Mengapa Indonesia Sulit Melahirkan Lagi Petenis Sehandal Yayuk Basuki?

Siang itu di lapangan tenis Hotel Sultan, Jakarta, pertengahan Juli lalu, sengatan matahari tajam menghujam kulit. Keringat bercucuran membasahi leher semua orang yang memilih bertahan di lapangan. Teriknya matahari tak mengurangi intensitas pertandingan antara pemain asal Indonesia, Aldila Sutjiadi melawan Zhima Du. Aldila, pemain tenis perempuan unggulan Tanah Air berusia 23 tahun, dengan peringkat 651 sedunia (dihimpun oleh Women’s Tennis Association atau WTA), mengakhiri pertandingan dengan senyum lebar. Dia sukses mengalahkan pemain asal Cina, Zhima Du, dengan telak: 6-0 dan 6-2.

Pertandingan itu bagian dari turnamen PELTI-Widya Chandra, salah satu seri kompetisi Federasi Tenis Internasional atau ITF, diikuti pemain-pemain perempuan dari negara-negara seperti Singapura, Cina, India dan Indonesia.

Videos by VICE

Sayang dalam perkembangan tenis tunggal putri Asian Games 2018 yang berlangsung di Palembang, Aldila tersingkir di babak semi-final. Arianne Hartono, pemain keturunan Indonesia dengan kewarganegaraan Belanda, juga tersingkir. Setidaknya ganda campuran Aldilla Sutjiadi-Christopher Benjamin Rungkat sukses melaju ke semifinal, menjamin Indonesia minimal meraih medali perunggu dalam kompetisi empat tahunan ini. Minimal, keduanya sukses mengakhiri paceklik yang bertahan 16 tahun.

“Sebelum main enggak mau banyak mikir ya. Kalo misalnya mikir kebanyakan, pas tanding itu jadi enggak bisa fokus. Jadi aku mungkin mikir strategi aja, strategi untuk lawan dia. Diingetin aja dulu itu—abis itu ya main aja,” kata Aldila kepada VICE merespons persiapannya menghadapi tiap pertandingan di Asian Games.

Aldila — bersama Beatrice Gumulya, Jessy Rompies, Deria Nur Haliza dan Joleta Budiman — merupakan tim perempuan Indonesia untuk Asian Games 2018. Pelatih utama mereka adalah Deddy Tedjamukti, dibantu oleh pelatih asal Belanda Frank van Fraayenhoven. Sedangkan regu lelaki, Christopher Rungkat, David Agung Susanto, Justin Barki, Anthony Susanto dan M. Rifqi Fitriadi dibimbing pelatih Febi Widhiyanto.

Nama-nama tersebut kemungkinan kalah tenar dibanding atlet-atlet dari cabang olahraga lain yang turut dipertandingkan dalam Asian Games kali ini.

Di Indonesia, nasib tenis memang berkebalikan dibanding bulu tangkis, lantaran kalah pamor. Di negara-negara Barat, badminton berusaha keras diperkenalkan, agar tak dicap olahraga bangsa Asia (dan Denmark) saja. Tapi Indonesia sebetulnya tak buruk-buruk amat dalam bidang tenis. Minimal petenis Tanah Air berulang kali menyumbang medali untuk Indonesia di gelaran pesta olahraga Asia. Mereka yang pernah sukses membawa pulang medali Asian Games antara lain, adalah Lita Liem Sugiarto, Yayuk Basuki, Justedjo Tarik, Hadiman, Wynne Prakusya, hingga Angelique Widjaja.

Namu sejak Asian Games Busan 2002—yang mendatangkan masing-masing satu emas, perak, dan perunggu—wakil Indonesia mengalami paceklik medali?

Artikel ini berusaha bertanya pada orang-orang yang terlibat dalam olahraga ini, untuk mencari jawaban atas pertanyaan di atas. Tentu saja, kita akan sampai pada petunjuk yang terlihat gamblang: masalah demi masalah dalam pengelolaan tenis di Indonesia.

Semua dimulai dari regenerasi atlet, sebagai persoalan paling krusial. Siapa pemain tenis gemilang yang kalian ingat selain, misalnya, Yayuk Basuki (pemain dengan peringkat tertinggi sepanjang karir [19] di dunia; peraih berbagai medali emas dalam turnamen ganda maupun individu dalam Asian Games; meraih perempat final turnamen tenis paling prestisius sedunia, Wimbledon, pada 1997), Christopher Rungkat (peraih medali emas di SEA Games pada 2011 dan 2017), Suwandi (peraih medali emas termuda dalam SEA Games 1993), atau Angelique Widjaja (juara Wimbledon tingkat junior pada 1999)?

Lalu pertimbangkan komentar dari Christopher, yang ia berikan kepada Detik: “Saya melihat lihat industri olahraga di Indonesia cukup stagnan. Enggak cuma tenis, tapi semua cabang olahraga lain. Di media liputan yang paling banyak untuk olahraga nasional, hanya badminton dan sepakbola.”

Kegagalan regenerasi itu lantas tercermin dalam peringkat para pemain. “Rata-rata pemain [perempuan] 700-an peringkatnya,” kata Deddy Tedjamukti kepada VICE. “Anak-anak bisa di ranking 300-an kalo anak-anak dikasih kesempatan tryout yang tertata bagus. Kita nih rankingnya masih di bawah Cina, Uzbekistan, Jepang. Tapi secara keseluruhan, kita masih bisa bersaing lah. Kita enggak berani janji juga, tapi kita bersaing karena anak-anak itu lawan ranking 200-an bisa menang.”

Peringkat teratas pemain Indonesia dalam bidang ganda kini dipegang oleh Christopher (108) dan Jessy Rompies (274). Sedangkan pada bidang tunggal posisi teratas dipegang oleh Aldila dan Christopher (1.035).

Supaya regenerasi tidak berujung ke degradasi, kesempatan tryout seharusnya diwujudkan dalam banyaknya turnamen, mulai yang diadakan di dalam negeri sampai lama kelamaan yang diadakan di luar negeri. “Kalau saya bilang, banyakin turnamen, otomatis regenerasi banyak,” kata Febi Widhiyanto, yang juga merupakan mantan pemain tenis nasional kepada VICE. “Untuk sekarang, [turnamen dalam negeri] untuk mencari modal untuk ke luar negeri.”

Fasilitator pertandingan-pertandingan ini — juga yang menjadi jembatan antara pemain dan asosiasi internasional seperti ITF — adalah Persatuan Lawn Tenis Indonesia (PELTI). Ketua Umum PELTI, Rildo Ananda Anwar, menekankan perlunya penambahan dana untuk, salah satunya, mengadakan turnamen-turnamen.

“Turnamen merupakan tes hasil latihan dan makin banyak turnamen akan membuat semangat pemain terutama pemain muda lebih termotivasi untuk bersaing dengan yang lebih senior,” kata Sutikno Muliadi, Wakil Ketua Umum PELTI kepada VICE. Sutikno juga menambahkan bahwa pada 2018, terdapat 48 pertandingan yang tersebar di Indonesia.

Selain itu, ada juga faktor biaya. Kepada Suara Pembaruan , Christopher pernah mengakui bahwa pemain sudah terlanjur tak percaya pada pemerintah. “Syukur akhirnya dapat bantuan dari PELTI. Kalau bantuan pemerintah, sudah lelah saya karena hanya buat sakit hati saja,” katanya pada Desember 2017, ketika ia hendak mengarungi jadwal padat sepanjang 2018.

Deddy, yang melatih Angelique ‘Angie’ Widjaja (mereka berdua kini mengelola akademi tenis rekreasional AD Tennis Academy di Jakarta) sejak 1993 sampai masa pensiunnya di 2008, menjelaskan pemain muda potensial sering tidak bisa disokong penuh organisasinya lantaran biayanya besar.

Di masa jayanya, Angie bisa mengeluarkan ongkos sangat mahal hanya untuk menambah jam terbang. “Angie dulu, gila-gilaan, dua bulan setengah jalan [ke kompetisi mancanegara], balik tiga minggu; dua bulan jalan, balik tiga minggu. Yang pasti sebulan Desember aja di Jakarta. Satu Januari pergi lagi seri [Australia]. Orang yang mau mengompensasi begitu ada gak?”

Menurut Deddy, dulu yang bersedia mengongkosi Angie adalah Pontjo Sutowo, pengusaha yang juga menjadi pemilik Hotel Sultan. “Pak Pontjo kalo ditanya, kenapa bapak mau sponsorin Angie? Dia cuma bilang, dia punya talent. Saya cuma bisa kasih kesempatan, saya gak punya yang lain. Ada gak orang yang mau begitu?” katanya retoris. Lalu Deddy, yang juga mendapat persentase dari penghasilan Angie ketika ia mengikuti kompetisi, seperti menjawab pertanyaannya sendiri: “Gak banyak.”

Sedangkan Angie, setidaknya sebelum mulai memenangkan banyak pertandingan dan masuk kualifikasi ke pertandingan-pertandingan Grand Slam, menggunakan dana yang disediakan keluarganya.

“Dulu saya waktu junior (sebelum juara Wimbledon) donatur saya adalah orang tua saya sendiri. Setelah juara Wimbledon, sponsor mulai berdatangan,” kata Angie kepada VICE. “Saat saya berkarir saat itu PELTI tidak ada membantu sedikitpun masalah dana, semua benar benar dari orang tua saya dan sponsor, mungkin PELTI hanya membantu dari segi mendaftarkan pertandingan waktu junior—karena junior semua daftar harus lewat PELTI.”

Apakah ini berdampak ke petenis junior — mereka yang berkesempatan untuk mendapatkan peringkat ketika lulus ke grup usia profesional — yang lain?

Christopher Rungkat dan Aldila Sutjiadi.

“Menurut saya petenis junior setelah saya harusnya ada beberapa yang berbakat, dan ada kesempatan seharusnya, apalagi yang wanita. Tapi disayangkan semua mereka tidak ada dana buat bertanding (itu sesuai yang mereka ceritakan kepada saya). Jadi mereka pada akhirnya putus asa hanya berlatih saja tanpa ada tujuan yang pasti kapan bisa bertanding,” ungkap Angie.

Dan ketika saya tanya, apakah minat pemain bisa padam perlahan-lahan jika tidak ada insentif untuk bermain, Angie hanya memberi jawaban satu kata: “pasti.”

Tenis dipertandingkan dalam Asian Games sejak 1958, hanya absen sekali pada 1970. Persiapan untuk regu tenis lelaki dan perempuan sudah dimulai dari Januari 2017.

Asian Games hanyalah salah satu pertandingan terdekat yang bisa memamerkan kemajuan atau kemunduran yang ditempuh atletnya; Ia bukti adanya regenerasi, stagnasi ataupun degradasi. Ia bukanlah keempat Grand Slam: Australian Open, French Open, Wimbledon dan US Open—namun kemenangan di dalamnya bisa memantik semangat kepada para pemainnya. Peraih medali emas lolos kualifikasi untuk bermain di Olimpiade Tokyo pada 2020.

Kendati begitu Asian Games, menurut Febi, adalah kesempatan terdekat membuat media melirik akan kiprah tenis di Indonesia. “Orang bikin berita, bikin profil, pasti kan dari prestasi. Kalau atlet kita berprestasi, media kan jadi banyak tuh. Media pun akan nge-blow up,” katanya.

Aldila dan Chritopher Rungkat kini meniti jalan menuju emas. Kalaupun gagal, dan media tak melirik capaian mereka seramai cabang olahraga lain, toh mereka sudah biasa dengan jalan sunyi macam ini selama menekuni tenis. Setidaknya pembaca artikel ini memahami kenapa tenis tidak bisa sepopuler dua cabang olahraga lain yang lebih sering disorot di Tanah Air.