Mengganti Agama dengan Ilmu Pengetahuan — Cerpen dari Sabda Armandio

Cerpen ini tayang sebagai bagian dari ‘Pekan Fiksi VICE: Indonesia 2038‘. Redaksi meminta penulis-penulis muda potensial negara ini menjelajahi kemungkinan situasi Indonesia pada 2038. Naskah yang kami terima rata-rata bercorak fiksi ilmiah, menyajikan gaya tutur segar, serta sudut pandang menarik saat mengulas topik seperti teknologi, lingkungan, agama, hingga nasib bahasa di masa mendatang.

Selamat membaca!

Videos by VICE


Keributan di Kamar Sebelah

“Salah satu, kalau bukan satu-satunya, oleh-oleh berharga dari awal milenium kedua di negeri ini adalah otak segar seorang dukun cabul. Keputusan saya saat itu mengambil dan mengawetkan otak seseorang tanpa izin jelas melanggar hukum, tetapi saya tahu kelak akan berguna bagi kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Terbukti, kan?”

-Diambil dari wawancara bersama Dr. Alan Sadikin, 57 tahun, mantan dokter forensik RSUD Deli Serdang (Majalah Sains Pop, 2031)

Kamar No. 41
September 89 tahun lalu psikiater asal Australia, John Cade, mempublikasikan hasil pengamatannya terhadap penggunaan garam litium untuk mengontrol psikosis. Tiga bulan sebelumnya, 14 Juni 1949, Albert II menjadi monyet pertama yang berada di ketinggian 130,6 km dari permukaan bumi. Ia sukses menunggangi roket V2, menembus atmosfer bumi, dan meski parasutnya bermasalah sehingga ia harus mati saat menubruk bumi, ia mati demi ilmu pengetahuan! Pada bulan Mei di tahun yang sama insinyur-insinyur komputer Universitas Cambridge menjalankan program EDSAC pertama kali. Program yang sanggup membantu ilmuwan dalam mengatasi kalkulasi kompleks, dan rekah fajar era informasi menyembul di horizon. Tahun gemilang umat manusia itu diawali dengan lahirnya monster di belahan dunia lain: 10 Januari 1949, dia lahir dan meninggalkan luka bagi ilmu pengetahuan. Kita sambut bersama, manusia dari zaman pra-ilmiah, Ahmad Sutardji 0.1!

Luka menaruh cangkir teh di meja saat fanfare acara televisi bertajuk ‘Pertunjukan Pra-ilmiah’ mengalun, ia meletakkan pantatnya di sofa, tirai yang biasanya menampilkan Ahmad Sutardji 0.1 masih tertutup. Ia belum melewatkan acara favoritnya.

Hermi, istri Luka, mengunyah biskuit sambil berusaha menyamankan duduk. Hermi hafal narasi pembuka acara itu. Ia membaca kisah hidup Ahmad Sutardji dengan rasa jijik yang tak tertahankan. Ia menyusuri satu per satu korban Ahmad Sutardji dengan rasa jijik yang tak tertahankan. Ia merangkum semua itu dan menulis skrip untuk acara Pertunjukan Pra-ilmiah edisi Ahmad Sutardji dengan rasa jijik yang tak tertahankan.

ilustrasi oleh Aron Marcello

Luka tahu bagaimana MT-14, robot dengan akuarium berisi otak yang membuatnya bisa bicara lengkap dengan sepasang tangan dan kaki besi yang dikontrol sepenuhnya oleh penanggung jawab acara televisi, mengatur kerja Ahmad Sutardji 0.1. Ia merancang MT-14 khusus Ahmad Sutardji 0.1, menjadikan robot itu sangkar terbaik bagi isi kepala almarhum Ahmad Sutardji, dengan rasa jijik yang tak tertahankan. Ia meletakkan otak dukun itu di dalam akuarium dengan rasa jijik yang tak tertahankan. Ia adalah orang pertama yang mendengar suara Ahmad Sutardji 0.1 setelah otak dukun itu bangun dari tidurnya yang panjang—ia bersyukur tidak dipanggil Papa—dengan rasa jijik yang tak tertahankan. Ia menjadi orang pertama yang memaki Ahmad Sutardji 0.1 dengan rasa jijik yang tak tertahankan.


“Aku bikin supaya dia tersiksa,” ujar Luka.

Hermi tertawa, “Itulah kenapa aku mencintaimu, keyakinanmu terhadap ilmu pengetahuan tak tanggung-tanggung.”

“Ah, kau berlebihan, aku cuma mewujudkan ketakutan orang-orang pra-ilmiah itu. Mereka takut neraka, yang tentu saja tidak ada, ilmu pengetahuan bisa membuatnya ada.”

“Kalau dia lepas kendali, orang pertama yang dia bunuh adalah kau.”

“Tentu tidak begitu. Orang-orang itu lebih suka menyiksa perempuan dan anak-anak, seperti tuhan mereka tega menenggelamkan anak-anak, perempuan, dan nenek-nenek hanya karena mereka tidak mau mengikuti tuhannya Nuh,” terang Luka. “Kau yang harusnya khawatir, skrip yang kau tulis itu pastilah bikin dia jengkel setengah mati, dan terutama karena kau perempuan. Ahmad Sutardji sepertinya punya masalah dengan perempuan.”
Keduanya tertawa.

Luka dan Hermi menatap layar dan melanjutkan obrolan ringan mengenai cuaca dan buku terakhir yang dibaca dan tetangga mereka yang punya kebiasaan melempar-lempar barang di jam-jam produktif.

Kamar No. 42
—BAGAIMANA KABAR MARKUS?
—SEJAK KAU MATI DIA JADI KEHILANGAN NAFSU MAKAN.
—ALASAN, BILANG SAJA KAU MALAS MEMBERINYA MAKAN.
—AKU SUDAH MEMBERI MAKANAN KESUKAANNYA, YANG RASA SALMON.
—TENTU SAJA DIA KEHILANGAN NAFSU MAKAN.
—KAU SELALU MEMBERINYA YANG RASA SALMON.
—HANYA SAAT MAKAN MALAM.
—JADI?
—DIA CUMA AKAN MAKAN RASA SALMON SAAT MAKAN MALAM.
—TAPI KAU CUMA MENYIMPAN BUNGKUS DOG-O RASA SALMON.
—KARENA WARNANYA BAGUS, AKU SUDAH BILANG BERKALI-KALI.
—KAU TIDAK PERNAH BILANG.
—KAU YANG TAK PERNAH PEDULI.
—AKU LEBIH SUKA KAU MATI SAJA.
—AKU MEMANG SUDAH MATI, ISTRI SIALAN!
—IYA, TAPI KAU MASIH BERISIK.
—KALAU TAK ADA AKU, KAU TAK PUNYA TEMAN BICARA.
—AKU PUNYA BANYAK TEMAN.
—KALAU BEGITU MATIKAN ALAT SIALAN INI.
—KAU TIDAK MENGERTI!

ilustrasi oleh Aron Marcello

Kamar No. 41
Suara piring pecah menganggetkan Luka, ia bangkit, wajahnya memerah. Hermi memegang pundaknya, “Sudah, biarkan saja. Anak itu masih berduka.”

“Aku kira kematian suaminya sanggup mengubah kebiasaannya melempar barang.”

“Setiap orang perlu waktu,” jawab Hermi, “yang penting dia tidak melempar piringnya ke wajahmu.”
“Aku menyesal menghadiahinya MT-14.”

“Hei, jangan bilang begitu. Maklumi saja. Sebagai orang yang tahu adab, cerminkan sikap yang beradab.”

“Kalau begitu kau harus setuju dengan tawaranku memasang pengedap suara.”
“Nggak usahlah,” ujar Hermi. “Nanti tetangga kita tidak bisa mendengar lenguhanku.”

Luka mengerenyit, Hermi menggigit biskuit seraya menunjukkan gestur yang meminta Luka kembali menonton televisi. Tetapi tirai belum terbuka, fanfare mengalun lebih lama dari biasanya. Layar televisi berubah biru. Suara statis mengisi ruang keluarga mereka selama beberapa detik, lalu televisi menampilkan kartun Hikayat Dunia Baru.

Biasanya, kartun ini hanya diputar pagi hari untuk menemani anak-anak menonton sambil menghabiskan sarapan mereka. Hikayat Dunia Baru terdiri dari tiga babak, babak pertama menceritakan kondisi laknat di tahun 2020 saat kelompok sayap kanan agama mendominasi parlemen. Kelompok itu mengubah haluan negara menjadi teokrasi dan memulai program pemurnian: siapa pun yang tidak mengimani agama resmi negara harus membayar pajak sebesar 90% dari penghasilan mereka. Program Pajak itu hanya berhasil menjaring sebagian kecil pemeluk agama lain. Mereka yang bertahan menyiapkan serangan balasan. Perang Sipil tak terhindarkan. Kartun Hikayat Dunia Baru menggunakan pendekatan fabel khas Orwellian, yang sebetulnya cenderung membosankan dan ketinggalan zaman, tetapi berhasil, setidaknya, mengubah tampilan perang yang kurang aduhai menjadi selucu kartun-kartun Looney Tunes, lengkap dengan ansambel jazz riang sebagai musik latar.
“Apa kita harus ke studio?”

“Kenapa?” tanya Hermi, sengit. “Kau tidak ingin punya waktu berkualitas denganku?”
“Bukan begitu,” jawab Luka, menyesap teh. “Kalau ada yang tidak beres, kita bisa ikut membantu.”
“Kalau ada yang tidak beres mereka akan menelepon kita,” terang Hermi, “Lagipula apa sih yang mungkin terjadi di studio? Kalau studio meledak, suaranya pasti sampai sini.”

“Justru karena jaraknya terlalu dekat, apa tidak sebaiknya kita cek dulu? Kalau tidak ada apa-apa, ya, kita bersantai lagi.”

“Sistem keamanan studio bahkan sanggup melindungi studio dari kiamat, kau tahu itu. Atau jangan-jangan kau meragukan kekuasaan ilmu pengetahuan?”

Kamar No. 42
—KAU TIDAK BISA APA-APA TANPA AKU.
—KAU TIDAK BISA APA-APA TANPA AKU DAN LISTRIK.
—KAU TIDAK BISA APA-APA TANPA AKU DAN LISTRIK DAN PERANGKAT DANDAN.
—AKU TIDAK MENGHIDUPKANMU LAGI CUMA BUAT BERKELAHI SEPERTI INI.
—KAU YANG MULAI LEBIH DULU.
—BAYARAN LISTRIK MEMBENGKAK DAN YANG KUDAPAT CUMA DISALAH-
SALAHKAN SEPERTI INI?
—KALAU BEGITU CABUT SAJA KABELNYA.
—BISA TIDAK SIH KAU BERLAKU MANIS SEDIKIT?
—BISA SAJA, SEANDAINYA KAU JUGA BISA SEPERTI ITU.
—SIALAN!
—SIALAN? APANYA YANG SIALAN? KAU YANG SIALAN.
—BERANI BERKATA BEGITU LAGI, KUMUMIFIKASI ANJINGMU
—MANUSIA MACAM APA KAU?
—MESIN MACAM APA KAU?

Kamar No. 41
Kartun Hikayat Dunia Baru memasuki babak kedua. Televisi menampilkan seekor kelinci putih membawa sekantung permen meloncat-loncat riang menuju kerumunan kelinci aneka-warna, kantung permen meledak dan permen-permen berpencar dan secara brutal menembus tubuh kelinci lain.
Adegan selanjutnya mudah ditebak.

Peristiwa berdarah yang lahir dari kebodohan orang beragama digambarkan dengan cerdik dan jenaka, siapa pun akan tertawa menontonnya, tak terkecuali Luka dan Hermi. Tangan mereka saling menggenggam, pinggul mereka saling bersentuhan, tawa kecil mereka terdengar separuh terhibur dan separuh mengejek.

“Ini saat yang tepat memikirkan anak.”
“Tiap kali menonton kartun ini, kau selalu bilang begitu, dan aku akan selalu memberi jawaban yang sama.”
“Aku tahu.”
“Seks kita hebat?”
“Eh, itu pertanyaan?”
“Anggap itu pernyataan.”
“Seks kita hebat,” kata Hermi, “Berkat ilmu pengetahuan.”

ilustrasi oleh Aron Marcello

Kamar No. 41

—APA YANG KAU LAKUKAN?
—KAU CEMBURU?
—TIDAK, ORANG MATI TIDAK BISA CEMBURU.
—OH, AYOLAH, SECARA TEKNIS KAU BUKAN ORANG MATI DAN KAU BISA
CEMBURU.
—AKU CUMA BERTANYA APA YANG KAU LAKUKAN?
—KAU TAHU APA YANG KULAKUKAN, KENAPA MASIH BERTANYA?
—KARENA KAU HARUS TAHU KAU TIDAK PERLU MELAKUKAN ITU DI DEPANKU.
—KENAPA? OH, APA PERLU KUINGATKAN APA YANG PERNAH KAULAKUKAN
BERSAMA PEREMPUAN SIALAN ITU?
—SUDAHLAH, TAK ADA GUNANYA MEMBAHAS HAL ITU. SEHARUSNYA KAU
GAMPANG MEMAAFKAN ORANG YANG SUDAH MATI.
—KAU BELUM, DAN TIDAK AKAN, MATI.
—KAU MENCINTAIKU?
—AKU TIDAK PERNAH, DAN TIDAK AKAN, MENCINTAIMU. AH…
—HENTIKAN! DASAR KAU MAMALIA TAK BERADAB!
—DIA TERLIHAT MENIKMATINYA.

Kamar No. 42
2 November 1988, virus pertama menginfeksi komputer melalui internet. Sejak saat itu, virus komputer gampang menyebar. Persis seperti virus mengenai hal-hal gaib; mereka menyebar dan hidup dalam kesadaran kolektif umat manusia. Begitu juga di dalam kepala Ahmad Sutardji, dan orang-orang yang meyakini kekuatan sihirnya. Pada tahun yang sama, Ahmad Sutardji mengaku menerima wangsit dari almarhum ayahnya: agar bisa menjadi dukun yang tak terkalahkan ia harus membunuh 70 perempuan dan menghisap air liur mereka. Hingga peluru menembus jantungnya, ia sudah membantai 48 perempuan. Virus bernama iman terhadap hal gaib bekerja kurang lebih sama dengan Overwrite Virus , pelan-pelan dia menghapus sisi terbaik manusia tanpa mengurangi kapasitas otak mereka. Mari kita simak bagaimana virus itu bekerja melalui cerita Ahmad Suradji.

Suara pembawa acara Pertunjukan Pra-ilmiah muncul di tengah adegan kejar-kejaran antara beruang madu dan kucing hutan. Gambar bergerak tak keruan sebelum akhirnya lenyap seutuhnya berganti suara Ahmad Sutardji, “Yah, masih kurang du—”
Suara Bruce Springsteen memotong kalimat Ahmad Sutardji.
“Sepertinya kita memang perlu ke studio.”
Only you can cool my desire,” Hermi malah bernyanyi.
“Siapa ‘ you‘ yang kau maksud?”
“Siapa lagi?”
“Pujianmu berlebihan. Aku tidak sejago itu.”
Hermi tertawa, dan mengalihkan pembicaraan. “Di luar sedang gerimis,” ujar Hermi, melipat tangannya untuk mengalahkan rasa dingin, “Bukankah lebih enak kalau bercinta?”
“Dan punya anak?”
Hermi menggeleng, menyandarkan kepalanya ke bahu Luka.
“Kalau begitu aku isi baterai dulu.”

Kamar No. 42
—KELUAR KAU, KEPARAT!
—[gonggongan anjing]
—JANGAN DIAM SAJA, DASAR SUAMI NGGAK BERGUNA.
—AKU NGGAK BISA BERGERAK. JANGYEUYEO OEP JWJWERSTRIKU.
—[gonggongan anjing]
—ORANG YANG KAU CARI TIDAK A…

ilustrasi oleh Aron Marcello

Kamar No. 41
“Apa sebaiknya kita cek kamar sebelah?”
“Kenapa kau tiba-tiba peduli dengan urusan tetangga?” tanya Luka. “Tadi kau sendiri yang memintaku untuk maklum.”

“Mereka sudah terlalu ribut.”

Hermin sedang menyimak babak ketiga kartun Hikayat Dunia Baru. Babak penting yang menceritakan Program Konsepsi tahun 2028, sebuah program genosida yang diizinkan tidak hanya oleh rakyat negeri ini, tetapi juga oleh dunia. Perang Sipil menyusutkan populasi penduduk Indonesia hingga 63%, Program Konsepsi membuat angka itu semakin besar. Penduduk Jakarta yang tersisa di tahun 2030, menurut Badan Pusat Statistik, hanya tersisa 276.394 jiwa. Salah satu poin yang termaktub dalam program itu adalah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai substitusi agama. Poin lain menerangkan bahwa agama tidak sepenuhnya ditiadakan, pemerintahan baru mengambil nilai-nilai terbaik dari seluruh agama dan keyakinan yang bersifat universal. Sisanya dibuang. “Agama membuat manusia bisa mengukir patung-patung elok, lukisan-lukisan indah, dan musik-musik merdu,” kata seekor kucing kepada kucing lain dalam kartun itu, “tetapi juga menyimpan penyakit. Banyak penyakit bagi kemanusiaan.”

Luka mencabut steker isi ulang penis rakitannya sambil menekan tombol bisu di remote televisi. Suara kucing berhenti sekejap. Ia mengajak istrinya masuk kamar saat kartun berganti panggung acara kesayangan mereka. Tirai sudah terbuka, tetapi tak ada Ahmad Sutardji di baliknya.
“Anjing mereka biasanya tidak seribut itu.”

“Mereka?” tanya Luka, Hermi menjawab dengan menunjuk dinding. “Ah, kau tahu sendiri kebiasaan tetanggamu itu, mungkin dia sedang ngewe dengan anjingnya.”
“Iya,” timpal Hermi, “tapi biasanya tidak seribut itu. Aku tahu betul.”
Terdengar ketukan pintu, “Assalamualaikum.”


*Sabda Armandio adalah penulis kelahiran Tangerang 18 Mei 1991. Saat ini bekerja sebagai art director di salah satu media online Indonesia. Bukunya yang sudah terbit adalah KAMU: Cerita Yang Tidak Perlu Dipercaya (2015) serta 24 Jam Bersama Gaspar (2016) yang masuk nominasi prosa terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa.