Mengintip Semesta Puisi Naya

Apa yang kamu lakukan ketika masih tujuh tahun? Barangkali sibuk menghabiskan uang saku membeli gorengan penuh MSG di depan SD, menabung agar bisa menebus komik Siksa Neraka di lapak pedagang mainan pinggir jalan, mungkin juga menonton kakakmu sedang bermain The Sims, atau membuat Bob dan Betty Newbie melakukan aksi “Play in Bed” di ranjang berbentuk hati. Masa-masa kecil kebanyakan orang dipenuhi rasa penasaran campur kepolosan, yang biasanya berakhir menjadi memori-memori indah atau, sesekali, penyesalan seperti, “kenapa ya dulu pas kecil aku cuma bisa ngompol di genteng rumah?”

Tentu, tak semua anak seperti itu. Beberapa bocah lainnya, di usia masuk sekolah dasar, ada yang lebih tertarik mengolah kata-kata, lantas menghasilkan larik puisi macam ini:

Resep Membuat Jagat Raya

Ambil sebutir proton
Yang sangat kecil
Lebih kecil dari pasir
Lalu lempar ke tempat jauh
Dan meledak lebih hebat

Tanpa ampun bumi kesakitan
Menangis menjadi air laut
Dan muncullah bulan
Dari debu bumi dan aku
Tak bisa ke matahari dengan
Suhu sepuluh miliar derajat

Videos by VICE

Nama penulis sajak di atas adalah Abinaya Ghina Jamela, akrab dipanggil Naya. Usianya baru tujuh tahun. Bagi penggemar sastra Indonesia, dia dinobatkan masuk kategori prodigy atawa bocah ajaib.

‘Prodigy’, lepas dari perdebatan mengenai istilah ini, bagaimanapun kerap membuat setiap orang dewasa merasa malu. Tak terbayangkan, seperti apa bakat anak-anak istimewa saat dewasa kelak jika terus diasah. Dalam kasus Naya, masa depan yang cerah itu sudah menjelang. Buku Naya, Resep Membuat Jagat Raya, berhasil masuk 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 dalam kategori Karya Perdana dan Kedua. Nama Naya dibahas oleh berbagai media, dinobatkan sebagai bibit menjanjikan bagi kancah sastra Indonesia. Puisi-puisinya tak berambisi melukiskan hal yang jauh dari dunia Naya, dunia kanak-kanak yang dia cecap sehari-hari. Dan karena itulah, ada pesona yang memancar kuat dari tiap larik sajaknya.

Saya, Naya, dan bundanya, Yona Primadesi, bertemu sesudah acara pembacaan puisi sekaligus peluncuran buku Resep Membuat Jagat Raya, di Kota Bandung, Jawa Barat. Naya nampak lelah, tapi terus tersenyum dan bergerak ke sana ke mari. Pengunjung acara sibuk memintanya berfoto bersama.

Saya mengajak Naya ngobrol sejenak, setelah gelombang orang yang mengajaknya foto bareng sedikit mereda. “Buku favorit Naya apa?”

Dunia Sophie,” Naya menjawab cepat, menyitir novel pengantar filsafat karangan Jostein Gaarder. “Kenapa suka baca buku itu?” balas saya penasaran.

Berikut kelanjutan dari percakapan kami:

Naya: “Karena Naya pengen jadi filsuf.”
Saya: “Kenapa pengen jadi filsuf?”
Naya: “Biar……. Kayak Socrates”
Saya: “Kenapa pengen jadi kayak Socrates?”
Naya: “Biar terkenal.”

Dia mesem. Begitu pula saya. Tak lama, sekian orang di kafe kawasan Kebun Seni Tamansari sibuk mengajak Naya berfoto. Saya pun bercakap-cakap bersama ibundanya.

Naya sungguh-sungguh soal kegemarannya mendalami filsafat. Setahun belakangan, Naya gandrung membaca Dunia Sophie. Tentu ada beberapa hal yang belum bisa dia pahami sendiri. Hasilnya sang bunda jadi sasaran pertanyaan Naya mengenai kiprah para filsuf.

“Saya juga baru tahu Socrates dan lain-lain itu dari dia,” kata Yona. “Karena dia bertanya, akhirnya saya mencari tahu. Kemudian saya ingat saya pernah menonton film Hipatia. Lalu saya bercerita pada Naya. Bahwa filsuf itu tidak hanya laki-laki. Ada Hipatia,” kata Yona.

Sang bunda bercerita, ketika Naya belum genap tiga tahun, dia sibuk sebagai dosen, mengajar dari pagi sampai malam. Naya sangat aktif menggunakan gadget dan menonton TV selama ditinggal orang tuanya. Tontonan dan gawai setidaknya membuat Naya tenang. Lambat laun, Naya dan ibunya jadi berjarak. Yona pun khawatir melihat perkembangan anaknya. Dia memutuskan berhenti kerja, lalu lanjut pendidikan doktoral di Bandung. Tujuannya agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Naya. Di sela-sela kuliah S3, Yona memperkenalkan Naya pada dunia tulis menulis.

Sebetulnya Naya sudah terbiasa dengan rupa-rupa fiksi, walaupun dengan cara didongengkan, jauh sebelum dia lahir. “Mungkin bagi sebagian orang tua, ‘ah itu klise banget’, tapi saya melakukan [mendongeng],” kata Yona.

Sekira usia tiga tahun, Naya melihat videonya ketika masih bayi, dibacakan satu dongeng oleh bundanya. “Oh, dulu Bunda suka bacain cerita ya,” Naya berkata. Lama-lama dia penasaran dan ingin membaca sendiri. “Bunda, Naya mau baca ini,” begitu Yona menirukan ucapan anaknya.

Naya selesai berfoto. Dia duduk, lantas turut menguping sepanjang saya dan ibunya ngobrol, sembari sesekali mengangguk-angguk.

Yona lantas mengajarkan Naya membaca. Dari situ pula Naya tertarik belajar menulis. Tak dinyana, Naya hanya butuh hitungan minggu agar lancar menulis, menuangkan macam-macam gagasan yang terpendam di kepalanya.

“Ketika Naya bisa menulis, saya kemudian berpikir. Karena saya orang perpustakaan dan saya bergerak di bidang literasi anak, saya sangat tahu bahwa kemampuan literasi anak di Indonesia itu di bawah standar 500. Jadi saya ingin bagaimana anak saya tidak seperti anak-anak kebanyakan dalam hal literasi. Itu saja,” ujarnya. “Saya pertama kali itu memberikan dia buku tulis isi 40 halaman, saya meminta tolong setiap mau tidur Naya tulis apa saja yang Naya ingat dari tadi pagi sampai malam. Buku itu masih ada sampai sekarang.”

Lambat laun, Yona menyadari buah hatinya rajin menulis puisi sejak usia 5 tahun. Makin hari, puisinya makin bertambah. Yona cukup terkejut. Sebelum kini menjadi orang tua tunggal, Yona dulu aktif menulis puisi. Sajak-sajak perempuan yang menempuh S1 di Universitas Padjadjaran itu beberapa kali dimuat berbagai surat kabar. Tapi menjadi penyair penuh waktu bukan cita-cita Yona. Estafet itu, tanpa Yona rencanakan, kini diambil alih Naya.

Selama beberapa bulan, Yona memilah kumpulan puisi-puisi bersama Naya. Yona menyadari potensi luar biasa Naya dalam menulis puisi, lalu memberanikan diri mencetaknya jadi buku berisi sepilihan puisi.

Naya dan bundanya, Yona Primadesi.

Belakangan Yona mendorong Naya terus menulis puisi, tanpa membaca terlalu banyak referensi penyair lain. Sang bunda mengaku belum mengizinkan Naya langsung membaca buku puisi Chairil Anwar, maestro sastra Indonesia dari Angkatan 45, atau pujangga-pujangga lain. Yona beralasan ingin Naya terbebas untuk sementara ini dari pengaruh puisi-puisi orang lain yang sudah matang. Apa yang Naya tulis sebaiknya terbatas apa-apa yang ada di pikirannya dulu.

Yona juga semakin serius memperkenalkan teori penulisan puisi pada putrinya. Tapi dia tidak ingin Naya terbebani. Ketika membahas metafora, ambil contoh, Yona ogah menjelaskan sederet teori. Lebih baik mereka berdua belajar sambil bermain. “Jadi kami sering berjalan sambil ngobrol, ‘ayo bikin metafora. Coba liat pohon’. Lalu dia bilang es krim panjang seperti pohon kelapa. Karena mungkin ketika jalan yang dia ingat adalah pohon kelapa,” kata Yona.

Sastra, terlepas dari yang sudah dilakukan Yona dan Naya, terbukti dapat berkontribusi besar dalam pengembangan anak. Kesimpulan itu misalnya didapat dari penelitian Mursini berjudul Kontribusi Sastra Bagi Anak-Anak.

Di luar penelitian, bukti lainnya tentu saja kebiasaan membaca Naya yang perlahan telah mengalahkan banyak orang-orang dewasa. Filsafat hanya satu cabang keilmuan yang mana Naya sudah sedikit melampaui ibunya. Yona berusaha tidak membatasi buku yang dibaca Naya. Jadi, Naya boleh membaca buku manapun, tak terpatok usia.

“Di rak itu, kami tidak memisahkan ‘itu buku Naya, ini buku saya’. Silahkan baca apa saja. Seperti sekarang. Naya sedang baca buku apa? Dunia Sophie. Saya cemas? Tidak. Kenapa? Karena kami selalu punya waktu untuk berdiskusi,” kata Yona.

Bagaimanapun, Yona tetaplah ibu sekaligus guru bagi Naya. Dia tidak menampik bila ikut memberi beberapa masukan, termasuk berperan menyunting Resep Membuat Jagat Raya. Saat saya hendak bertanya lebih jauh, Yona buru-buru menjelaskan, bahwa dia tidak pernah sampai mengganti pilihan kata atau substansi cerita puisi Naya.

Pernah suatu ketika, Naya hendak ikut lomba membawakan puisi karangannya sendiri, berjudul ‘Tempe’. Naya menulis tentang Yogyakarta dan tiba-tiba ada kata salju. “Lalu kami bilang, “Nay, salju kan gak cocok. Di Jogja gak pernah ada salju. Ganti” Dia tidak mau. Kalau dia sudah bilang enggak, oke. Itu karya dia dan kami menghargai itu,” kata Yona.

“Saya memposisikan Naya itu tidak melulu sebagai saya ibu dan dia anak. Kadang-kadang itu dia teman saya, kadang-kadang dia adalah tempat di mana saya meminta saran. Saya sangat sering melakukan itu kepada Naya. Jadi, jangan heran kalau dia tiba-tiba bilang, ‘dasar bunda ketiak ayam’. Atau makian-makian lain yang ketika orang lain lihat, hah apa sih. Kami sering menggunakan kata itu di rumah,” imbuh Yona sambil tertawa.

Sampai sekarang, Naya masih meminta dibacakan dongeng sebelum tidur. Sang ibu, yang awalnya kerap menceritakan Hipatia, berganti ke sosok lain: Aspasia. Sosok-sosok filsuf perempuan membuat Naya tertarik mendalami feminisme dan ketidakadilan yang dialami perempuan selama sekian abad. Puisi-puisi tentang perempuan itu ikut termuat dalam Resep Membuat Jagat Raya. “Setelah mendengar dongeng Aspasia, Naya menulis puisi ‘makhluk kelas dua’, tentang perempuan. Saya tidak tahu apakah saya sudah memberi pandangan tentang perempuan buat cerita-cerita Naya,” imbuh Yona.

Naya tak lagi diam, dia menyela kami berdua yang sedari tadi ngobrol. Naya bergegas menanggapi kata-kata ibunya barusan. Bocah itu ingin memastikan, dia menulis puisi tentang nasib perempuan bukan sekadar membebek cerita bundanya.

“Bunda, perempuan itu dulu ada di sini [bawah]. Laki-laki di sini [atas]. Perempuan itu budak. Sekarang itu udah agak sama. Tapi perempuan itu masih di bawah,” kata Naya pada kami berdua. Tangannya sibuk bergerak ke atas ke bawah, memastikan kami memahami apa yang dia sampaikan

“Naya mau nanti ini perempuan, ini laki-laki,” Naya menyejajarkan tangannya, membuat keduanya sama tinggi. “Jadi hati-hati ya.”

Dea Karina adalah jurnalis lepas, sering bolak-balik Jakarta-Yogyakarta. Follow dia di Twitter.