Saat kita membicarakan pensi (kependekan dari pentas seni), maka kita akan membahas esensi tebak-tebakan klasik: mana yang lebih dulu, telor atau ayam? Cuma kali ini pertanyaannya, apakah pensi yang populer di kota-kota besar Indonesia awal dekade 2000-an membuka jalan menuju kesuksesan mainstream bagi band-band independen? Atau justru pensi merupakan refleski dari semangat ledakan musik independen di Indonesia yang menolak masuk industri arus utama?
Pensi sederhananya adalah konser yang selenggarakan oleh sebuah SMA, dengan konsep acara terbuka untuk umum. SMA penyelenggara pensi menyewa band yang paling hip saat itu, membangun panggung yang besar, lalu memburu sponsor demi menyukseskan acaranya.
Videos by VICE
Pensi-pensi ini pada akhirnya punya andil dalam membangun komunitas dan kancah musik independen Indonesia. Masa-masa emas pensi sudah lama berlalu. Di Jakarta, pensi pernah jadi primadona sejak akhir 1990-an sampai tahun-tahun awal Abad 21. Saat itu, band-band jebolan Institut Kesenian Jakarta semisal White Shoes and The Couples Company serta The Upstairs tengah naik daun. Musisi muda independen ini haus mencari panggung tanpa keterlibatan manajemen besar. Dalam sekejap, pensi menyediakan saluran yang mereka cari. Rangkaian pensi yang tak henti menyediakan panggung, bayaran yang memuaskan, serta penonton muda yang rela menjadi brand ambassador mereka (tanpa dibayar tentunya).
“Komunitas independen baru kebentuk [pas pensi populer]. Ada macam-macam genre” kata Jimmi Multhazam, vokalis The Upstairs and Morfem, mengenang masa-masa itu. “Orang-orang bikin rekaman. Masa yang menyenangkan pokoknya.”
Singkatnya, pensi adalah jodoh terbaik band independen. Panggung yang tepat, dan penonton yang pas menjadi titik awal tumbuhnya kancah musik independen Jakarta, lalu format sejenis menular ke banyak SMA lain di seluruh Indonesia. Tentu saja, banyak band independen yang turut bermunculan selain dari Ibu Kota di saat yang sama.
Bagi penonton yang kala itu masih remaja, pensi berfungsi tak hanya sebagai tempat menemukan band-band yang benar-benar nyambung dengan aspirasi mereka. Pensi sekaligus sarana paling oke menikmati band-band ini di lingkungan yang aman. Orang tua mereka mungkin akan risih dan was-was ketika mengizinkan anaknya pergi nonton Seringai atau The Upstairs di salah satu bar atau stadion di Jakarta. Beda kasusnya, ketika anak-anak mereka nonton band metal di acara sekolah, para orang tua bisa duduk-duduk santai di rumah. Kadang, mereka tak keberatan anaknya pulang malam.
Bagi band-band independen ini, penonton pensi bukanlah penonton musik ideal, tapi setidaknya, semangat mereka sangat tinggi. Jangan lupa, bagi beberapa band yang kini dianggap sebagai ikon kancah independen, pensi menjadi ajang perdana bagi pertama band-band ini mengecap “sukses”—patokannya mereka bisa hidup dari panggung-panggung pensi.
Hampir semua band indie “generasi pertama” naik reputasinya berkat pensi. Sebut saja The Brandals, The Upstairs, Seringai, Goodnight Electric, dan belasan band-band seangkatan. Mereka semua menguasai sirkuit pensi terlebih dulu, sebelum akhirnya menembus pasar arus utama.
“Era pensi itu masa indah. Kami lihat banyak orang dengerin musik kami,” kata Henry Irawan, salah satu personel Goodnight Electric. “Pensi adalah tempat di mana musik kami dihargai. Plus, kami bisa dapat pendengar baru. Buat anak-anak yang datang nonton, pensi sangat inspiratif dan mendidik.”
Pensi berhasil membuat band-band macam Goodnight Electric jadi pesohor kecil-kecilan untuk skala kota-kota besar Indonesia. Hasilnya, band yang mulanya lebih terbiasa menghadapi penonton gig kelas bar dan kafe, tiba-tiba kini menghadapi fans—mayoritas anak sekolah— yang berlari dan berteriak mengejar mereka. Jumlahnya bisa puluhan, bahkan ratusan orang.
“Gue masih ingat satu pensi—lupa sih SMA mana—pokoknya panitianya jemput kami. Pas sampai lokasi, ada semacam barisan pelindung, yang bikin anak-anak SMA misahin kita dari anak sekolah sampai mbak-mbak yang lebih tua,” kata Henry. “Mereka teriak dan lari ngejar kami, pengen ngajak salaman. Gue langsung mikir itu kayak acaranya salaman sama artis macam [boyband] Big Bang atau G Dragon.”
Di salah satu pensi, lantaran tak ada barikade petugas keamanan, personel Goodnight Electric sempat diuber-uber penonton sesudah manggung.
“Ada yang lari. Sebagian jatuh,” kata Batman—nama panggung Henry—sambil terkekeh, “Gue ga ngerti. Mungkin ini yang namanya ‘boyband effect’,” imbuh Batman sembari tergelak lagi.
Goodnight Electric akhirnya berhasil membangun fanbase yang kuat sampa bisa main di tiga pensi berbeda, tiga hari berturut-turut. Imbasnya, anggota band synthpop ini sanggup berhenti kerja kantoran, memilih menjadi musisi purnawaktu.
Semua band yang disebut sebelumnya, sebelum ledakan pensi, sebenarnya sudah punya “massa loyal”. Namun patut diakui pensi membantu mengenalkan terminologi indie dalam leksikon anak muda Indonesia.
Jasa besar pensi yang paling penting adalah menghilangkan jarak. Musisi tenar di era itu terasa berjarak. Konser band mainstream rata-rata skala stadion, personelnya agak mustahil diajak nongkrong sesudah manggung. Sebaliknya, di panggung pensi yang relatif lebih intim, band-band independen mudah diakses. Penontonnya pun merasa lebih “berbudaya” dan cool. Band-band inilah yang kemudian membelah kawula muda menjadi beragam kelompok. Dalam sekali pandang, kamu bisa membedakan siapa saja yang datang dan band apa yang mereka incar. Pensi juga melontarkan band-band ini ke level pop star, sembari membuat band pop arus utama terlihat ketinggalan zaman sekian abad.
“MTV di saat sama sedang doyan-doyannya menayangkan video band-band independen,” kenang Arian13, frontman Seringai, “Terus, umur juga berperan penting. Gue pernah muda dan tahu rasanya merasa nyambung dengan energi rock yang besar.”
Namun, seperti hukum ekonomi, pensi surut gara-gara terlalu populer. Beberapa gelaran berakhir rusuh, terutama ketika satu sekolah berusaha menyaingi sekolah lainnya dalam hal mengumpulkan penonton, menampilkan band tenar, dan mendapatkan sponsor yang jor-joran.
“Pensi paling keren kayaknya pensi yang dibikin Pangudi Luhur dan Tarakanita,” kata Arian. “Headlinernya keren-keren dan sponsornya kemungkinan besar sih dapat dari koneksi orang tua mereka. Ini juga masanya ketika beberapa pensi mulai nyoba manggungin band internasional.”
Seiring makin banyaknya uang yang mengalir, pensi bergeser menjadi festival komersial, bedanya hanya ada embel-embel nama sekolah. Penonton makin membeludak dan panitia makin kewalahan mengontrol yang datang menonton.
Kerusuhan menjadi langganan pensi. Band-band jagoan pensi terpaksa ikut ambil bagian meredakan situasi. Anggota The Upstairs pernah mengenakan kaos dengan tiap personel memakai alfabet berbeda-beda. Jika dijejerkan, kaos-kaos tadi membentuk kata TENANG. Jimmi Multhazam, frontman Upstairs, merasa bertanggung jawab karena banyak penonton pensi yang dia perhatikan mulai meniru caranya berpenampilan.
“Gue rasa ada semacam persaingan antar sekolah,” ujar Jimi. “Terus, euforia penonton—kalau berlebihan—malah jadi gangguan. Karena gue ada di depan semua itu, gue rasa gue punya kewajiban untuk menekan hal-hal negatif yang mulai terjadi.”
Ujung-ujungnya, tinggal tunggu waktu sampai semua meledak. Goodnight Electric menjadi saksi pensi besar pertama yang berakhir rusuh.
“Pensi mulai busuk ketika salah satunya berubah jadi rusuh,” tutur Henry. “Gue enggak tahu apa yang terjadi—mungkin ada yang ribut atau gimana. Yang jelas ada kerumunan orang yang maksa masuk dan merusak barang di venue seperti sound system—pokoknya semuanya deh.”
Kerugiannya sampai milian rupiah. Karena diblow-up media, aturan mengenai pelaksanaan konser di ruang sekolah mulai dibuat, terutama oleh kepolisian DKI Jakarta. Tujuannya membuat pensi tetap aman, meski dengan konsekuensi perizinan pensi dipersulit. Akhirnya, cuma pensi yang kadung populer bisa selamat.
Sekarang pensi belum sepenuhnya punah, namun masa-masa ketika anak muda mengantre di gerbang sekolah untuk nonton konser tiap akhir pekan sudah jauh lewat. Bagi band-band jagoan pensi, surutnya pensi tak perlu disesali. Tren datang dan pergi begitu saja. Toh sebagian band, misalnya Seringai, masih sering diundang main di SMA-SMA seputaran Ibu Kota.
“Selama positif dan jadi bagian dari kurikulum, gue sih okay aja,” kata Arian.