Ular-ular itu mendesis liar. Ibu Rica menaruh kandang setinggi dada penuh kobra yang sedang geram. Kandang itu baru tiba di warung tak lebih dari 30 menit. Tampaknya keriuhan pengendara motor di Jalan Mangga besar bikin makhluk melata itu berang. Tapi, hal ini tak bikin pusing Ibu Rica. Tangannya gesit mengambil satu ular. Tubuh ular itu kelojotan beberapa saat sebelum Ibu Rica memeggal kepalanya dengan gerakan yang sangat presisi.
“Suami saya jualan durian di tenda dekat sini,” kata Ibu Rica sementara ular tanpa kepala di tangannya masih meliuk-liuk. “Dia enggak berani membantu saya mengurusi kobra-kobra.”
Videos by VICE
Tenda Rica Cobra telah menjajakan daging ular selama 20 tahun. Lokasinya tepat berada di sebelah Hotel SUMI di Jalan Mangga Besar. Kalian tak akan mungkin kelewatan. Tenda kuning Rica Cobra sangat mencolok dengan rajah Kobra yang besar dan kata-kata dalam berbagai warna yang mewartakan segala olahan dagin reptil. Di sebelah tenda warung Ibu Rica, ada satu kandang kobra. Hewan dalam kandang mendesis saban ada orang yang bernyali mendekat. Kobra, walaupun bukan selera banyak orang, biasa dikonsumsi penduduk berbagai negara Asia Tenggara. Reptil berbisa ini daging dan darahnya dianggap bisa memberi khasiat untuk tubuh.
Salah satu khasiat daging kobra, menurut penggemarnya, adalah penambah stamina dan bisa menghaluskan kulit. Agar manjur, kobra selalu disimpan dalam keadaan hidup sebelum disajikan. Salah satu alasan pembeli selalu datang adalah empedu kobra. Bagian tubuh satu itu dipercaya kaum lelaki bisa menambah stamina di ranjang. Menurut keterangan dari menu yang dilaminating yang tersedia di warung Ibu Rica, campuran darah dan empedu kobra berguna untuk membersihkan darah, paru-paru, menyembuhkan asam urat, rematik, kencing manis, keputihan, darah tinggi atau rendah serta segala macam gangguan kulit seperti jerawat, alergi, eksim, ruam dan sejenisnya. Intinya, kobra itu obat super untuk segala penyakit. Klaimnya sih begitu.
Warung tenda Ibu Rica saban hari. Dia mulai berjualan pukul lima sore. Saya sampai ke sana sekitar pukul enam sore, setelah menembus kemacetan brengsek Jumat malam di Jakarta. “Tolong pilihin yang bagus dong Bu.”
“Tenang Mbak,” ucap Ibu Rica sambil berkedip.
“Khasiat kobra beneran ampuh ga sih Bu ?” tanya saya ke Ibu Rica.
“Tanya pelanggan saya aja deh,” Ibu Rica menunjuk seorang perempuan di sebelah saya. Rambutnya dikuncir dan kulitnya kelihatan halus.
Perempuan itu, namanya Carolina, adalah seorang agen perjalanan yang sudah punya kebiasaan menyantap ular tiga terakhir ini. Dalam sebulan, dia bisa mengkonsumsi ular tiga kali. “Dulu, wajah saya penuh jerawat,” akunya. “Sekarang, wajahku bebas jerawat. keluargaku kini percaya khasiat ular. Dagingnya bagus banget buat kulit. Empedu dan darahnya bisa meningkatkan stamina.”
Tentu saja, mayoritas pembeli adalah lelaki. Mereka yang punya masalah seksual menyantap ular guna agar lebih lama ereksi. “Kalau masalah kejantanan, menurut saya itu cuma masalah sugesti mental,” kata Ibu Rica. “Mungkin ular bisa membantu beberapa orang, tapi enggak bermanfaat buat orang lain. Karena ular bisa meningkat stamina, pria jadi lebih tahan lama di ranjang. Yang jelas ular bagus bagi kulit. Yang itu bisa saya jamin.”
“Boleh deh,” jawab saya sambil nyengir sekenanya. Saya tidak bisa membayangkan rasanya.
Bu Rica lahir dan besar di Jakarta, perempuan penjaja ular ini hanya mengenyam pendidikan sampai bangku sekolah dasar. Di masa mudanya, dia bekerja sebagai karyawan pabrik sebelum menikahi si penjual durian. Beberapa pelanggan suam Bu Rica memberinya ide berjualan ular. Awalnya, sebagai perempuan yang hidup di kota besar, dia tak mengira ada manusia mau makan ular. Tentu saja dia tahu ada ular yang hidup di rimba raya sana. Tapi bagaimana mungkin ada yang mau repot-repot membawa kobra beracun ke Jakarta untuk dimakan?
Usulan itu lambat laun baginya masuk akal karena banyak warga negara Taiwan dan Jepang yang bermukim di Mangga Besar. “Mereka bilang orang-orang ini doyan makan ular.”
“Saya dapat ular dari Semarang, Serang dan Tegal. Pemasok saya punya banyak karyawan yang tugas menangkap berkilo-kilo ular. Hasil tangkapan mereka dibawa ke Jakarta pakai mobil. Saya biasanya pesen 100 ekor ular. Itu cukup buat sepuluh hari. Dulu, saya pernah menjual beberapa macam ular. Sekarang sih saya cuma jual kobra karena ini jenis ular paling manjur dan populer.”
Ibu Rica menarik satu ekor kobra yang kelihatan berang dari kandang dengan tangan kosong. Sejenak, Ibu Rica memegang ular ganas itu di bagian kepala untuk di foto. Sang kobra mendesis liar, memamerkan taringnya.
“Makin galak kobranya, makin bagus. Kamu jadi bisa menyerap kekuatannya. Itu bagus buat stamini. King Cobra yang paling bagus karena ukurannya besar dan lebih agresif. Tapi, saya cuma bawa King Cobra kalau ada pesanan. Harganya lebih tinggi dari kobra biasa.”
Risiko tentu saja mengancam penjual ular. Ibu Rica pernah dilarikan ke rumah sakit gara-gara digigit ular. Seekor kobra mendaratkan taring berbisanya di tangan Ibu Rica saat ditarik keluar kandang. Gara-gara ini, Ibu Rica harus menjalani operasi untuk mengeluarkan bisa ular dan diminta bedrest selama untuk beberapa bulan. Gigitan kobra itu masih menyisakan luka parah di tangah Ibu Rica. meski demikian, ini tak menghentikan hasrat Ibu Rica menjual ular.
Tak semua manusia seberuntung Bu Rica. Di seluruh dunia, data International Society on Toxinology menunjukkan rata-rata 11 ribu orang tewas akibat bisa ular. Tahun lalu, seorang penyanyi dangdut tewas digigit kobra yang biasanya menjadi properti pertunjukannya di atas panggung.
“Ini pekerjaan berisiko, tapi juga sangat menguntungkan. Saya bisa menjual banyak bagian dari ular. Kulit dan tulangnya bisa dibikin macam-macam minyak, salep dan obat-obatan buat tambah-tambah pendapatan.”
Ibu Rica mulai memisahkan kepala kobra dengan perkakas pemecah dari kayu. Kepala ular itu jatuh tanpa daya ke atas kandangnya. Mulut korbra itu membuka dan menutup selama beberapa saat. Lantas, Ibu Rica segera memeas darah dari leher ular serta menampungnya di gelas Cina. perlahan-lahan setengah bagian gelas terisi darah ular segar yang berwarna gelap. Saya hanya bisa melongo melihat adegan ngeri-ngeri sedap itu.
Dibantu seorang asisten, Ibu Rica menarik lepas kulit ular yang beberapa menit lalu baru saja dia penggal. Menghabisi kobra ternyata aktivitas yang cukup menguras energi. Tubuh ular itu masih terus menggeliat. “Badan ularnya bakal terus bergerak, sampai saya panggang,” kata Ibu Rica. Dia lantai mengambil organ dalam ular seperti jantung yang masih berdetak, hati dan kantung empedu. “Mau hati dan jantungnya? Bisa saya sate kalau mau.”
Sudah terlanjur basah. Tentu saja saya mengiyakan tawarannya.
Bu Rica menaruh empedu di cawan gelas yang berisi darah kobra, menambahkan sesendok anggur beras, mencampurnya dengan madu. Campuran mantap ini segera disodorkan pada saya. “Silakan,” katanya sambil tersenyum sebelum kembali sibuk memotong sisa tubuh kobra menjadi beberapa potongan kecil untuk disate.
Saya memejamkan mata lalu menelan empedu tadi tanpa mengunyahnya sama sekali. Segelas kecil darah segera saya teguk untuk mendorongnya melewati kerongkongan. Darah ular, setelah sekian menit tercecap lidah, rasanya mirip campuran alkohol dan madu.
Setelah itu, saya menjajal satenya. Hmm, rasanya alot. Daging kobra tidak terlalu punya karakter rasa yang khas. Seingat saya ada aroma amis dan tak ada lemaknya. Tapi, harus diakui, bumbu satenya yang pakai saus kacang enak banget.
Satu ekor kobra dipatok Rp100.000. Ibu Rica memjual beragam daging reptil, organ kering serta salep dan obat-obatan dari reptil. Satu botol kecil bisa dibeli dengan harga Rp50.000 sampai Rp80.000.
Ibu Rica dikaruniai dua orang. Keduanya sudah bergelar sarjana ekonomi berkat hasil berjualan daging, empedu, dan darah ular.
“Enggak orang lain di kelurga saya yang mau berurusan dengan bisnis ular,” ujarnya. “Saya yang paling berani. Ini saya lakukan demi menghidupi keluarga.”