Olimpiade adalah festival atletik tak bermakna, tidak lebih dari sekadar perayaan branding berkoreografi, dan ajang adu otot negara-negara global. Olimpiade tidak lebih dari sekedar pamer kemewahan dan gila kendali. Pada Olimpiade London 2012 lalu, London bisa dibilang berubah menjadi negara totalitarian. Lagu kebangsaan akan dibunyikan, nasionalisme lebay diperbolehkan, dan ujung-ujungnya, negara yang paling banyak menghamburkan uang untuk program pelatihan atlet meraih medal terbanyak. Tidak setuju dengan saya? Wajar. Tapi satu yang pasti, sulit untuk tidak lelah menonton Olimpiade. Kenapa? Soalnya membosankan banget.
Normalnya, kita tidak menonton gimnastik, angkat besi, renang, dan triatlon untuk hiburan. Kenapa? Ya karena emang mereka enggak menyenangkan buat ditonton. Memang, secara fisik, semua atlet ini sangat mengagumkan dan mendorong batas tubuh manusia, tapi terus kenapa? Setelah satu menit duduk di sofa menonton kemampuan atletik mereka, saya bosan. Saya enggak bisa membedakan atlet, kecuali ada yang jatuh pas lagi tampil. Dari sofa tempat saya duduk, triatlon terlihat seperti ratusan orang yang ribet melakukan sesuatu yang mengerikan.
Videos by VICE
Sudut TV ketika nomor renang dilaksanakan membuat para kontestan terlihat seperti percikan air semata, dan konsekuensinya, mereka semua terlihat imbang. Nomor lari bisa jadi seru dan berakhir kurang dari sepuluh detik, atau malah menyebalkan dan gak ada habis-habisnya. Sama serunya kayak nonton rumput tumbuh. Panahan terdengar keren sampai kamu menyadari bahwa ini enggak kayak Katniss di The Hunger Games. Anggar juga sama gak kerennya. Mendayung gak ada menarik-menariknya. Dressage itu kayak nonton kuda mondar-mandir. Voli dan ping pong justru sebetulnya menarik kalau kamu lagi gak bisa tidur di jam 2 pagi. Tapi menonton satu pertandingan penuh? Mendingan lanjut tidur.
NBC—satu-satunya saluran tempat menonton Olimpiade di AS—sadar betul tayangan mereka ini membosankan. Itulah sebabnya, mereka susah payah menampilkan “profil” mendalam atlet untuk membuat event ini lebih menarik. Ya pasti kamu sudah pahamlah—kisah-kisah klise tentang melewati rintangan, kekalahan besar yang seorang juara harus alami sebelum akhirnya memenangkan medali emas. Pasti ada kisah atlet yang kehilangan saudara kandungnya atau partner latihan akibat kecelakaan tragis. Ada juga yang berhasil keluar dari kemiskinan, ada lagi yang dulunya gendut…dsb. Mungkin untuk beberapa orang, kisah ini membuat mereka menitikkan air mata dan sontak meletakkan tangan di dada sebagai tanda patriotisme, tapi saya justru jadi sinis dan males nontonnya.
Saya selalu penasaran dengan atlet yang tidak dianggap keren, yang tidak akan pernah masuk TV—orang-orang yang berlatih keras dan mungkin pulang dan masih tinggal dengan orang tuanya. Atau ketika Michael Phelp mengoceh panjang tentang kisahnya mabuk-mabukan total. YOLO, bro. Sama seperti olahraga lainnya, pasti ada momen-momen membosankan, bodoh, kasar, lucu di antara aksi-aksi menawan para atlit. Sayangnya, kecuali kita nonton online pada pukul 5 pagi, kemungkinan kita akan kelewatan momen-momen ini. Olimpiade selalu bernuansa totalitarian, dan kalau tidak salah, negara-negara macam ini memang tidak menoleransi humor.
Biarpun begitu, orang akan tetap berbondong-bondong menonton Olimpiade. Mungkin karena memang tidak banyak acara olahraga di bulan-bulan Olimpiade dilaksanakan. Atau karena orang-orang hanya ingin sok-sokan patriotis dan melihat negaranya mengalahkan negara orang lain agar bisa merasa superior—tidak peduli dalam cabang apa. Elemen “menyenangkan” dalam olahraga menjadi hilang ketika cabang olahraganya esoterik macam diving, tapi siapa juga yang peduli? Kayaknya gak ngaruh bahwa kita hampir sama sekali gak mengerti peraturan olahraganya, apalagi pengambilan keputusan juri. Jujur deh, enggak ada yang milih nonton Olimpiade dibanding Netflix dalam urusan hiburan. Kamu menonton hanya demi nasionalisme dan karena kurang kerjaan.