Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) sudah kalah. Sementara di Indonesia jaringan yang berafiliasi dengan ISIS terus menjadi target penangkapan. Sayang fakta di lapangan justru membuktikan bahwa ancaman dari kelompok pro-ISIS sulit diredam meski ratusan orang sudah ditangkap dan diadili.
Kemarin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjadi pejabat pertama yang ditusuk seseorang yang berafiliasi dengan ISIS. Insiden ini adalah momen penyerangan pejabat tinggi tertangkap kamera untuk pertama kalinya. Selain itu, sepanjang sejarah indonesia, baru kali ini pejabat setingkat menteri mengalami percobaan pembunuhan serius (Presiden Sukarno justru mengalami lebih dulu, ketika dilempar granat di Cikini).
Videos by VICE
Pelaku teridentifikasi sebagai Syahril Alamsyah alias Abu Rara. Dia berpura-pura sebagai warga yang hendak bersalaman dengan Wiranto. Dari video yang beredar Alamsyah langsung menyerang Wiranto dari belakang petugas kepolisian dengan menggunakan kunai – sejenis pisau kecil – dan melayangkannya ke arah perut Wiranto.
Wiranto nampak terhuyung dan terjatuh di tengah kerumunan warga. Politikus 72 tahun itu menderita dua luka tusukan pada bagian sebelah perut kiri bawah. Sementara Syahril segera dibekuk oleh personel kepolisian. Ajudan Wiranto bernama Fuad dan Kapolsek Menes Kompol Dariyanto turut melindungi Wiranto dalam insiden itu. Akibatnya mereka terluka di bagian punggung. Polisi berhasil mengamankan Alamsyah beserta istrinya Fitri Andriana. Polisi yang menggeledah rumah Andriana menemukan sejumlah anak panah.
Polisi menduga kedua pelaku tersebut terpapar paham radikal ISIS dan terkait jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD). Sementara Badan Intelijen Negara (BIN) mengidentifikasi Alamsyah memiliki kaitan dengan JAD Bekasi.
“Diduga pelaku terpapar radikalisme, nanti kita coba dalami apakah SA masih punya jaringan JAD Cirebon atau JAD lain di Sumatera,” kata juru bicara Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo dalam jumpa pers. Mabes Polri pun membantah kecolongan. Sebab interaksi pejabat publik dengan masyarakat itu hal biasa, kata pihak kepolisian. Sebab lain, adalah hal sulit untuk memetakan seluruh rencana serangan.
“Tak ada yang meragukan kemampuan densus 88 dan intelijennya,” kata direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones kepada VICE Indonesia beberapa waktu lalu. “Densus 88 sudah bekerja dengan baik dalam menekan serangan teroris.”
Di tengah hiruk-pikuk pasal bermasalah dalam RUU dan jauh dari pemberitaan media, polisi terus beroperasi menangkap terduga teroris dalam apa yang mereka sebut preemptive strike terhadap aktivitas sel-sel terorisme. Dari awal 2019 hingga Mei, Mabes Polri telah menangkap 68 terduga teroris.
Saat peristiwa aksi mahasiswa menuntut pencabutan RUU bermasalah akhir September lalu misalnya, kepolisian menangkap puluhan terduga teroris di Medan, Sumatra Utara dan Jakarta. Pada 23 September, polisi menangkap sembilan orang terduga teroris di Cilincing dan Bekasi yang diduga hendak meledakkan bom saat aksi mahasiswa.
Sembilan orang yang ditangkap tersebut belakangan diketahui sebagai jaringan JAD Bekasi pimpinan pria berusia 28 tahun Fazri Pahlawan alias Abu Zee Ghurobah. Ghurobah berperan sebagai koordinator dan perekrut anggota. Kelompok itu disinyalir juga punya kemampuan membikin bom. Dari keterangan polisi, kelompok itu juga kerap mengadakan latihan militer di Gunung Salak dan di komplek perumahan Paris Residence Bekasi setiap Minggu sore.
Yang menarik, dari temuan polisi, Ghurobah juga berperan menikahkan beberapa orang anggotanya, termasuk Syahril Alamsyah dan Fitri Andriana di rumahnya di Bekasi. Temuan itu senada dengan pernyataan Kepala BIN Budi Gunawan. Dari pantauan intelijen, Alamsyah sudah pindah dari Kediri ke Bogor sejak tiga bulan lalu. Dari Bogor Alamsyah kemudian pindah ke Menes, Pandeglang tempat istrinya.
Namun belum diketahui bagaimana Alamsyah bisa direkrut dan bergabung dengan kelompok Abu Zee Ghurobah. Belum jelas pula bagaimana Alamsyah bisa lolos dari penyergapan itu hingga mampu menyerang Wiranto.
Sel-sel teroris yang tertidur ini justru sulit diidentifikasi dan sebenarnya tidak selalu terkait dengan JAD, yang sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah pada akhir Juli 2018. Direktur Pelaksana Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Adhe Bhakti mengatakan orang-orang yang mendukung terorisme tidak melulu memerlukan suatu organisasi dengan struktur kaku.
Dalam artian, kata Adhe, mereka bisa bergerak secara independen tanpa harus mengambil bagian dalam tugas-tugas di dalam organisasi. Adhe berkata kelompok teroris lebih merasa disatukan oleh satu ideologi dibandingkan disatukan oleh sebuah organisasi.
Sidney Jones juga mengatakan hal sama. Meski JAD – sebagai organisasi terbesar sejak Jemaah Islamiyah – bubar dan ISIS mengalami kekalahan bertubi-tubi di Timur Tengah, bukan berarti aktivitas terorisme akan terhenti begitu saja. Dalam laporannya April lalu, IPAC mengidentifikasi bermunculannya kelompok-kelompok kecil yang justru tak terafiliasi dengan JAD.
“Kelompok-kelompok ini muncul dengan indoktrinasi, training, pengalaman dan perekrutan yang minim,” kata Sidney. “Yang mereka miliki cuma kemauan keras dan keinginan untuk dikenal.”
Dari data kepolisian, 396 terduga teroris ditangkap sepanjang 2018. Itu lebih dari 100 persen dibandingkan 2017 yang cuma 176 orang. Jumlah kasus pun meningkat dari 12 menjadi 17 kasus. Peningkatan jumlah penangkapan tersebut juga imbas dari pengesahan UU Anti Terorisme yang memberi aparat keleluasan dalam mencegah serangan.
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh Al Chaidar berpendapat negara masih menjadi simbol represi yang akan terus dilawan oleh kelompok radikal. Sementara posisi Wiranto sebagai Menkopolhukam adalah perwujudan dari simbol negara tersebut. Ada kecenderungan akumulasi kebencian terhadap pejabat negara, kata Al Chaidar.
“Ini biasanya sudah direncanakan, dan perencanaan yang paling penting dari kelompok teroris itu bukan perencanaan teknis ya, tapi lebih kepada perencanaan akumulasi emosi,” kata Chaidar.
Membaca pola serangan teroris di Indonesia tergolong sulit. Selalu ada perubahan target dalam narasi mereka. Sepanjang 2000, ketika Jemaah Islamiyah sedang kuat-kuatnya, target mereka adalah apapun yang memiliki kaitan dengan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat – yang saat itu tengah gencar mengampanyekan Global War on Terror pasca serangan 9 September.
Pasca serangan bom Bali, target kemudian bergeser kepada personel aparat keamanan, sebagai bentuk balas dendam atas operasi Densus 88. Satu manifesto teroris yang menyerukan serangan ke personel kepolisian telah beredar sejak 2011 dengan judul Wahai Bidadari Surga, Kupinang Kau Dengan Kepala Densus. Hal tersebut juga dilandasi seruan dari ISIS yang menggambarkan polisi sebagai perwujudan thogut atau kafir.
Hal tersebut diamini Kapolri Jenderal Tito Karnavian, yang menyebutkan tren penyerangan terhadap anggota kepolisian sejak 2015. Pada 2017, 18 personel kepolisian gugur dalam kasus terorisme, menurut Tito.
Yang jelas, teroris tetap bisa bergerak tanpa harus ada payung organisasi. Label organisasi sudah tak perlu lagi, kata Adhe Bhakti.
“Para pendukung JAD sejak awal sudah tidak terlalu peduli dengan organisasi, mereka bisa bergerak tanpa ada organisasi juga,” kata Adhe. “Masalah mereka akan melakukan apa nantinya, itu yang menjadi tantangan.”
Satu hal yang pasti Ideologi ISIS tak pernah pergi, meski kelompok itu sudah angkat kaki.