Artikel ini pertama kali tayang di VICE China.
Kawasan Delta Sungai Mekong hancur akibat aktivitas penambangan komoditas paling paling dicari saat ini: pasir. Selama lebih dari empat dekade, penduduk setempat hidup berdampingan dengan Sungai Mekong, yang membentang dari Myanmar hingga Vietnam. Penduduk sekitar sungai tak punya pilihan lain kecuali menonton penambangan pasir yang berlebihan membunuh kawasan Delta Sungai Mekong perlahan-lahan.
Videos by VICE
Sungai merupakan ekosistem penunjang kehidupan paling utama bagi negara-negara Asia Tenggara. Mekong, sungai dengan panjang 4.350 kilometer, adalah jantungnya. Sungai yang mengalir dari selatan Cina menuju pesisir Vietnam itu menjadi wilayah dengan keanekaragaman hayati tertinggi setelah Indonesia. Bila bicara sungai, kekayaan ekologi Mekong hanya kalah dari Amazon di Brasil. Dari Mekong kita masih bisa melihat spesies langka seperti lumba-lumba air tawar, lele raksasa, hingga ribuan hewan dan tumbuhan lainnya. Tanpa Mekong, mustahil Thailand dan Vietnam menjadi produsen beras terbesar di Asia Tenggara. Mekong menghidupi ratusan juta penduduk kawasan tiap harinya. Status penting itu sekarang terancam gara-gara bisnis pasir.
Permintaan pasir dari negara-negara maju, membuat banyak penduduk Myanmar dan Vietnam memaksakan penambangan pasir gila-gilaan. Mekong menjadi tulang punggung pendirian kota dan jalan raya di berbagai negara, mulai dari Singapura hingga Beijing. Namun, sangat besar kemungkinan seluruh penghuni Asia Tenggara yang harus membayar dampak ekspor pasir yang massif tersebut.
Nama saya Gao Jiang, saya adalah fotografer sekaligus editor foto. Lantaran bosan hiduo di gedung tinggi daerah New York, saya kembali ke Beijing mendirikan Zone Foto, dan hidup bebas layaknya seorang petualang. Juli 2006, saya membekali diri dengan 200 roll 135 Kodak Professional Portra, 160 Color Negative Film, kamera Hasselblad, lalu mulai menjelajahi seluruh wilayah yang dilintasi Sungai Mekong—dari Laos, Kamboja dan Vietnam. Perjalanan itu menuntun saya memahami lebih lanjut dampak merusak bisnis penambangan pasir sungai terhadap kehidupan penduduk di sekitar Mekong.
Tanpa pasir, urbanisasi tak akan terjadi. Pasir adalah komponen kunci adukan semen dan aspal. Mayoritas pasir untuk mendirikan bangunan dan membangun kota, diangkut dari Delta Sungai Mekong. Sejak dekade 1960’an, Singapura sudah meningkatkan luas lahannya sampai 22 persen melalui reklamasi tanah dan pembangunan jalan memakai pasir impor asal Sungai Mekong. Saking agresifnya negara kota itu memperluas wilayahnya, Singapura menjadi salah satu importir pasir terbesar di dunia.
Seperti sudah disebut sebelumnya, ada harga mahal yang harus dibayar oleh ekosistem Sungai Mekong. Yang paling utama adalah erosi harian dasar suangai yang mengakibatkan menurunnya permukaan sungai. Imbasnya, jumlah ikan yang biasanya jadi sumber pencaharian nelayan setempat menurun. Kondisi ini diperparah dengan membengkaknya populasi di area Delta Sungai Mekong dan negara di sekitarnya. Sayangnya, penduduk setempat yang hidup dan bekerja di penambangan pasir tidak—atau tidak mampu—berpikir panjang dampak ekologis yang diambingkan oleh penambangan pasir. Mereka jelas punya keluarga yang harus diberi makanan. Harus diakui, bekerja di penambangan pasir adalah opsi yang tersedia bagi mereka untuk menyambung hidup.
Titik yang pertama saya kunjungi adalah Luang Prabang, yang terletak di kawasan utara Laos. Supir yang memandu saya berasal dari Cina. Pria ini pindah ke Laos untuk memulai usaha kecil-kecilan. Dia kelihatan yang sangat paham ketika saya mengajukan pertanyaan tentang bisnis tambang pasir. Namun, dia malas-malasan menjawab pertanyaan saya. Dugaan saya, dia ketakutan usahanya bakal direbut orang asing atau takut jangan-jangan saya seorang wartawan yang diam-diam sedang mengorek-orek informasi.
Begitu saya sampai di Luang Prabang, kawasan itu kelihatan lengang. Bisnis tambang pasir sedang lesu. Tak ada satupun pekerja kelihatan batang hidupnta. Saya melihat beberapa barel bensin di sisi jalan dan kereta sorong di tengah hutan dan dibiarkan bergelatakan begitu saja. Yang pasti ada gunungan pasir di sana.
Hari berikutnya, saya menghabiskan setengah hari untuk mengunjungi Hou Ykaze, yang berada 35 km dari Luang Prabang. Pemandangan yang pertama mampir di mata saya begitu masuk desa itu adalah perempuan setengah yang mandi telanjang. Anak-anak kecil berlarian dan bermain dengan kaki telangjang. Rumah di desa itu disusun dengan rumput sogon. Hou Ykaze adalah sebuah desa yang miskin.
Seorang pria berusia 40 tahun berjalan mendekati saya. Tangannya mengengam bom yang diubahnya menjadi pipa rokok. Tulisan “U.S Army” masih terlihat batang bom. Mata kiri sang lelaki ini luka parah karena kecelakaan saat usianya masih anak-anak. Waktu itu, katanya, dia tengah bermain di kawasan pegunungan, menemukan sebuah benda aneh di tanah. Saking penasaran, dia menarik itu, yang akhirnya meledak.
Perang Laos dan Amerika Serikat, yang jarang diberitakan tak seperti Vietnam, berkobar nyaris 10 tahun lamanya. Semasa perang, rata-rata satu bom dijatuhkan di Laos setiap delapan menit. Laos kini menjadi wilayah yang punya banyak sekali ranjau dan bom peninggalan agresi militer AS. Diperkirakan, ada 80 juta bom di seputaran Laos yang sampai sekarang masih tersisa dan batal meledak.
Jalanan dan daerah pegunungan dekat desa itu dipenuhi rongsokan. Sebuah bukit terjal berdiri tak jauh dari jalan. Pepohonan di sekitar jalanan sudah habis dipotong. Kayu-kayu bakal diekspor keluar negeri. Seorang nelayan setempat mengarahkan telunjuknya ke arah pesisir. Dengan penuh harapan, dia berkata “Jalan kereta di sana menuju Cina. Mulai dibuka 2020 nanti.”
Ke arah selatan, tepatnya ke arah Vientiane, ibukota Laos, penduduknya hidup dengan irama yang lamban. Kendati pekerja sangat sibuk menambang pasir di beberapa titik dari siang sampai malam, para insinyur belum beres membangun jalan ke sana. Beberapa penambang masih berusia 11 tahun. Tiap hari mereka diupah sekitar Rp135 ribu.
Setelah traktor pengangkut dipenuhi pasir, enam sampai tujuh orang ditugaskan menarik traktor. Roda dan mesin traktor biasanya melemparkan pasir ke sana ke mari bak senapan mesin.
Tanah di sekitar penambangan pasir gersang dan tak bisa ditanami padi. Penduduk lokal menggantungkan hidupnya pada ikan. Akar-akar mangrove sepanjang dasar Sungai Mekong adalah surga bagi para nelayan untuk mendapatkan kepiting dan ikan—setidaknya, dulu keduanya adalah santapan yang biasa menghiasi menu makanan penduduk setempat. Sayang, erosi harian yang hebat mendangkalkan dasar sungai. Bendungan baru yang membendung mengalirkan air ternyata—alih-alih memperbaiki—mengacaukan proses reproduksi dan migrasi ikan.
Saya menemui dua orang nelayan yang tengah memperbaiki jaring mereka. Tak perlu menunggu lama, keduanya langsung ngedumel “jaring ini bakal tak berguna di masa depan, ikan akan hilang dari Sungai Mekong.”
Lalu, ada pria Tionghoa yang membuka kasino di kawasan itu. Semua pelayannnya adalah sekumpulan anak yang memakai seragam. Anak-anak itu malu-malu belajar menghitung lembaran dollar.
Walaupun rima hidup kini lebih cepat, perkembangan ekonomi banyak area di Laos dan Kamboja tetap lamban. Makan bangku sekolah di kawasan ini hampir tak ada faedahnya. Lapangan pekerjaan bagi kaum berpendidikan nihil. Tak ayal, sekolah dianggap kegiatan yang buang-buang waktu yang harusnya bisa digunakan untuk mengumpulkan uang. Konon, untuk meningkatkan produktivitas tambang pasir tak mempekerjakan perempuan. Jadi, perempuan-perempuan yang tinggal di sana memilih bekerja sebagai pelayan di Kasino.
Esoknya, saya naik perahu kayu kecil menuju Pulau Kunlong. Kami harus berhenti di sisi seberang pulau karena arus air terlalu deras. Seorang nelayan mengikat badannya dengan tali. Dia kemudian menyebrang lewat sebuah jembatan ala kadarnya—sebatang bambu yang licin. Jika pijakannya meleset, nyawanya bakal sepenuhya bergantung pada seutas tali.
Beberapa nelayan yang saya temui di sana percaya bahwa penangkapan ikan tradisional bakal hilang dalam setahun. Jumlah jaring yang dibuat nelayan sekitar Delta Sungai Mekong merosot dari tahun ke tahun. Penyebabnya bukan persaingan dengan penangkapan ikan profesional. Nelayan-nelayan menyerah setelah ikan makin langka pasca ramainya penambangan pasir dan pembangunan bendungan besar.
Dulu ketika permukaan air masih normal, 100 spesies ikan berbeda bermigrasi lewat Sungai Mekong. Beberapa ikan kuat berangan sampai ke Laos. Tentu saja, semua itu tinggal cerita orang tua saja, bagian dari masa lalu yang tak terbayangkan bisa terulang kembali.
Semua yang saya temui di Kamboja, sesudah menelusuri Laos, akan tak nyambung satu sama lain. Yang saya saksikan justru berdirinya kasino mewah, kamp konsentrasi Khmer Merah dan penganut Buddha yang taat. Saya berlayar dengan perahu menuju sisi sungai lainnya bersama beberapa biarawan, mobil dan pedagang. Saya mengendarai sepeda motor masuk hutan, lalu tiba-tiba sampai di lokasi pembangunan.
Banyak perusahaan real estate membeli lahan di Kamboja. Lahan-lahan bisa dengan gampang dikenali lewat spanduk yang dipancang di dekat lokasi pembangunan. Kebanyakan ditulis dalam bahasa Mandarin. Pemerintah Kamboja memindah penduduk setempat agar perusahaan real estate asing bisa mendapatkan lahan yang mereka mau. Protes pernah meletus. Tak ada hasil yang berarti.
Jika pembangunan makin banyak dilakukan, artinya kebutuhan pasir otomatis meningkat. Tak heran, semakin “modern” Phnom Penh, semakin meranalah Sungai Mekong.
Delta sungai Mekong pernah jadi wilayah lumbung beras yang jadi tumpuan 17 juta orang penduduk di sekitarnya. Menurut penelitian yang terbit 2010 lalu, ada 11 bangunan yang bakal menghambat endapan lumpur. Megaproyek tersebut akan membuat wilayah delta tak lagi subur. Otomatis menghancurkan budaya agrikultur minimal di empat negara yang dilewati Mekong.
Mei 2016, Vietnam dilanda kekeringan terhebat sejak 1926. Pemerintah Vietnam meminta penduduknya menanam padi tiga kai dalam satu tahun. Penggunaan lahan yang berlebihan ini membuat kekeringan makin parah. Celakanya, karena dasar sungai ikut rusak, air laut masuk dan mengalir ke ladang pagi. Lahan yang sudah rusak karena terlalu sering ditanami padi pun akhir makin buruk kondisinya.
Sungai Mekong mengalir sampai Laut Cina Selatan. Di Danau Jiulong, angin bertiup kencang, mengombang-ambing sebuah perahu kecil dan kehidupan penduduk sekitarnya. Perekonomian di sekitar Sungai Mekong tak stabil karena Perang Vietnam. Topi bambu kerucut, perahu-perahu penambang pasir yang berlayar cepat sembari mengedarkan asap hitam pekat, dan jantung penduduk Vietnam yang tak berhenti berdetak, jadi bagian penting dari kehidupan dekat Delta Sungai Mekong.