Travel

Memotret Komunitas Punk, Remaja Putus Sekolah, dan Geng Motor Okinawa

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Japan

Siapapun dapat langsung merasakan aura intim dari karya-karya fotografi Ryuichi Ishikawa. Kita merasa akrab, sekalipun tak paham latar belakang subyek fotonya. Barangkali itu memang bawaan sifat Ishikawa. Dia supel sekali, mudah bergaul bahkan dengan orang yang baru bertemu. Rasa intim itu membuat seri fotonya terasa menonjol dan kuat. Ishikawa memotret orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat; mereka yang mencoba bertahan hidup di sudut terpencil Kepulauan Okinawa, Jepang.

Videos by VICE

Orang-orang yang dipotret Ishikawa bukannya kaum pariah. Mereka justru merasa nyaman dengan status sosial sebagai kaum terpinggirkan.

Redaksi VICE ngobrol bersama Ishikawa membahas persiapan peluncuran buku kumpulan foto ketiganya. Untuk buku terbaru, dia sepenuhnya fokus mengangkat wajah-wajah penghuni Okinawa yang selama ini terabaikan. Mulai dari pengangguran, remaja putus sekolah, komunitas BMX, anak punk, hingga anggota geng motor. Mereka semua dengan bangga disebut Ishikawa sebagai sahabatnya.

VICE: Apa sih konsep utama atau benang merah dari kumpulan foto terbarumu?
Ryuichi Ishikawa: Sebenarnya tidak ada konsep utama yang saya usung. Saya hanya mengumpulkan snapshot dan potret manusia yang paling saya suka. Tapi, sebisa mungkin foto yang masuk buku kali ini punya kualitas menggetarkan. Definisi menggetarkan itu adalah kalau saya sukses menangkap momen liar, sampai saya sendiri akan berkomentar ketika menyaksikannya, “njing, ini apa-apaan?!”

Menurut saya, unsur paling menonjol dari foto-fotomu adalah subyeknya. Mereka bisa terkesan hidup di luar hukum atau berangasan. Gimana caramu bisa mendapat foto mereka?
Sejujurnya nih, kecuali anggota bōsōzoku (geng motor-red), mereka semua masih kawan nongkrong atau malah saudara jauh saya. Biasanya kami ngumpul-ngumpul bareng di halaman parkir dekat rumah. Nah, di lokasi yang sama itulah, anak motor beberapa kali mampir. Lama kali, saya penasaran sama anak-anak bōsōzoku. Mereka tuh menarik banget lantaran berisik kalau lagi konvoi ataupun ngumpul. Tadinya saya sebel sih, karena mereka ngeselin kalau ribut. Niatnya pengin mengingatkan mereka supaya jaga situasi, biar sama-sama enak lah dengan komunitas lain. Eh, saya malah jadi akrab terus akhirnya malah saya foto-fotoin juga. Dalam buku ini, kalau fotonya hitam putih berarti saya ambil 2009. Selebihnya kalau berwarna berarti saya potret sekian tahun belakangan.

Emangnya kamu enggak takut sama anak-anak bōsōzoku?
Ya pastinya lumayan keder lah pas kenalan sama geng motor [tertawa]. Kedernya tuh lebih karena saya enggak kenal sama sekali satupun dari mereka. Bukan temen tongkrongan soalnya. Cuma kebetulan beberapa kali pernah mampir di sela konvoi ke parkiran kami. Lucunya, mereka enggak segahar tampangnya. Pas saya minta izin mau motret mereka, eh, sebagian panik. Alasannya motor mereka enggak ada plat nomornya.

Wah, geng motor taat hukum dong. [Tertawa]
Unik kan?! [tertawa]. Belakangan saya paham, sebagian anggota geng motor itu SMA aja belum. Jadi emang masih bocah. Lambat laun, mereka mau membuka diri. Beberapa hari kemudian, ada yang nyamperin, minta saya datang ke gudang dekat rumah. Tadinya saya mikir, ‘waduh, ngapain anak motor pada nyariin gue’, eh ternyata mereka pengin lebih akrab aja. Ngajak tukeran nomor ponsel, bahkan mengabari dan menawari saya ikutan pas mereka konvoi.

Wah, syukur deh. Kamu pasti sempat mikir bakal diculik di gudang.
Iyalah, [hahahaha], rasa takut itu pasti ada. Intinya begitulah ceritanya makanya ada foto saya naik skuter beriringan sama gerombolan bōsōzoku. Saya memotret dengan tangan kiri, sementara tangan kanan megangin gas. Foto itu bisa dibilang simbolisasi dari estetika fotografi saya.

Kamu enggak cuma peduli sama geng motor. Berbagai komunitas anak muda lainnya juga dipotret, terutama mereka yang marjinal.
Alasannya barangkali karena saya pengin foto-foto saya bisa menghadirkan subyek yang dipahami secara universal. Siapapun yang melihat foto tadi bisa langsung paham. Plus, saya juga merasa langsung nyambung pas nongkrong sama anak motor atau anak dugem. Dalam beberapa hal, saya sama aja kayak mereka. Punya rasa frustrasi melihat dunia, punya rasa marah, dan kami membenci orang dewasa maupun masyarakat secara umum. Kami merasa lingkungan ini munafik, kesamaan perasaan itu menyatukan kami. Makanya, kalau ditanya alasan, pas sekian tahun lalu mengumpulkan foto-foto tersebut, saya enggak akan bisa menjawab atau kasih alasan. Soalnya niatan saya bukan bikin proyek foto kayak gimana. Pokoknya saya motret teman nongkrong aja yang menarik perhatian. Sesederhana itu.

Kenapa sih kamu bisa akrab sama komunitas yang beda-beda— mulai dari bōsōzoku, anak party, komunitas punk, skater, dan lain sebagainya.
Alasanku sederhana. Mereka semua adalah sosok yang menarik. Enggak ngebosenin. Saya biasa mikir seseorang tuh menarik apa enggak, barangkali karena udah kelamaan bawa kamera ke mana-mana tiap nongkrong bareng. Makanya, kalau mereka seru, pasti langsung saya potret. Itu sudah saya lakukan sejak masih tinggal di Kota Nara. Sampai pindah ke Okinawa, kebiasaan tersebut masih terbawa. Saya udah biasa nongkrong sama komunitas yang berbeda-beda.

Selain itu, punya kenalan dari latar belakang yag beragam, termasuk mereka yang marjinal, memberi kekayaan pada bahan foto saya. Saya punya bawaan lebih suka memotret manusia dalam kondisi paling alaminya. Maksudnya, dalam momen mereka merasa terbebaskan, jadi diri sendiri. Contohnya nih, saya demen memotret ekspresi anak-anak yang lagi clubbing. Karena mereka jujur banget di tempat itu. Padahal sehari-hari mereka mungkin punya kerjaan lain, kerjaan yang ngebosenin macam pegawai kantoran atau sales. Saya enggak kepikiran memotret mereka saat melakoni profesinya itu. Ketika mereka jadi diri sendiri dan menikmati hidup, baru tuh mereka layak banget dipotret.

Di Tokyo, komunitas marjinal makin sedikit saja. Apakah subyek fotomu masih ada di Okinawa sampai sekarang?
Sama saja sih. Geng motor di Okinawa makin berkurang saja. Enggak sebanyak dulu anggotanya. Tapi menurut saya akan selalu ada anak-anak pembangkang, yang melawan nilai arus utama, karena ketimpangan di Okinawa. Anak muda baru lulus di Okinawa rata-rata dapat gaji 160 ribu Yen per bulan (setara Rp20 juta). Gaji segitu mana mungkin bisa buat hidup. Tapi orang dewasa selalu menuntut kami bekerja lebih keras. Mereka menganggap anak muda malas-malasan saja. Di sisi lain, ada orang tua ongkang-ongkang kaki dapat duit banyak hanya dengan menyewakan tanahnya ke pihak militer Amerika Serikat yang bikin pangkalan di sini. Masyarakat Okinawa sangat kacau akibat ketimpangan ekonomi. Kami semua ikut merasakan dampak ketimpangan tersebut.

Apakah sebagai anak muda yang pernah tumbuh besar di Okinawa, kamu juga merasakan rasa frustrasi tersebut?
Saya cukup depresi setelah lulus SMA, enggak tahu mau jadi apa. Dulu di sekolah saya sempat menekuni tinju. Bahkan terpikir untuk jadi atlet profesional kalau lulus kelak. Tapi kemudian saya sadar, atlet karirnya pendek. Hari tuanya enggak terjamin. Saya makin stres. Saya sempat pengin banget jadi petinju. Setelah impian tinju saya kandaskan sendiri itulah, saya menekuni fotografi. Keputusan belajar motret diambil setelah hidup saya kacau. Dulu saya sempat lama tiap hari cuma mabuk-mabukan. Kerjaan saya coret-coret tembok sekolah, dan mecahin kaca rumah orang. Pas nyadar, ‘wah gue enggak bisa hidup begini terus’ mendadak aja aku beli kamera. Kemudian aku berikrar harus bisa motret.

Jadi kamu tuh akhirnya memotret gara-gara depresi pas menapaki karir tinju? Tapi kan kamu akhirnya menang penghargaan foto Kimura Ihei pada 2015, apakah sekarang kamu mulai merasa pede menyebut diri fotografer?
Enggak juga. Maksudku, emang ada perbedaan. Aku lebih sering diwawancarai media karena menang penghargaan. Tapi ya gimana, saya sampai sekarang masih belum yakin bisa hidup layak mengandalkan fotografi doang.

Memangnya kamu kerja apalagi selain motret untuk mencukupi kebutuhan hidup?
Ya motret doang [tertawa]. Sejujurnya, saya sendiri enggak tahu kenapa bisa bertahan hidup selama 10 tahun terakhir. Padahal saya enggak pernah kerja beneran lho, artinya kerja tetap gitu. Terus, honor motret juga enggak cukup buat hidup layak. Kayaknya saya emang beruntung aja masih bisa hidup sampai sekarang. [Tertawa]

Oke, katakanlah kamu masih punya obsesi sama fotografi, apakah kamu punya ambisi menampilkan sisi tertentu dari Okinawa?
Saya memotret hal-hal universal, yang bisa kalian temukan di manapun. Enggak cuma Okinawa. Makanya, yang penting, semua yang saya abadikan lewat kamera harus bersinggungan sama hidup saya dulu. Lokasinya enggak penting. Selama ada momen yang bisa memunculkan ide atau sensasi liar, aku pasti akan menekan shutter.