Música

Mengenang Film Dokumenter yang Menghabisi Popularitas Hair Metal

Cuplikan adegan film dokumenter soal hair metal 'Decline of Western Civilization'​

Pertengahan 1988, film dokumenter besutan sutradara Penelope Spheeris, The Decline of Western Civilization Part II: The Metal Years diputar untuk pertama kali di Wiltern Theatre, Los Angeles. Sebenarnya lokasi pemutaran film dokumenter itu cuma berjarak kurang dari sepuluh kilometer dari Sunset Strip, Mekahnya skena Hair Metal. Walau begitu, isi film itu jauh berbeda dari apa yang terjadi di sana. The Decline of Western Civilization Part II: The Metal Years adalah kelanjutan dari The Decline of Western Civilization yang menyoroti skena Punk di LA pada akhir dasawarsa ‘70an dan awal dekade ‘80an.

Spheeris mulai berkecimpung di dunia sinema sebagai produser film-film pendek untuk Albert Brooks. Namun, tak lama berselang, Spheeris menemukannya niche-nya. Alhasil pada 1974, dia mendirikan R Rock ‘n Reel, perusahaan pembuat videoklip pertama di Los Angeles.

Videos by VICE

Dengan catatan karir seperti ini, nyaris tak ada yang menduga Spheeris bakal menggarap film dokumenter yang menggambarkan sekaligus memblejeti skena hair metal habis-habisan.

Antara Decline I dan II, Spheeris sempat menggarap segepok film panjang bertema punk/kebengalan remaja. Beberapa di antaranya adalah Suburbia, The Boys Next Door, dan Dudes. ( kelak dia akan menyutradarai Wayne’s World pada 1992). Ironisnya, ketika pada 1984 Christopher Guest meminta Spheeris menjadi sutradara mockumentary, This Is Spinal Tap. Spheeris sempat mempertimbangkan tawaran ini meski akhirnya terpaksa menolaknya. Alasannya Lumayan ideologis: dia sedang cinta mati pada metal.


“Waktu itu, saya baru mulai mendalami heavy metal…saya sedang sayang-sayangnya pada banyak band metal. Pokoknya, saya sedang mendengarkan dan menikmati metal dengan serius Saya sadar betul mereka (Guest dkk) tengah mencemooh heavy metal. Saya sih tak bisa melakukannya. Saya suka banget musiknya. Enggak mau deh kalau harus mengolok-olok heavy metal,” kata Spheeris saat diwawancarai media pada 2011 lalu. Sayangnya, lain rencana lain pula kenyataannya. Sekalipun berkeras menolak ajakan untuk membesut sebuah film yang menertawakan keseriusan heavy metal, lewat Decline II, dia justru menunjukkan sebuah kancah metal yang menertawai dirinya sendiri.

Saya menghabiskan masa remaja pada akhir dasawarsa ‘80an dan awal ‘90an. Waktu itu, pasokan benda-benda yang dicap cool datang dari kakak seorang teman. Dia kerap memborong kaset VHS bajakan fim-film besutan Spheeris. Salah satu film yang dia miliki adalah Decline. Khusus untuk yang satu ini, dia punya versi aslinya. Alasannya? Karena filmnya cool dan karakter di dalamnya keren. Haram hukumnya menonton film sekeren ini lewat kaset bajakan, begitu mungkin pikirnya.

Sebaliknya, Decline II tak pernah memenuhi definisi keren versi kakak teman saya ini. Akibatnya, film ini seringkali disinggung-singgung pakai nada yang mengejek. Pada 1992, akhirnya saya nonton film dokumenter ini. Seketika saya langsung malu. Pasalnya, setahun sebelumnya, saya pernah terkagum-kagum pada Poison dan Whitesnake. Lebih lagi, saya beli album kedua band tersebut sebagai wujud cinta saya pada mereka.

Meski malu lantaran preferensi musik saya pernah ternodai hair metal, saya tetap mencinta Decline II dan ikut sumringah merayakan hari jadinya ke-30 tahun ini. Dalam sebuah acara screening dan diskusi panel Decline II yang digelar pada 2004 silam di Los Angeles County Museum of Art, scenester glam metal cum host of MTV’s Headbanger’s Ball Riki Rachtman mengisahkan bagaimana dirinya menemukan asiknya mendengarkan metal setelah sekelompok cewek yang kenalannya bilang mau pergi nonton konser Quiet Riot.

Rachtman nantinya akan mendirikan Cathouse, sebuah klub di Sunset Strip. Rachtman tak sendirian mengelola klub itu. Dia menggaet teman sekamarnya Taime Downe, yang kebetulan juga anggota band hair metal, Faster Pussycat. Menurut keduanya, Cathouse didirikan cuma untuk satu tujuan: menarik cewek-cewek seksi datang ke sana.

Hair metal, sekalipun kental dengan seksisme yang kadarnya keterlaluan, pada akhirnya tak cuma menarik perhatian kaum hawa. Salah satu subgenre yang paling banyak dicemooh pengemar metal ini juga mengooptasi dandanan, makeup dan gaya rambut perempuan. Saat debut Poison Look What The Cat Dragged In came out dirilis 1986, khalayak pecinta musik belum siap menerima band yang keempat anggotanya yang molek dan kerap mematut bak seorang perempuan seksi. Sudah begitu, Bret Michaels cs. sepertinya hobi betul mengenakan tali sepatu dan aksesoris dari bulu berwarna pink.

“Rocker-rocker hair metal itu cantik banget,” ucap dua kakak perempuan yang gampang sangean. Keduanya sangat baik. Saya dipersilahkan duduk di atas kasur air mereka sambil melihat-lihat poster-poster Bret Michaels.

Kakak lelaki teman saya—yang gampang horny—biasanya ikut nimbrung. Dia bilang “Kenapa? Enggak boleh ikutan lihat hair metal? Salah sendiri, mereka kelihatan kayak empat perempuan seksi.”

Saya berasal dari pedalaman New Hampshire. Wawasan saya tengang musik dangkal. Maklumlah, namanya juga anak kampung. Jadi, jangan harap waktu itu saya tahu siapa David Bowie, Marc Bolan, apalagi New York Dolls. Karya-karya mereka baru benar-benar saya simak setelah dewasa.

Masalahnya, di saat yang sama, saya terlanjur ketuaan untuk mendengar apalagi terpikat oleh New Kids On The Block. Begitu masuk masa akil balik, pin-up dan musik pop yang sedang ngetren punya tiga komponen utama: rambut gondrong yang akrab dengan hairspray, lick-lick gitar metal yang ngepop dan lipstik—sontak saya langsung jatuh hati pada hair metal.

Ternyata, saya tak sendirian. Salah satu orang yang diwawancarai dalam Decline II mengklaim “kalau saya tampil lebih feminin, kesempatan untuk dapat teman ngewe lebih terbuka.” Klaim ini juga diamini oleh beberapa laki-laki lainnya. Sejumlah perempuan melebih-lebihkan sensasi “bercinta dengan lelaki yang rambutnya jatuh ke badan mereka.” Lebih jauh, mereka juaa mengklaim bahwa lelaki yang berdandan bak perempuan “bisa memunculkan tendensi biseksual dalam diri mereka.”

Musik yang berkisah tentang cinta dan esek-esek memang asik didengarkan. Sebelum glam meraja lela, metal identik dengan musik yang serius, berat dan marah-marah melulu. Saya memang menyukai Black Sabbath, Iron Maiden, Judas Priest, dan Metallica pada 1986, tapi musik mereka saat itu terasa kelewat njlimet dan keras. Intinya, bukan musik saya banget.

Saban kali saya mendengarkan metal-metal jenis ini, yang terbayang di benak saya sekumpulan lelaki—dan cuma lelaki—yang baku hantam sambil menggeram, berteriak tanpa ada satupun perempuan di dalamnya. Berbeda sekali saat saya pertama kali mendengar lagu “Photograph” Def Leppard. Saat tutu saya sedang bermain roller skate di YMCA. Begitu lagu itu disetel, saya membayangkan Joe Ellliot menyanyi langsung di hadapanya saya—dan hanya untuk saya seorang. Dalam fantasinya saya itu, Elliot menyimpan foto saya di celana jins yang keseringan ketumpahan acid.

Plus, dia juga menyimpan sweatshirt dengan pola cipratan cat milik saya dan keinginannya untuk menyentuh tubuh saya bikin dia jadi badut rock ‘n’ roll clown. Cinta saya (dan banyak perempuan yang kini berusia akhir 30an atau awal 40an) kepada hair metal bisa tumbuh subur karena usia saya baru 11 atau 13 tahun saat hair metal sedang jaya-jayanya. Usia segitu, menurut artikel terbaru New York Times yang ditulis berdasarkan analisis data Spotify adalah masa penting pembentukan DNA selera musk perempuan. Artinya, di mata kami, Poison adalah Frank Sinatra, The Beatles, Bay City Rolllers, Backstreet Boys sekaligus One Direction generasi kami. (Sekadar informasi: Noisey juga membahasnya di artikel berikut.

Seksisme dalam hair metal sukar dipungkiri. Namun, Decline II sengaja dibikin Spheeris untuk memberikan penontonnya kesempatan melihat band-band ini lewat sudut pandang perempuan. Dengan demikian, Spheeris berhasil memutarbalikkan konsep obyektifikasi. Kamera Spheeris sering dibiarkan menyusuri tubuh musisi hair metal yang terbungkus celana kulit dan lycra selagi mereka menggeliat serta melengkungan tubuh mereka. Hasilnya “hiburan mata” yang sama sensualnya dengan geliat tubuh Tawny Kitaen.

Pada bagian director’s commentary track, yang direkam 2014, Spheeris mengakui kebanyakan anggota band hair metal itu punya tampang yang sedap dipandang mata, dua di antarnya adalah Bobby Dall (Poison) dan Nadir D’Priest (London) yang hadir bersama Spheeris dalam rekaman tersebut (Sayangnya, D’Priest menghancurkan momen langka ini dengan berkomentar bahwa dirinya juga tertarik dengan anak gadis Spheeris yang baru berusia 17 tahun..kelakuan brengsek yang seperti sudah hilang dari musisi hair metal.)

Spheeris sadar betul prevalensi seksisme dalam skena musik, tak cuma hair metal. Dalam diskusi panel dan screening Decline II di atas, Spheeris mengenang pernah ditolak mengerjakan videoklip saat masih mengelola Rock ‘n Reel. “Videoklip kami enggak boleh dibikin oleh cewek.” Dalam kesempatan yang sama, dia juga menjelaskan kekuatan yang dimilkinya sebagai sutradara Decline II. “Saat saya berdiri di balik kamera, saya menjelma menjadi TUHAN.”

Spheeris memang jadi bos di balik kamera. Dan jika, band-band itu risih dengan cewek yang memegang kendali, mereka harus rela kehilangan perhatian dan publikasi yang selama ini mereka idam-idamkan. Intinya, pilihannya cuma dua: nurut pada arahan Spheeris atau berakhir sebagai band antah berantah. Sepanjang penggarapan dokumenter ini, Spheeris hanya ingin mewujudkan satu tujuan: mengabadikan musisi-musisi (hair metal) yang obscure.

Pada diskusi yang sama, dia menyatakan “Di tiga film Decline, saya selau mengincar musisi-musisi yang tak terkenal. Karena di situ titik pentingnya. Saya selalu ingin menampilkan band-band yang tak dikenal publik.” Pilihan ini pada akhir hanya akan meneguhkan kuasa Spheeris atas band-band itu. Pasalnya, Spheeris adalah satu-satunya kesempatan mereka mengecap popularitas.


Tonton dokumenter VICE soal seorang guru spesialis teknik teriak buat vokalis band metal:


Spheeris sudah berumur lebih dari 40 tahun saat menggarap Decline II, yang kian menguatkan otoritasnya di balik kamera. Pada sebuah sesi wawancara bersama DJ metal stasiun radio KNAC Tawn Mastrey pada 1988, Spheeris berani menyebut Decline II sebagai dokumenter yang berhasil. “Bila anak-anak zaman sekarang mau menontonnya dan belajar betapa beratnya menggapai kesuksesan sebagai sebuah band, mungkin di masa depan, sekian tahun dari sekarang, orang tua bbisa menyorongkan kaset ini pada anak-anak mereka dan bilang ‘yakin mau jadi rockstar? Tonton ini dulu deh.’”

Barangkali, ini alasan kenapa Decline II berakhir menjadi ejekan bagi skena yang mulanya ingin dirayakan Spheeris. Niatannya menjadikan film ini sebagai sebuah peringatan dan keputusannya menyelam lebih jauh dalam sebuah genre yang sangat bergantung pada sorotan kamera, citra tubuh, kebejatan hingga excess menunjukkan bahwa hair metal memang berat di gaya doang, isinya sendiri nyaris kopong.

Kita tentu saja bisa mencibir hair metal sebagai bahan risakan yang empuk dan menertawai lagak para pelakunya, gaya mereka, syal berumbai mereka, kita toh tak bisa menyangkal pengaruhnya pada musik dan budaya populer secara luas. Hair metal adalah bagian dari representasi kebengalan remaja dalam mainstream rock ‘n’ roll. Kaum Baby Boomer adalah generasi pertaam yang tumbuh dewasa mendengarkan rock ‘n’ roll. Lagu-lagu seperti “Animal (Fuck Like a Beast)” milik dan “Bastard”-nya Motley Crue bikin panas kuping orang tua mereka panas. Saking gusarnya, orang tua baby boomer di bawah pimpinan Tip Gore mendirikan Parents Music Resource Center. Salah satu produknya adalah Filthy Fifteen alias daftar 15 lagu yang dianggap merusak moral (isinya mencakup single Madonna, Black Sabbath sampai Def Leppard).

Ironis, generasi yang dulunya melahirkan falsafah “jangan percaya siapa siapapun yang berumur lebih dari 30 tahun” malah kalang kabut gara-gara musik yang didengarkan anak-anak mereka. Citra merekapun rusak. Mereka tal lebih geneasi yang konyol, tidak relevan dan tua.

Generation X juga generasi yang menyaksikan kelahiran video musik, format yang dipelopori dan disempurnakan oleh Penelope Spheeris. Gaya berdandan hair metal memang berhasil menutupi melompongnya substance genre ini. Saking kuat dan provokatifnya imej hair metal ini, para penggiatnya tak pernah takut dicap “sell-out” atau merasa perlu setia pada membela sikap politik tertentu di luar “Ngentot Lo, Tipper Gore.”


Tonton dokumenter VICE mengenai upaya Aceh memerangi anak-anak Punk:


Berbeda dengan anak punk yang mendahului mereka dan musisi grunge yang kelak menjungkalkan hair metal, musisi hair metal tanpa ragu mendukung Ronald Reagan. Menjadi kaya raya dan sukses besar adalah impian, bukan aib sama sekali bagi mereka. Bahkan, dalam satu bagian yang paling memorable di film Decline II, Spheeris menjajarkan 15 musisi hair metal yang tak terkenal menjawab pertanyaan “Bagaimana kalau nanti kamu gaga?” dengan “Saya pasti berhasil kok.”

Dulu, bahkan sampai sampai sekarang, saya tak mengenali kelima belas musisi itu. Tapi, saya cukup mengenali kesengakan ala musisi hair metal ‘80an serta keyakinan mereka bahwa jika mereka benar-benar yakin serta mau bekerja keras, impian mereka jadi superstar hair metal bakal terwujud. “Kalau kamu nonton band saya manggung, kamu pasti ngerti lah,” kata vokalis Wet Cherry, sebuah nama band yang kedengaran konyol pada 2018 dan karena saking konyolnya, band ini seharusnya jadi pembuka Spinal Tap di film This Is Spinal Tap..

Namun, untuk beberapa saat, 30 tahun lalu, saya sempat berkhayal bahwa sekelompok lelaki berparas bak perempuan ini tengah bernyanyi untuk saya dan kesuksesan Wet Cherry tinggal beberapa langkah sayaa. Ternyata saya—dan kita semua—kecele.

Namun, seperti apa yang Bret Michaels senandungkan dalam lagu “I Won’t Forget You,” Saya tak akan menghapus mereka dari ingatan saya meski sejatinya saya harus melakukannya.

Hair metal boleh saja sekarang mati, tapi tidak di hati saya.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey