nanti kelas lima SD.”

Pada saat Delina diangkut paksa naik kapal, Indonesia dalam proses “mengintegrasikan” Timor Leste menjadi wilayahnya. Beberapa sejarawan menyatakan istilah invasi lebih tepat untuk Operasi Seroja dan rangkaian peristiwa di Pulau Timor pada 1975. Kurang dari setahun, tepatnya pada pada 17 Juli 1976, pemerintah pusat di Jakarta mengumumkan Timor Leste sebagai Provinsi ke-27 Indonesia. Namanya diubah menjadi Timor Timur.

Gejolak politik dan pendudukan militer di Timor Leste oleh Indonesia menghancurkan ribuan mimpi anak-anak. Keluarga tercerai berai. Setelah derap sepatu lars para prajurit tak lagi mendominasi Bumi Timor Loro Sae, yang tertinggal adalah ribuan jenazah tergeletak di hutan, di pinggiran kampung, atau di aliran-aliran sungai.

***

Pada 1974, sebelum Operasi Seroja terjadi, di Timor Leste berdiri tiga partai politik; Uniao Democratica Timorense (UDT – Persatuan Demokratis Timor) yang menginginkan kelanjutan hubungan wilayah ini sebagai koloni Portugal.Lalu ada FRETELIN menuntut kemerdekaan segera. Serta Assosiacao Popular Democratica Timorense (Apodeti—Perkumpulan Kerakyatan Demokratis Timor) yang menginginkan integrasi dengan Indonesia. Atas dalih mendukung aspirasi Apodeti, Indonesia mengirim pasukan merebut seluruh wilayah Timor Leste.

Integrasi dan pendudukan militer Indonesia di Timor Leste bertahan hingga 1999 atau setelah diadakan jajak pendapat yang kini tercatat dalam sejarah. Timor Timur memilih memisahkan diri dari Indonesia. Selama 24 tahun, kekacauan dan ketakutan terlanjur menyebar di setiap penjuru Timor. Alasan pemerintah RI saat itu memaksakan integrasi di Timor Leste karena ketakutan FRETELIN semakin kuat, lalu menyebarkan paham komunis di Timur Indonesia.

Selama Operasi Seroja, sasaran utama militer adalah anggota dan simpatisan FRETELIN. Akibatnya, warga yang dituduh terlibat FRETELIN ditembak mati. Miggel Jusril Amral di tahun pertama integrasi masih 12 tahun. “Keluarga saya adalah FRETELIN. Kami melawan. Kami mengungsi. Saya juga bawa senjata, kami tak mau ditangkap,” katanya.

Miggel tinggal di kampung Ailiu, Desa Lahai, yang pada 1976 mulai dimasuki tentara Indonesia. Kampung dibakar. Orang-orang berlari menyelamatkan diri. Mengungsi ke kampung tetangga atau masuk ke hutan. Miggel memilih masuk hutan. Ada ribuan orang yang terdesak melakukan hal sama. “Di hutan orang-orang bertahan dengan tidur di sela-sela akar pohon besar. Atau buat pondok kecil untuk bernaung. Anak-anak dipeluk orang tuanya kalau malam. Malam hari dingin sekali,” katanya.

Hutan persembunyian itu dikelilingi oleh pos tentara. Tak ada jalan keluar. Sekali waktu ada pesawat datang menjatuhkan bom. Kali lain meriam mengobrak-abrik lokasi persembunyian. Setahun di dalam hutan persediaan makanan mulai berkurang, bahkan habis. Ribuan orang dalam pelarian bertahan seadanya. “Kalau kami dapat pisang, saya bahkan tak kupas lagi kulitnya. Makan dengan kulit supaya bisa tahan lama,” kata Miggel. “Saya lihat sendiri, orang-orang yang tadinya gemuk. Badan bagus, perlahan jadi kurus kering. Dan tak bisa lagi bergerak. Setiap hari selalu saja ada yang mati, minimal dua sampai tiga orang.”

“Kalau sudah begitu, kami ambil kulit kayu. Mayat kami bungkus. Lalu kubur tidak dalam, sekitar setengah meter saja. Orang-orang sudah tak ada kekuatan menggali.”

Miggel kini di Takalar, Sulawesi Selatan. Foto oleh penulis.

“Empat sampai lima hari, mayat yang dikubur tidak dalam tanahnya akan terangkat. Lututnya sudah membengkok naik. Biasanya kalau begitu saya dan teman-teman ambil batu atau kayu besar, untuk tekan lagi,” kata Miggel. “Saya juga beberapa kali lihat mayat-mayat itu digali anjing. Biasanya potongan tubuh sudah terpisah-pisah. Mau bagaimana lagi. Sedih sekali.”

Miggel Jusril Amral adalah namanya di Timor Leste. Nama baptisnya Mautersa. Dia lahir 10 Oktober 1966. Tapi di KTP Indonesia tertulis 10 Oktober 1976. Saya menemui Miggel di rumah dinasnya, dekat Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, sebagai seorang tenaga pengamanan.

Miggel adalah pria ramah dan suka bercanda. Tapi mengingat semua masa kelam di Timor Leste, serupa membuka jahitan luka yang sudah mengering. “Tidak ada guna perang. Tidak ada gunanya. Hanya penderitaan yang kita dapat,” katanya.

Kebengisan perang atas nama integrasi dirasakan pula Maukunda Dominggus. Pada 1976, kampungnya dekat Gunung Ailora diluluhlantakkan militer Indonesia. Pertama tembakan meriam, lalu pesawat menghadiahkan bom.

“Saya dan keluarga masuk ke hutan. Saya berpisah dengan bapak. Saya jalan bersama ratusan orang. Ada juga Mamak,” kata Maukunda.

“Hampir setahun di hutan, Mamak saya meninggal. Orang-orang mulai kelaparan. Kami akhirnya menyerahkan diri. Turun menuju Kota Maubesi.”

Di Maubesi, Maukunda kecil berjalan tanpa arah. Seorang tentara Batalyon Infanteri 725 dari Sulawesi Tenggara melihatnya. Prajurit itu menawarinya ikut bersama. “Waktu itu saya jawab mau. Karena bahasa Indonesia yang saya tahu hanya ‘mau’ dan ‘tidak mau’,” katanya.

Nama prajurit itu Karman. Sebuah tas punggung diberikan pada Maukunda. “Saya ambil tasnya. Terus disuruh bawa ke atas gunung camp tentara.”

Seperti Delina dan Miggel, Maukunda kemudian diangkut ke Sulawesi.

***

Pertemuan ketiga anak itu dengan personel militer Indonesia, menjadi awal perjalanan panjang yang mengubah nasib mereka. Maukunda dan Miggel menjadi Tenaga Bantuan Operasional (TBO) di kamp prajurit TNI. Menjadi TBO jelas tak mudah bagi anak-anak seperti mereka. Setiap hari di camp tentara mereka membantu memasak, mencuci pakaian dan membawa tas saat operasi militer dilaksanakan. Maukunda ingat betul, ketika dia mengeluh kesakitan, para tentara akan membentaknya. Kena pukul dan digampar adalah makanan sehari-hari.

Pundak yang membawa tas berisi peluru dan makanan prajurit harus selalu terjaga. “Itu pundak selalu lecet, dan berdarah juga. Kaki juga bengkak,” kata Maukunda.

Berbulan-bulan Maukunda bergerak bersama prajurit Karman. Pada sebuah siang di Kampung Pahineang, Karman tertangkap milisi Timor. Kedua tangan dan kakinya dipotong. Sehari kemudian, sebuah helikopter menjemput dan memulangkannya.

Maukunda dan keluarga di Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Maukunda menjadi sebatang kara. Prajurit bernama Adi Muhammad Amin menawarinya ikut bersama. Ketika kesatuan Infantri 725 ditarik, Maukunda menuju Aramesiu sebelum melanjutkan perjalanan ke Dili bersama pengasuhnya.

Di kapal perang itu ada puluhan anak-anak Timor yang dibawa serta prajurit. Mereka saling jumpa dan meratapi nasib. Delina dan Maukunda selanjutnya menjadi saudara angkat karena dibawa oleh satu orang yang sama: Andi Muhammad Amin.

Tiga hari perjalanan, kapal bersandar di Kendari. Delina dan Maukunda ikut turun bersama Amin. Beberapa hari di Kota Kendari, mereka selanjutnya menuju Kolaka, singgah di Bone dan Enrekang, untuk kemudian menetap di Polmas—sekarang Sulawesi Barat.

Di Polmas, Delina dan Maukunda menjalani hari-hari panjang penuh kerja kasar. Beruntung Maukunda kembali sekolah. Delina tidak. Dalam keluarga baru itu, tugas dua anak kecil ini mengurusi kebutuhan rumah tangga. Memasak, membersihkan, mencuci, dan merawat enam orang anak majikan. Tak ada kasur untuk dua bocah asal Timor itu. Lantai semen tanpa bantal adalah kasur mereka. “Kalau sarapan terlambat, bapak (Amin) selalu marah dan memukul. Beberapa kali kepala saya berdarah. Badan biru-biru,” kata Delina.

Tiga tahun bersama sang prajurit, seorang kerabat Amin melihat penderitaan Delina. “Saya dikirim ke Soppeng dan lalu ikut ke Takalar dengan Mawardi Hasan (Anggota TNI) keluarga Pak Amin juga,” kata Delina.

Di Takalar, Delina akhirnya mengenyam pendidikan hingga SMP. Saat masuk sekolah dasar, dia bertemu Miggel. “Saya senang sekali waktu itu. Ketemu orang sama-sama dari Timor,” kata Miggel.

Bertahun-tahun kemudian, Delina bekerja di sebuah perusahaan pembibitan jamur di Malino. Minggel sempat menjadi tukang ojek, sebelum menjadi satpam sekolah. Maukunda menikah dengan seorang perempuan Enrekang di Luwu Utara, mengolah beberapa petak lahan.

“Tahun 2008, saya menikah dengan bapak (Mawardi Hasan). Karena itu amanah dari ibu (istri Mawardi). Sampai sekarang belum diberi keturunan,” kata Delina.

Saat ini Delina, tinggal di kompleks TNI Kodam II, Jalan Rudal 1 B2/6 Makassar. Mawardi sudah pensiun dari dinas ketentaraan. Mereka membuka usaha toko kelontong. Barang kebutuhan sehari-hari itu diletakan dalam sebuah lemari kaca yang membuat sempit ruang tamu mereka.

Kini Delina berpindah keyakinan menjadi Islam. Harapan menjalani ritual baptis yang dulu urung dilakukan sepenuhnya sirna. Dia juga menjadi warga negara Indonesia. Di KTP-nya tertulis kelahiran Dili 1 September 1970. Sementara Miggel Jusril Amral berubah nama menjadi Untung. Dia tinggal di Takalar bersama lima orang anak. Lalu Maukunda Dominggus menjadi Arifin Amin, tinggal di Baebunta, Luwu Utara, dikaruniai tujuh anak.

Tiga orang ini akhirnya menjalani hidup mereka masing-masing. Hingga menjelang 2015, sebuah lembaga yang bergerak dalam pengungkapan kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia, Asia Justice And Right (AJAR) mencari korban pemindahaan anak-anak dari Timor Leste sepanjang kurun 1975 hingga 1999. Data Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR) memperkirakan 4.534 anak dipindah paksa ke Indonesia akibat proses integrasi Timor Timur. Anak-anak ini diculik oleh lembaga-lembaga keagamaan, militer, atau bahkan orang per orang. Anak-anak curian dari Timor itu sekarang tersebar di hampir seluruh pelosok Indonesia.

Pemerintah Indonesia mengakui program asimilasi yang dilakukan terhadap anak-anak asal Timor Leste selama pendudukan. Yayasan Supersemar pernah secara simbolis menyerahkan bantuan kepada “anak-anak asuh” asal Timor Leste. Acara itu dihadiri langsung Presiden ke-2 Soeharto. Namun angka pasti anak yang diangkut tak pernah diumumkan. Tak ada permintaan maaf resmi dari TNI maupun pemerintah atas peristiwa penculikan massal tersebut.

Di Sulawesi Selatan, Nasrum melakukan pencarian anak-anak Timor Leste yang diculik selama proses integrasi. Dia adalah Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS) Sulawesi yang bekerja sama dengan AJAR. Nasrum menemukan setidaknya 34 orang korban pemindahan paksa semasa kecil di wilayahnya. Pada Mei dan November 2016, sebanyak 17 orang dipertemukan dengan keluarga mereka di Timor Leste selama 10 hari. Lantas 17 orang lainnya masih dalam tahap pencarian keluarga di kampung halamannya. “34 orang itu adalah mereka yang sudah didokumentasikan. Masih ada beberapa yang belum. Saya kira jumlah ini akan terus bertambah, karena beberapa informasi terus masuk,” kata Nasrum.

“Singkatnya ini adalah program reuni keluarga antara orang Timor Leste yang ada di Indonesia dan yang ada di Timor,” imbuh Nasrum.

“Sekarang pasti Dominggus sudah besar. Sudah tua juga mungkin. Atau punya anak,” kata Delina. Bagi korban penculikan sepertinya, upaya AJAR mempertemukannya kembali dengan keluarga di kampung halaman seperti kabar yang membangunkan dari mimpi buruk berkepanjangan.

“Waktu saya tahu ada program ini, saya tak bisa tidur selama tiga hari. Saya senang sekali. Sepertinya saya lupa makan,” kata Delina. Senyum merekah dari wajahnya.

“Wajah mamak dan bapak, juga adik bergantian datang. Semoga saya bisa injak kembali tanah lahir saya.”