Gatot Indro Suranto berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang pertemuan di Hotel Borobudur yang terletak di Jakarta Pusat. Raut mukanya sedikit tegang. Setelah memilih tempat duduk dekat pintu masuk, Gatot berusaha untuk tenang. Sesekali ia tampak bercengkerama dengan seseorang yang duduk di sampingnya.
Gatot adalah salah seorang penyintas dalam serangan bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang dan melukai 209 lainnya. Pagi itu Gatot beserta 50 penyintas lainnya menghadiri pertemuan antara mantan narapidana terorisme dan korban yang digagas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Bukan hal mudah bagi Gatot untuk bisa menghadiri acara tersebut. Wajar jika raut mukanya sedikit tegang. Trauma masih berkelebat dalam benaknya.
Videos by VICE
“Saya sedang mengendarai sepeda motor saat serangan bom terjadi,” ujar Gatot sedikit gugup. “Sepanjang waktu saya mencoba berdamai dengan kejadian itu, namun kadang saya masih trauma.”
Gatot berada di waktu dan tempat yang salah ketika bom TNT seberat 1 kg dan bom RDX berbobot 50 kg meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club di jalan Legian, Kuta pada pukul 11 malam, 12 Oktober 2002. Ia mengaku hanya kebetulan lewat di jalan itu saat bom meledak. Serpihan kaca melukai tangan kiri dan dadanya. Ia pingsan.
Yang Gatot tahu setelahnya, ia menghabiskan enam minggu di rumah sakit dan menjalani rangkaian operasi untuk membuang serpihan kaca dan membersihkan paru-parunya. Rekan-rekan sesama penyintas lantas memanggilnya Gatot Kaca, yang diambil dari sebuah mitologi Jawa. Bekas luka parut akibat serpihan kaca masih tampak di tangan kiri Gatot.
Amat wajar jika Gatot memiliki dendam kesumat terhadap teroris yang merenggut nyawa dan melukai orang lain. Tapi Gatot tidak sepicik itu. Ia memilih berdamai. Ia lebih memilih untuk berusaha merangkul para teroris. Gatot bergabung dengan Yayasan Isana Dewata yang fokus membantu para korban teroris dan menebar perdamaian.
“Saya sengaja datang ke sini untuk memperjuangkan hak-hak korban.” kata Gatot saat saya temui di luar ruangan. Kali ini nada bicaranya sedikit cair. Sesekali dia menghisap rokok kretek filternya. “Sejak kejadian tersebut, pemerintah sama sekali belum memperhatikan kami.”
Saat kembali ke dalam ruang pertemuan, semua kursi sudah penuh terisi oleh para hadirin. Setidaknya menurut BNPT ada 124 mantan narapidana teroris yang turut serta dalam acara tersebut. Di bagian belakang ruangan saya melihat beberapa orang dari kelompok Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) Solo, beberapa mantan kombatan konflik Ambon dan Poso, para mantan teroris yang terlibat pemboman hotel JW Marriott, dan beberapa mantan teroris Jemaah Islamiyah (JI) asal Medan yang terlibat perampokan CIMB Niaga pada 2011. Semuanya duduk dalam kelompok masing-masing.
“Ini adalah pertama kalinya acara mempertemukan mantan napi terorisme dan korban digelar di Indonesia,” ujar kepala BNPT Komjen Suhardi Alius saat membuka acara. “Bahkan mungkin pertama kali di dunia.”
Selepas sambutan dari Suhardi, giliran para Menteri kabinet memaparkan visi dan misinya sebelum dilanjutkan dengan acara forum dialog yang terbuka bagi para korban dan narapidana terorisme bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM Wiranto, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dhakiri, Menteri Riset dan Teknologi M. Nasir, dan Menteri Sosial Idrus Marham.
Para menteri berjanji saat ini semua kementerian terkait sudah berkoordinasi dengan BNPT untuk menjamin hak-hak para penyintas dan mantan narapidana terorisme. Menurut Suhardi Alius, undang-undang anti-terorisme nantinya akan menunjuk BNPT sebagai koordinator yang tidak hanya fokus pada pencegahan dan penanggulangan terorisme, tapi juga nasib dan kebutuhan mereka yang terimbas aksi teror. Suhardi berdalih bila UU Antiterorisme yang ada saat ini mempersulit pemenuhan hak-hak mantan narapidana terorisme dan penyintas, karena sulitnya berkoordinasi. Selama ini kebijakan kementerian saling tumpang tindih dengan program-program BNPT.
“Setelah ketok palu (pengesahan RUU Antiterorisme), saya akan segera bantu koordinasikan,” ujar Suhardi. “Kalau sekarang memang kami terhalang oleh undang-undang yang ada.”
Beberapa penyintas dan narapidana terorisme mulai berbagi keluh kesah yang dirasakan. Salah seorang penyintas bom Bali 2002 Chusnul Chotimah, mengharap bantuan dari Kementerian Kesehatan karena selama ini tak pernah mendapat bantuan berupa layanan kesehatan. Chusnul, yang menderita luka bakar setelah serangan bom terjadi, mengaku butuh perawatan kesehatan rutin termasuk untuk pengobatan luka parutnya. Dan selama ini pula dirinya mengeluarkan biaya sendiri setiap kali pengobatan.
“Saya diberi pak Jokowi Kartu Indonesia Sehat (KIS),” kata Chusnul. “Namun ditolak oleh rumah sakit karena pengobatan kulit saya katanya tidak dijamin.”
Dari data BNPT, terdapat lebih dari 1.000 korban terorisme di Indonesia. Dalam skema penanggulangan terorisme, penanganan korban dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang berkoordinasi dengan BNPT. Bantuan LPSK sendiri meliputi perlindungan fisik, bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial, serta kompensasi. Selama 2017, LPSK membantu 49 korban terorisme di berbagai daerah.
Angka tersebut tentu jauh dari harapan. Vivi Normasari, salah seorang penyintas serangan bom di hotel JW Marriott pada 2003 dan pendiri Yayasan 58, mengatakan bahwa pengajuan akses layanan ke LPSK tergolong sulit. Vivi mengatakan bahwa dari total 46 korban terorisme di Jakarta, baru tiga orang yang bisa dilayani oleh LPSK.
“Kami memohon untuk mendorong LPSK untuk mengimplementasikan undang-undang yang sudah dibuat,” kata Vivi.
Tidak cuma dari pihak penyintas yang mencoba memperjuangkan hak-haknya. Para mantan narapidana terorisme juga masih memiliki segudang permasalahan setelah menjalani masa tahanan dan kembali ke tengah masyarakat.
Zumirin, mantan narapidana terorisme dalam kasus perampokan CIMB Niaga di Medan, mengatakan janji-janji pemerintah sudah kerap ia dengar sejak bebas dari penjara. Namun saat ini implementasinya nyaris tidak ada. Dia tidak pernah menerima bantuan apapun. Zumirin, bekas anggota sayap militer JI yang juga terlibat penyerangan pos polisi Hamparan Perak, Medan, kini menjadi nelayan di Tanjung Balai, sebuah kota terpencil 197 km di sebelah selatan kota Medan demi menyambung hidup.
“Harta benda saya habis saat saya di penjara,” ujar Zumirin dengan nada bergetar. “Motor, pompa air, bahkan parabola saja hilang. Praktis ketika saya bebas, saya tak memiliki harta apapun. Saya harus memulai lagi dari nol.”
Zumirin mengatakan bahwa meski pemerintah pusat memiliki niat baik dalam menangani mantan napi terorisme, tidak begitu halnya dengan pemerintah di daerah. Zumirin menduga bahwa tidak ada koordinasi antara pusat dan daerah, sehingga terjadi diskriminasi.
“Seharusnya pemerintah pusat juga mendidik pemerintah daerah,” kata Zumirin yang memiliki tiga orang anak. “Kami masih mengalami diskriminasi. Pemerintah daerah seolah tak percaya bahwa kami sudah berubah. Sampai sekarang banyak kawan saya yang tidak bisa mengurus KTP lantaran pemerintah daerah masih menganggap kami berbahaya.”
Hal yang sama juga disampaikan oleh Nanang Zuhud, seorang alumni konflik Poso dan Ambon yang terlibat dalam bom Marriott. Pria asal Solo tersebut mengatakan bahwa para militan kebanyakan juga adalah korban. Bedanya, para militan tersebut adalah korban indoktrinasi dan ketimpangan ekonomi.
“Saya ini dulunya hanya pengurus masjid,” ujar Nanang. “Lantas sebagai muslim siapa yang tidak tergerak ketika tahu saudara-saudaranya sesama muslim ditindas di Ambon dan Poso? Maka ketika beberapa ustaz memberi ceramah dengan keras, saya jadi tergerak untuk angkat senjata.”
Nanang, yang dihukum lima setengah tahun penjara, mengatakan saat ini dirinya hanya ingin kembali di tengah masyarakat tanpa adanya diskriminasi. Ia mengatakan pemberitaan media kadang kala justru memojokkan dirinya dan cap mantan kombatan seolah tak bisa lepas dari dirinya. Tak heran ia sempat menolak wawancara dengan saya. Ia takut pemberitaan atas dirinya tidak berimbang.
Acara gagasan BNPT bertajuk Silaturahmi Kebangsaan NKRI yang digelar sepanjang 26-28 Maret 2018 itu boleh jadi digadang-gadang sebagai acara monumental. Faktanya, seperti diutarakan beberapa korban yang kami temui, akar permasalahan tidak tersentuh. Sama sekali tidak ada permintaan maaf secara terbuka dari pelaku teror terhadap para korban. Namun sampai acara selesai, sama sekali tak terucap maaf. Tidak ada pula rekonsiliasi dan deklarasi bersama untuk memerangi teror.
Itu pula kesimpulan Muhammad Najib Azca, peneliti di Amsterdam Institute of Social Science Research yang fokus pada penanganan radikalisme. Najib mengatakan upaya pemerintah dalam menanggulangi radikalisme masih berupa seremonial belaka. Najib mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak memiliki imbas di lapangan terhadap penyintas dan mereka yang rentan terpapar radikalisme.
“Beberapa badan pemerintahan memang bekerja sama dengan LSM, namun acara seremonial masih menjadi bagian dari strategi mereka,” kata Najib. “Kita membutuhkan inisiatif untuk menyentuh level grassroot. Mereka [para korban dan yang rentan] ada di luar sana tapi tidak memiliki dukungan dari pemerintah.”
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib mendukung kampanye damai yang digagas BNPT tersebut. Namun ia mengingatkan pertemuan tersebut masih jauh dari penanggulangan terorisme. Ia mengatakan bahwa saat ini masih banyak narapidana dan mantan teroris yang menolak program deradikalisasi, sehingga pemerintah harus mencari cara agar mampu menggandeng semua pihak. Menurut Ridlwan, mereka yang menolak deradikalisasi dikhawatirkan akan merekrut anggota jaringan baru baik di dalam penjara maupun setelah bebas.
“Saya meyakini mereka yang mau ketemu dengan korban adalah mereka yang memang tidak ada masalah, mereka yang memang sudah baik-baik saja,” kata Ridlwan. “Jadi hanya semacam mengirim pesan saja bahwa perdamaian itu penting, indah. Tetapi kemudian ini tidak akan bermanfaat secara taktikal dan strategi pada problem riil pemberantasan terorisme di Indonesia. Problem riil adalah mereka yang tidak mau terima itu.”
Setelah acara hampir selesai, saya menghampiri mantan kombatan jaringan Poso, Ahmad Sofyan. Dia awalnya agak ragu ketika saya ajak bicara. Namun perlahan ia mulai terbuka. Ia mengaku bahwa pertemuan antara penyintas dan mantan napi terorisme tersebut seharusnya mampu memupuk kebersamaan dalam memberantas terorisme. Sama seperti korban, Sofyan menganggap masih banyak kekurangan dalam pertemuan tersebut.
“Setidaknya ada sesuatu dari pertemuan tersebut yang bisa kita terapkan. Misalnya bagaimana kita bekerja sama. Jangan sampai jadi seremonial belaka.”