Tato menggantikan rambut di tempurung kepala pria itu. Sebuah piercing di kupingnya sangat mencolok saking besarnya. Namanya Ibenk. Saat kamera menyorot sosoknya, Ibenk sibuk membakar bagian tengah sikat gigi sampai bengkok. Dia melubangi sikat gigi menggunakan gergaji kecil. Sikat gigi ini kemudian dia gabung dengan bolpoin menggunakan dynamo tape dan lem. Voila, jadilah sebuah mesin tato sederhana yang dapat digunakan di segala tempat. Termasuk di penjara.
“Untuk mengisi kekosongan waktu di dalam penjara, saya sembunyi-sembunyi natoin warga binaan penjara dengan alat-alat yang minim dan seadanya. Istilahnya rakitan atau handmade,” kata Ibenk.
Videos by VICE
Sebagian penghuni penjara ingin menato tubuhnya selama menjalani hukuman atas berbagai alasan. Kebanyakan karena mereka bosan menghabiskan waktu di bui, sebab memang tak banyak yang bisa dilakukan ketika engkau ditempatkan di semesta purba manusia itu. Hobi dengan niat sederhana, yang lama-lama berkembang karena para napi merasa senasib sepenanggungan ketika memiliki tato.
Ibenk menjadi salah satu seniman yang siap sedia melayani kebutuhan sesama pesakitan Lembaga Pemasyarakatan Banceuy, Bojongloa Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat. “Di dalam [penjara] itu bayaran [menato] ada yang pake rokok, kopi…Ada yang pakai uang tapi nominalnya engga terlalu besar,” ungkapnya.
Ibenk adalah bekas narapidana sekaligus seniman tato yang melayani pembuatan rajah dalam ketatnya bui. Sosoknya menjadi salah satu tokoh utama film dokumenter Bless This Mess, karya Panca Dwinandhika Zen. Sutradara 31 tahun itu tertarik mengangkat seni tato yang berkembang organik dari dalam penjara. Film tersebut telah diputar di beberapa lokasi, termasuk Australia, tahun lalu.
Sipir lapas di Indonesia melarang narapidana membuat tato baru selama menjalani masa hukuman. Tetap saja ada yang nekat menghubungi Ibenk minta ditato. Mereka siap menerima konsekuensinya. “Kalau kelihatan lagi ada tato baru [oleh sipir], itu dipermasalahkan,” kata Ibenk. “Biasanya kalau ketahuan menyimpan mesin rakitan bisa dikurung di sel kecil. Tetap ada siksaan. Tetap ada perlakuan fisik.”
Panca sebagai motor kreatif di balik dokumenter ini, mengenal seluk beluk rajah penjara karena mendampingi beberapa narapidana saat menjadi relawan Rumah Cemara delapan tahun lalu. Rumah Cemara adalah LSM yang bergerak dalam advokasi pecandu narkoba dan penderita HIV, berpusat di Bandung. Lambat laun, dari beberapa narapidana yang dia dampingi, Panca mulai tahu ada cerita-cerita unik setiap rajah yang dibuat para penghuni penjara. Lalu, Mei 2015, Panca mengorganisir pameran ‘Bless This Block’, menampilkan karya seni kreatif para narapidana Lapas Banceuy. Dokumenter Bless This Mess, merupakan pengembangan arsip audiovisual dari pameran yang dia gelar.
Panca menyatakan tato penjara dianggap banyak orang, termasuk pecinta tato, sebagai rajah yang mutu gambarnya jelek. Motif tato dalam lapas di Indonesia berbeda dibandingkan tato kebanyakan yang lebih memperhatikan estetika dan makna. Para penghuni lapas Indonesia banyak membuat rajah bermotif tanaman dan sulur, seperti batik tulis. Corak tersebut menurut Panca terhitung motif old school yang selalu ada di setiap penjara manapun.
“Tato-tato yang jelek di mata orang awam itu, dalam point of view saya bagus banget karena emang engga ada yang bahas,” ungkap Panca.
Selain sulur, motif populer lainnya adalah naga, elang, mawar, atau tubuh perempuan telanjang. Menurut Panca, tato elang dan semacamnya sempat populer bagi penghuni jalanan sepanjang kurun 1970-1980-an. “Dulu sekitar tahun 80-an banyak stiker-stiker naga dan elang yang Amerika banget, lalu diaplikasikan menjadi tato,” ujarnya. Panca juga menemukan beberapa tato penjara yang mengandung unsur spiritual, misalnya aksara arab berlafazkan Islam.
Ide awal Panca membuat film ini dipicu keinginannya membandingkan arsip tato penjara Indonesia dengan negara-negara seperti Meksiko, Amerika, atau Rusia yang juga memiliki budaya rajah narapidana. “Meksiko, Amerika, dan Rusia memang punya archiving tato penjara paling lengkap, di Indonesia masih sangat minim, bahkan belum mulai. Nah karena itu saya ingin memulai,” kata Panca. Lantaran budaya dan pengetahuan tato penjara di negara ini masih “chaos”, Panca memberi judul dokumenternya Bless This Mess.
Tato penghuni penjara Indonesia punya ciri khas lain. Corak gambarnya kebanyakan vignette, bukan lukisan utuh. Warna tintanya di kulit lambat laun akan berubah menjadi kehijau-hijauan. Ini dipicu bahan tinta yang alakadarnya. Ibenk dan seniman tato lain dalam penjara biasanya menggunakan oplosan norit (obat diare bentuk tablet-red), minyak penggorengan yang menghitam, ditambah spidol rapido merek rotring atau staedtler sebagai bahan tinta. Sementara jarumnya menggunakan benda ‘tajam’ apapun yang bisa ditemukan. Mulai dari ujung bolpoin, obeng, hingga jarum akupuntur.
Faktor pembeda lainnya dari tato penjara Indonesia, dibanding tradisi rajah penjara Rusia atau Amerika, terletak pada tujuan pembuatannya. Di Rusia, penghuni penjara yang menato tubuhnya ingin menunjukkan eksistensi geng atau keluarga mafia tertentu. Setali tiga uang, tato di penjara-penjara AS biasanya punya konteks penanda dari kelompok kriminal mana si pesakitan berasal. Sehingga muncul tato bertuliskan nama geng seperti MS-13, Crips, atau Bloods di tubuh para penghuni bui Negeri Paman Sam.
Sementara di Indonesia, tato penjara lebih dikategorikan sebagai ekspresi murni individu. Selain itu karakter interaksi penghuni lapas di Indonesia jarang tersekat-sekat afiliasi jaringan kriminal. Alhasil corak tato geng tertentu tak pernah benar-benar muncul. “Di kita justru mau se-gangster apapun di dalam [lapas] jadi satu. Engga ada pertanyaan kamu geng dari mana,” kata Panca.
Setidaknya, Panca tetap menemukan beberapa trivia khas tato lapas Indonesia. Ada semacam pandangan penghuni lapas, semakin punya banyak tato maka seorang narapidana bakal lebih dihormati. Panca juga bertemu napi yang punya beberapa tato bintang di mukanya. Kata si narapidana itu, satu bintang melambangkan satu tahun di penjara. Kalau sampai ada empat hingga lima bintang, sang pemilik rajah boleh dibunuh siapapun. Jenis tato yang berisiko meminta tumbal nyawa pemiliknya. Besarnya harga yang harus dibayar untuk merajah tubuh bukan hal baru di Indonesia.
Memiliki tato di republik ini dipandang negatif oleh masyarakat, bahkan bisa membuat nyawa melayang. Citra buruk itu berkembang terutama sepanjang era penembakan misterius (Petrus) kurun 1980-an. Aparat militer dan polisi Orde Baru, di era itu, menembak mati banyak orang-orang diduga preman atau anggota gabungan anak liar (gali). Belasan ribu terduga kriminal dihabisi tanpa peradilan layak. Rata-rata mayat yang dibuang memiliki tato. Foto-foto jasad mereka diumbar oleh media massa. Publik lambat laun mengaitkan setiap pemilik tato sebagai pelaku kriminal. Khawatir menjadi korban Petrus, banyak orang bertato di masa itu sampai menyetrika kulit demi menghapus rajah secepat mungkin.
Mang Han adalah penyintas Petrus. Dia mantan narapidana yang bertato. Selama menjalani hukuman, dia sempat membuat tato dalam penjara. Karenanya dia menjadi salah satu narasumber Bless This Mess. Mang Han masih ingat nasibnya di ujung tanduk pertengahan 80-an. Dia diculik aparat kodim di Tamansari, Bandung, karena memiliki rajah di badan. “Saya memang orang jalanan, tapi di saat ada Petrus itu saya sudah 1,5 tahun tidak ada keaktifan apa-apa. Tiba-tiba muncul penggrebekan ke rumah. Saya diambil tanpa ada penjelasan,” ujarnya.
Mang Han selamat, walaupun sempat disiksa di sel bersama puluhan orang lainnya semalaman. Lantai sel kodim, seingatnya, sudah penuh genangan darah. Nyawanya diampuni berkat sosok kolonel bernama Bastaman. Perwira militer ini kebetulan kenal Mang Han karena sama-sama hobi berburu burung. Dalam keadaan babak belur, dia dikembalikan ke rumah.
Tato Mang Han, pemicu dia nyaris dihabisi tentara, sebagian dibuat saat dia mendekam di penjara sebelum operasi Petrus. “Begitu saya masuk [penjara], sudah banyak temen-temen yang bertato. Di zaman saya, teman-teman memproses sendiri [tatonya], teman yang lain juga mencontoh,” ungkapnya.
Mang Han membenarkan pembuatan tato di penjara menggunakan alat seadanya. Seperti kawan-kawan pesakitan lainnya, dia membuat rajah demi mengisi kebosanan. Menurut Mang Han, karena sifat pembuatannya asal-asalan, sangat biasa jika warna tato penghuni lapas tidak sama. Banyak tato yang belum selesai dibuat lantaran keterbatasan alat. Mang Han pun punya beberapa tato di badannya yang tidak selesai. Walau hobi pengisi waktu luang ini nyaris merenggut nyawanya, Mang Han tidak pernah menyesal.
Mang Han telah pensiun dari kerasnya jalanan. Dia kini menjadi pegiat yang mempromosikan pelestarian hulu Sungai Cibodas dan Citarum. Tato-tato itu sekaligus menjadi pengingat baginya, bahwa hidup pernah menempatkannya dalam sudut tergelap.
Panca, yang kini berteman akrab dengan Mang Han, meyakini tidak akan ada lagi stigma buruk terhadap pemilik tato di Indonesia. Tidak akan ada Mang Han dan belasan ribu korban Petrus lain di masa lalu, yang harus meregang nyawa hanya karena memiliki rajah. “Stigmanya sih sudah sangat jauh berkurang. Sekarang banyak direktur dan dokter bertato,” kata Panca.
Perubahan sikap media massa yang tidak lagi mudah mengaitkan tato dengan kriminalitas seperti era 80-an, berperan besar. Rajah, menurut Panca, kini justru menjadi faktor yang mampu melebur sekat sosial dan budaya. “Kalau kita sama-sama punya tato, gampang banget nanya, eh itu tato bikin di mana? Artisnya siapa? Gambarnya apa?” ujarnya.
“Ngomongin tato itu cepet. Orang langsung merasa, eh kita sama-sama punya tato.”