Sudah satu tahun ini Klara, 26 tahun, tak pernah tidur nyenyak. Setiap malam selalu gelisah. Keringat dingin bercucuran. Setiap ada bunyi yang menyerupai ledakan, dia ketakutan. Klara ingat hari di awal Desember 2018 itu, ketika aparat militer datang ke kampungnya di Nduga buat mencari kelompok separatis. Bersama keluarganya dia tunggang langgang masuk ke hutan.
Dia lantas teringat kejadian yang hampir sama pada 1996, ketika tentara menyisir kampung-kampung dengan helikopter dan bom. Saat itu militer memburu rombongan separatis yang dipimpin Kelly Kwalik yang dianggap menculik tim riset Taman Nasional Lorentz.
Videos by VICE
Kekerasan dan trauma tampaknya tak pernah pergi dari hidup Klara.
Derita yang dialami Klara juga dialami puluhan ribu orang lain, yang saat ini masih bertahan di kamp pengungsian di Wamena. Kamila, 30 tahun, sempat terpisah dengan putranya Tom yang saat itu berusia 3 tahun. Tom sempat terjatuh di hutan ketika lari menyelamatkan diri. Perkembangan motoriknya kini terganggu dan tak pernah mendapat perawatan medis layak.
Situasi krisis di Nduga selama dari akhir 2018 hingga kini adalah sisi paling gelap kemanusiaan di Papua. Sejak operasi militer di bawah pemerintahan Joko Widodo dilancarkan sebagai tanggapan dari insiden kekerasan bersenjata oleh TPNPB/OPM pimpinan Ekianus Kogoya yang menewaskan sedikitnya 16 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018, telah menyebabkan lebih banyak darah tertumpah. Kedamaian tak juga datang di tanah Papua.
Operasi militer membuat warga Nduga terusir dari kampung. Menurut laporan Tim Relawan Kemanusiaan, para pengungsi itu datang dari 13 distrik, antara lain Mapenduma, Kagayam, Mugi, Yall, Yigi, Mbua, Mbulmuyalma, Nirkuri, Inikngga, Mugi, Mam dan Dal. Sebagian besar mengungsi di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, pusat kawasan ekonomi di pegunungan tengah Papua.
Populasi keseluruhan warga Nduga sekitar 106.000 jiwa. Sementara warga Nduga yang terpaksa mengungsi dari kampung sekitar 45.000. Laporan Tim Relawan Kemanusiaan, 27 Desember 2019, mencatat 241 warga Nduga meninggal, termasuk Hendrik Lokbere, seorang pengemudi dan ajudan Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge, yang ditembak mati oleh aparat keamanan pada 20 Desember 2019. Hendrik tertembak ketika tengah berjalan di Kampung Yosema, Distrik Kenyam, Nduga.
Rata-rata pengungsi meninggal karena sakit. Mereka enggan datang ke fasilitas kesehatan karena takut. Beberapa orang yang pergi ke layanan kesehatan pemerintah tidak dilayani karena secara administratif mereka tidak terdaftar sebagai penduduk setempat. Beberapa ditolak karena tidak memiliki kartu identitas.
Hingga kini nasib para pengungsi tak kunjung membaik. Konflik juga belum padam kendati Wentius mundur dari jabatannya. Wentius, yang mundur secara terbuka di depan warganya, kecewa atas sikap pemerintahan Joko Widodo dalam menangani konflik di Nduga.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem dilansir Tirto.id mengatakan pemerintah harus mengevaluasi pendekatan militeristik di Papua. Sebab ia dinilai tak menyelesaikan masalah.
“Saya pikir pendekatan keamanan dengan militer tidak pernah selesaikan masalah di Papua. Pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan LSM terus-menerus telah sampaikan ke pemerintah pusat untuk tarik pasukan dari Nduga. Tapi, pemerintah pusat tak bertindak sama sekali,” kata Theo.
Satu tahun lebih tragedi itu berlalu. Bangsa ini melupakan mereka yang ada di Nduga.
Albertus Vembrianto adalah jurnalis lepas dan fotografer yang tinggal di Papua. Simak karya-karyanya yang lain di sini.