Mengenang Kembali Teror Komik ‘Siksa Neraka’

Aku masih ingat mendetail pengalaman pertamaku mencicipi neraka. Tempat paling mengerikan bagi umat manusia itu terpapar di hadapanku dari lembaran-lembaran kertas. Saat itu aku bahkan belum delapan tahun. Buku mungil yang dicetak di lembaran kertas A5 itu, pas masuk ke saku, memberi mimpi buruk yang tak kunjung mau pergi selama bertahun-tahun. Buku itu adalah komik bernama Siksa Neraka. Komik ini secara eksplisit menggambarkan bermacam siksaan mengerikan yang menanti para pendosa ketika mereka dijatuhi hukuman abadi di neraka. Bulu kuduk berdiri mengingat-ingat setiap panel gambarnya.

Perasaan gentar masuk neraka bertambah, saban kali orang tuaku mengingatkan soal ibadah. “Ayo salat dulu sana, kalau engga nanti jadi kerak neraka lho,” kata ibu saat aku terpergok asyik main video game. Tapi komik inilah barangkali yang lebih efektif membuatku dan ribuan anak-anak lain se-Indonesia buru-buru mengambil air wudhu untuk beribadah dibanding nasehat orang tua.

Videos by VICE

Komik Siksa Neraka sebetulnya mutu cetakannya buruk. Banyak bagian yang gambarnya kabur. Ceritanya teramat singkat sehingga bukunya tipis saja, tak sampai 30 halaman. Harganya kalau tak salah pada waktu itu cuma Rp200 per eksemplar. Ketertarikanku membelanjakan duit jajan untuk membeli komik itu dari lapak tukang mainan depan sekolah terus kusesali lebih dari 20 tahun berikutnya.

Seri lengkap komik ‘Siksa Neraka’.

Komik yang memicu trauma ini ditulis oleh MB Rahimsyah AR dan dilukis oleh Ema Wardana, berdasarkan tafsir hadis dari kitab fiqih Irsyadul Anam dan Durratun Nasihin—yang sebetulnya di kalangan alim ulama masih menjadi perdebatan akurasinya soal deskripsi neraka. Sayang aku tidak bisa menemukan kontak si penulis. Dari penerbit, barulah kudapatkan kabar bila Ema Wardana sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Adegan yang dipaparkan dalam setiap panel komik semacam versi gore puisi epik Inferno karya Dante Alighieri. Sastra klasik tentang penyucian dosa manusia itu mungkin menjadi inspirasi sang komikus Siksa Neraka. Bedanya, Siksa Neraka enggan fokus pada deskripsi perjalanan roh, melainkan lebih pada visualisasi kekerasan brutal nan mencolok. Plotnya sederhana, untuk tidak mengatakan nyaris nihil. Cerita dibuka dengan penggambaran ruh manusia melesat ke langit setelah mati. Di akhirat, setiap manusia mendapat hukuman dan penghargaan yang setimpal, sama belaka seperti dogma agama Abrahamik lainnya. Neraka dalam penafsiran Islam mencapai tujuh tingkatan. Neraka Jahanam bagi dosa ringan sampai Hawiyah buat dosa yang paling berat.

Balon dialog Siksa Neraka fokus mempertontonkan erangan kesakitan dan minta tobat. Setiap panel dipenuhi manusia telanjang yang digantung dengan pengait dan ditusuk dengan besi panas, punggung yang meleleh karena seterika raksasa, lidah yang dipotong karena gemar berbohong, serta tangan dan kaki yang terus tumbuh meski dipotong berulang kali. Intinya setiap dosa memiliki hukumannya sendiri yang khas.

Salah satu adegan yang terus membekas, serta sukses membuat bergidik, adalah orang-orang yang dipaksa minum air telaga darah dan nanah. Jika menolak kepala mereka langsung dihajar batu dengan bara api. Itu benar-benar seram.

Waduu Biyuung = Brilian!

“Komik-komik tersebut pada dasarnya torture porn yang mengedepankan eksploitasi kekerasan yang gory, seperti era EC Comics di Amerika pada 1950-an,” ujar pengamat komik Hikmat Darmawan dari Koalisi Seni Indonesia, saat ditemui di ruang kerjanya kawasan Pejaten Barat, Jakarta Selatan. “Dasarnya memang doktrin agama yang hidup di masyarakat. Ada pesan moral di situ dan komik menjadi visualisasi secara eksplisit.”

Hikmat yang menghabiskan puluhan tahun mengumpulkan dan meneliti komik di Indonesia, mengatakan tema bercorak relijius muncul sejak 1950-an. Berbarengan dengan booming cerita silat Indonesia. Awalnya komik-komik tentang kisah nabi lebih digemari.

“Komik soal siksa neraka ini baru booming pada 1970-an hingga awal 1990-an. Pada saat komik Indonesia dikira tumbang karena manga Jepang, justru komik siksa neraka bisa bertahan. Ini juga menandakan bahwa ada permintaan besar di luar pasar toko buku besar,” ujar Hikmat.

Saking populernya banyak penerbit kelas gurem yang menerbitkan komik-komik berbau neraka. Dua penerbit yang cukup agresif menerbitkan gambaran neraka seram tadi adalah Pustaka Agung Harapan di Surabaya dan Sandro Jaya di Jakarta.

Pantas saja, aku dulu sempat bingung kenapa ada banyak versi dari Siksa Neraka di lapak penjual mainan depan sekolah. Rupanya, setelah kuhubungi pihak penerbit, setidaknya ada lebih dari dua penulis serta komikus yang terlibat. Gaya penceritaan dan visualisasi ala zine-zine underground terus dipertahankan. Minimal ada enam komik sejenis, walau Siksa Neraka tetap yang paling terkenal. Beredar kabar komikus legendaris Tatang Suhendra—sosok di balik komik ikonik Gareng dan Petruk— ikut menggarap seri Siksa Neraka. Penerbit menyatakan itu rumor belaka.

Bagaimanapun, gaya gambar Ema Wardana di komik pertama Siksa Neraka tetap yang paling membekas. Sayang, setelah berhasil menghubungi penerbit, aku mendapat kabar Ema Wardana meninggal beberapa tahun lalu. Sementara MB Rahimsyah, sang penulis, kini tak jelas rimbanya di mana.

Pustaka Agung Harapan, yang terletak di sebuah kompleks perumahan di daerah Lakarsantri, didirikan pada 1994 oleh Luhur Santoso. Penerbit ini fokus pada buku-buku agama dan dengan cepat melibas ceruk pasar komik relijius.

“Kami menerbitkan komik itu pada 1995. Kebetulan saya berkawan dengan penulis dan pelukisnya,” ujar Luhur. “Banyak anak-anak yang suka. Saya pikir komik tersebut bisa membimbing dan mendorong anak untuk tidak berbuat hal yang dilarang agama.”

Luhur mungkin sudah lupa berapa banyak komik yang telah terjual, namun dia memberi patokan 10.000 eksemplar komik telah terjual sepanjang dekade 90-an. Angka tersebut cukup fantastis mengingat jalur distribusinya yang cukup sederhana. Penerbit seperti Pustaka Agung Harapan cukup mawas diri dengan posisinya yang hanya melayani kelas bawah. Mereka tak pernah mencoba peruntungan dengan menyasar jalur distribusi di toko buku besar.

“Biasanya malah pedagang yang datang memesan ke kami. Kalau dilihat lagi komik-komik seperti itu sampai sekarang kan hanya ada di kios kaki lima, tukang mainan, dan taman bacaan. Kadang didistribusikan ke pondok-pondok pesantren juga,” tutur Luhur.

Kualitas komik yang cukup buruk memang sepadan dengan harganya. Menurut Luhur, ongkos produksi komik tersebut cukup murah. Tidak ada sistem royalti karena karya komik dibeli putus dari pengarangnya. Satu buku komik dihargai Rp 50.000 – Rp 100.000 oleh penerbit tergantung kualitas gambar dan nama si pengarang.

“Dulu kan belum ada teknologi digital, jadi master karya itu berupa tulisan dan gambar tangan, kemudian di fotokopi memakai kalkir dan dicetak dengan mesin offset kecil. Cetakan pertama sekitar 1.000 atau 2.000 kopi,” ungkapnya.

Luhur mengatakan usaha penerbitan yang dibawahinya masih menerbitkan komik-komik siksaan neraka. Terakhir pada 2013, Pustaka Agung Harapan menerbitkan sebuah remake “Kepedihan Siksa Neraka dan Calon Penghuninya” lengkap dengan halaman berwarna serta penambahan hadis-hadis mengenai nasib para pendosa di akhirat.

“Kami melihat masih ada permintaan, jadi memutuskan untuk menerbitkan lagi pada 2013. Kami cetak 4.000 eksemplar waktu itu dan saat ini habis. Sekarang belum cetak lagi karena permintaan menurun. Sepertinya karena anak-anak sekarang lebih suka memakai teknologi [digital],” kata Luhur.

Meski saat ini tak lagi menjadi barang yang populer, imbas dari komik tersebut dalam lanskap budaya populer Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata. Komik tersebut kadung melekat dalam memori generasi milenial yang tumbuh di era 1990-an.

“Komik-komik tersebut sekarang dikonsumsi secara ironis. Malah saat ini banyak yang memparodikan isi komik tersebut,” ujar Hikmat. “Kalau dilihat secara keseluruhan, apakah orang menjadi lebih baik jika membaca komik siksa neraka? Hal tersebut kan tidak bisa diukur.”

Menurut Hikmat, komik-komik tersebut pada masa jayanya justru menguntungkan rezim penguasa. Tak heran, tubuh-tubuh telanjang yang terpampang dari gambar sampul hingga detil di setiap panel tersebut lolos dari sensor.

“Dulu di setiap komik itu ada stempel dari kepolisian yang menandakan lolos sensor,” kata Hikmat. “Jelas ada ideologi di belakang komik-komik tersebut. Orang-orang yang berada di luar pakem masyarakat atau menyimpang, dihukum dengan keras. Secara isi, komik tersebut menekankan keselamatan pribadi, bukan aspek keadilan.”

Aku memutuskan berburu komik-komik berbau neraka lainnya demi nostalgia. Cukup sulit juga mencari komik ini. Pasar toko buku bekas seperti Blok M Square tak memiliki stok lagi. “Untung-untungan, Mas, kalau mencari komik kayak gitu,” kata salah satu pedagang.

Aku memutuskan mencari lewat lapak-lapak online, sukses menemukan enam judul komik terbitan Sandro Jaya. Aku tak tahu edisi ini terbitan tahun berapa. Harganya cukup murah cuma Rp15.000 untuk paket enam eksemplar. Kualitasnya berbeda dengan versi jadulnya. Kertasnya menggunakan HVS dengan tipografi yang lebih rapi— tergolong mewah dibanding mutu cetakan dua dekade lalu.

Rupanya bernostalgia nonton gambar-gambar orang telanjang berteriak kesakitan di tiap halaman tak lagi menakutkanku. Mungkin aku telah tumbuh menjadi orang yang lebih rasional, berhenti memusingkan siksaan seram di komik, karena menjadi dewasa berarti menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa bermacamnya kengerian di dunia ini. Namun, pengalaman masa kecilku tak akan pernah kulupakan. Semoga mimpi buruk Siksa Neraka tak terus mengikuti kalian.