Mengulik Alasan ‘Rumah Barbie’ di Shanghai Gulung Tikar

Oeps baby

Barbie telah menemani masa kecil anak perempuan sejak berdekade-dekade lalu. Bukan sekadar mainan biasa, boneka cantik ini menghidupkan imajinasi dan kreativitas mereka yang tumbuh besar bersamanya. Namun, Barbie jadi mainan favorit anak-anak tampaknya belum cukup bagi Mattel, perusahaan asal Amerika Serikat yang memproduksinya.

Dalam rangka merayakan ulang tahun boneka ikonik yang ke-50, Mattel menggelontorkan dana sebesar $30 juta (setara Rp449,8 miliar menggunakan kurs sekarang) untuk membangun Rumah Barbie pertamanya di Shanghai, Tiongkok. Toko mainan yang dibangun di atas lahan seluas 3.344 meter persegi itu adalah Rumah Barbie terbesar di dunia, yang mencakup restoran, salon, tempat spa hingga bar bertemakan Barbie. Tokonya bahkan menawarkan koleksi baju pengantin yang dirancang langsung oleh desainer ternama Vera Wang.

Videos by VICE

Sejak awal Rumah Barbie Shanghai dibuka pada Maret 2009, Mattel berambisi menjadikannya surga pencinta Barbie, baik itu anak-anak maupun orang dewasa. Tapi sayang, targetnya gagal tercapai meski sudah dua tahun lebih berjalan. Toko megah itu terpaksa gulung tikar pada 2011.

https://www.youtube.com/watch?v=XId91Wwpna8

Tidak ada yang tahu pasti apa penyebab kerugiannya, tetapi diduga karena salah target pasar. Perusahaan mainan itu dinilai kurang memahami apa yang sebetulnya disukai gadis remaja di sana, yang mampu menarik perhatian mereka. Akibatnya, Mattel menambah daftar panjang perusahaan AS yang kecele usai menjajal pasar Negeri Tirai Bambu di awal era 2000-an.

Secara penampilan, tak setitik pun cela nampak dari Barbie Shanghai. Desain interior dan eksteriornya sudah direncanakan matang-matang oleh Slade Architecture, penyedia jasa arsitek yang bermarkas di New York. Bangunan enam lantai ini juga dianugerahi penghargaan toko terbaik pada tahun pertama pembukaannya.

Barbie Shanghai disebut-sebut sukses mewujudkan kesan feminin dan manis yang khas karakter Barbie. Pengunjung seolah-olah menjelajahi dunia penuh fantasi begitu masuk ke toko bernuansa merah muda itu. Gedung yang desainnya menyerupai boks Barbie juga paling mencolok di malam hari berkat lampu neon yang terang benderang.

“Kami ingin tokonya tampil indah luar dalam,” tutur Gene Murtha, yang kala itu Wakil Presiden Pemasaran Internasional Mattel, dalam video promosi. “[Barbie Shanghai] layaknya sebuah karya seni.”

Dalam wawancara NPR menjelang acara pembukaannya, Richard Dickson selaku General Manajer dan Wakil Presiden Senior Barbie—saat ini ia Presiden dan COO Mattel—menyebut sudah tepat memilih Shanghai karena paling mewakili semangat yang diusung Barbie. 

Peluang sukses mungkin akan lebih tinggi jika tokonya dibuka di Milan, Paris, London atau New York yang dikenal sebagai kiblat fesyen dunia, sesuai karakter Barbie yang selalu tampil modis. Tapi menurut Dickson, mereka ingin menunjukkan Barbie bisa menjadi apa saja. “Di budaya ini, Barbie bisa menginspirasi perempuan kalau mereka bisa jadi apa saja. Barbie punya karier cemerlang, mobil bagus, jet pribadi dan pacar yang keren. Ditambah lagi, Barbie selalu terlihat cantik,” tuturnya. Mattel tidak menjawab saat dihubungi VICE.

Namun, pada praktiknya di lapangan, Barbie Shanghai bukan cuma gagal menggaet gadis remaja untuk menjadi konsumen, toko itu juga kurang menarik perhatian perempuan dewasa. Banyak produk yang ditawarkan sama sekali tidak ramah anak, seperti minuman keras bertema Barbie dan pengencang payudara.

“Saya rasa perbedaan budaya penyebab utamanya,” ujar Lori Verderame, sejarawan seni dan juru taksir koleksi mainan antik. “Mattel terlalu optimis produknya bakal sukses, melihat peluang yang besar di pasar Tiongkok.”

Menurut Verderame, koleksi boneka Barbie masih tergolong hobi yang niche. Boneka ini memang mainan favorit anak-anak. Tapi kalau sudah namanya koleksi, hanya segelintir orang yang mampu membeli edisi terbatasnya. Di Barbie Shanghai, misalnya, pakaian ala Barbie yang dijual berasal dari merek-merek mahal. Begitu pula dengan koleksi makeup yang tersedia di sana. 

Kami menemukan iklan satu set Barbie yang cuma dijual di Barbie Shanghai. Boneka berwajah perempuan Asia itu dihargai $128 (Rp1,9 juta) di eBay. Koleksi terbatas yang diproduksi pada tahun pembukaan Barbie Shanghai mempunyai kisaran harga 75-200 Dolar AS, setara Rp1,1 hingga 30 juta.

Ada juga yang berspekulasi momentumnya kurang pas saat toko mainan itu dibuka. Verderame mengamini pendapat ini. Andai saja Barbie Shanghai dibuka sekarang, saat seluruh dunia tengah mengantisipasi film Barbie, mungkin akan lain ceritanya. “Orang-orang tak hanya penasaran sama filmnya. Banyak sekali yang jadi tertarik mengoleksi barang-barang bertema Barbie,” kata Verderame. Menurutnya, ketertarikan pada Barbie mulai mengalami lonjakan menjelang penayangan filmnya. 

Tak sedikit orang tergiur mencoba-coba gaya Barbie dan Ken yang terinspirasi dari penampilan Margot Robbie dan Ryan Gosling. Mereka-mereka yang tadinya masa bodoh sama mainan ini jadi kepo berkat promosi filmnya yang fantastis.

Tampaknya, kekeliruan Mattel dalam memprediksi minat global terhadap Barbie jadi alasan paling masuk akal kenapa Barbie Shanghai terseok-seok menjaring konsumen belasan tahun lalu. Perusahaan itu seharusnya melakukan riset lebih dalam untuk memastikan visinya sudah sejalan dengan target pasar.

Dewasa ini, industri perfilman Hollywood makin lihai memikat audiens Tiongkok. Masyarakat Tiongkok juga mulai tertarik dengan kebudayaan luar, khususnya negara-negara Barat. Ada kesempatan emas bagi Barbie Shanghai untuk meraup keuntungan, apalagi jika ditambah pengalaman berwisata ke Amerika tanpa benar-benar mengeluarkan ongkos ke luar negeri. Contohnya saja, komplek perumahan Tianducheng di kota Hangzhou yang disulap habis-habisan hingga mirip kota Paris.