Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.
Kehidupan di dapur sebetulnya tak pernah ringan. Karena itulah, profesi chef bukan pekerjaan gampang. Dibutuhkan ketepatan tingkat dewa, keativitas tanpa ujung, dan kemampuan selalu woles walau kita bekerja sebuah sebuah lingkungan kerja bikin stres. Nah, cerita yang sedang kami bahas ini bukan tentang chef biasa. Kalian butuh modal lebih dari tiga hal yang sudah disebut sebelumnya, jika ketiban sial terpilih sebagai chef di Stasiun Concordia, salah satu fasilitas riset paling terpencil sedunia. Stasiun ini letaknya di Kutub Selatan. Siang dan malam di sana bisa terjadi sampai hitungan bulan dan suhunya bisa mencapai di bawah 60 derajat celsius. Bekerja sebagai chef di lokasi yang lebih pas disebut freezer ini adalah pekerjaan teramat berat.
Videos by VICE
Tapi, itu tak dirasakan oleh Luca Ficara, yang sudah bertugas di Concordia sejak November 2016.
Ketika saya bercakap-cakap dengan Ficara via Skype, dia mengaku baru seminggu berpisah dengan sinar matahari. Walau topik ceritanya suram, Ficara terlihat riang, terus tersenyum dan tak berhenti bekelakar. Padahal, sebagai chef di Concordia, kondisi tempat kerja Ficara jauh dari “kondisi terbaik yang bisa didambakan seorang chef.” Walaupun pekerjaan Ficara sudah dari sononya penuh tantangan, yang dikeluhkan oleh Ficara justru hal-hal remeh. “Sudah tiga bulan, aku tak pernah ketemu jeruk,” ujarnya. Tampak sekali melankoli di wajah Ficara (yang disebabkan kangen melahap jeruk)
Ficara, yang memperoleh julukan “Si David Copperfield dari Dapur” oleh kru Concordia, berasal dari Sisilia. Di Sisilia itulah tempatnya menempa diri sebagai chef profesional selama lima tahun. Ficara sekolah di IPSSAR Hospitality School di Catania, Italia. Ketika usianya menyentuh 30 tahun, Ficara telah berpindah-pindah dapur di berbagai benua. Mulai dari Australia, Inggris hingga Spanyol. Tentu saja, bekerja di Benua Putih seperti Antartika tidak masuk rencananya semula.
“Jujur saja, aku tak pernah berencana bekerja di Antartika,” kata Ficara diselingi tawa. “Semuanya terjadi seperti lotere—kamu beli karcis lotere. Kalau beruntung, kamu akan menang. Kamu terus memimpikan menang lotere tapi tak berpikir bakal jadi pemenang.”
Saban tahun, Italian National Program for Antarctic Research (yang berbagi fasilitas penelitian dengan French Polar Institute Paul Emile Victor) menggelar undian untuk menentukan siapa yang bakal jadi chef utama Stasiun Concordia selama setahun. Berkat sistem undian itulah, Concordia kesohor sebagai stasiun penelitian yang memiliki menu makanan maknyus. Lonely Planet bahkan menyebut Concordia sebagai tempat yang tepat untuk menikmati “santapan paling lezat di Antartika, ditemani anggur kelas atas dan makan malam tujuh hidangan di hari minggu.”
Ficara memang tak pernah membayangkan bakal jadi Chef di Concordia. Meski begitu lelaki asal Sisilia ini memang mempunya kriteria paling pas menjadi juru masak Concordia. Ficara memiliki pengetahuan masakan yang luar biasa. Setiap chef pilihan PNRA tak hanya harus bisa menunjukan kemampun mengolah makanan namun juga harus memiliki pengetahuan luas tentang resep makanan internasional. Kemampuan ini mutlak dibutuhkan karena chef di Concordia melayani 13 kru yang datang dari berbagai negara seperti Inggris, Swiss, dan Italia.
Kru musim dingin di Concordia hampir sepenuhnya terisolasi. Komunikasi mereka dengan dunia hanya bisa dilakukan via interaksi digital terutama dalam delapan bulan yang dingin ketika bahkan bahan bakar jet pun berubah menjadi gel. Dalam kondisi terisolasi seperti ini, makanan jadi suatu luar biasa penting di Concordia. Guna menyelamatkan kru Concordia dari rasa kangen rumah yang akut, Ficara tak ragu untuk menyuguhkan pudding Yorkshire, foie gras atau chicken parmiginia.
“Yang harus kita pahami adalah setiap hari di Concordia bisa dibilang cuma gitu-gitu doang, jadi biar lebih berkesan, setiap akhir pekan kami bikin acara spesial,” ungkap Ficara. “Misalnya, untuk kru dari Prancis, aku berusaha memasak santapan Prancis yang lezat. Aku meminta seseorang bertugas sebagai seorang Sommelier dan menjelaskan bagaimana makanan itu harus dihidangkan. Kami sudah beberapa kali mengadakan malam penuh gaya seperti ini.”
Kendati Ficara berusaha sepenuh hati untuk menghadirkan malam-malam spesial bagi semua kru, tujuan mulia itu tak tercapai tanpa bantuan bumbu penting lainnya: alkohol. Kru Concordia memiliki banyak persedian minuman beralkohol. Sayangnya, agar mereka tak lantas keasyikan bersenang-senang, ada aturan yang menyatakan bahwa alkohol hanya boleh disentuh setiap malam minggu. Pada malam-malam ini, kru Concordia berpesta, makan-makan, lalu menenggak alkohol untuk merayakan satu minggu yang sudah mereka lewati. Selain rajin mendownload resep cocktail di internet untuk dijadikan bahan eksperimen, sebagian besar kru Concordia menggemari anggur. Hobi ini hal yang menyatukan kru Italia dan Prancis.
“Kami memang tak punya bar anggur, tapi asal anda tahu, kami punya banyak sekali anggur,” ujar Ficara, tergelak. “Bagi saya, anggur yang paling enak bagi semua orang adalah anggur dari tempat mereka dilahirkan.”
Di bulan-bulan musim panas (November sampai Februari), populasi Concordia melonjak sampai 75 orang. Dlapan bulan sebelumnya, Ficara sendirian bisa melayani kebutuhan perut ‘hanya’ 13 orang kru. Karena pengunjung stasiun bertambah,Ficara bakal akan kelabakan dan membutuhkan bantuan dari banyak orang. Jelas ini tugas yang mahaberat. Namun, Ficara tak kehabisan akal. Dia bermurah hati membagi ilmu memasaknya dengan siapa saja yang mau belajar—dan pada akhirnya membantunya di dapur.
“Aku biasanya sendirian saja di dapur. Tapi kadang, aku juga buka kursus masak kecil-kecilan untuk kru Concordia. Misalnya, aku mengajari Beth (dokter asal Inggris) membuat Muffin. Aku juga membuat pizza bersama [Mission Commander Concordia dari Italia],” ujar Ficara. Sembari mengajari para kru cara menyipkan makanan, Ficara kerap menceritakan bagaimana awalnya dia belajar memasakan santapan tertentu. “Bagi saya, selalu menyenangkan bila kita bisa makan setelah kita bepergian bersama atau menemukan bumbu masakan yang belum kita kenal. Tiap santapan punya sejarah bagi saya. Jadi saya senang menceritakan bagaimana aku pertama kali mempelajari memasakan sajian tertentu.”
Musim panas di Antartika membawa sinar matahari tak berkesudahan. Yang datang lainnya adalah kru baru dan makanan segar, sebuah kemewahan bagi Ficara yang selama delapan bulan harus ikhlas berkreasi dengan macam-macam makanan beku. Tapi kedatangan makanan segar tak selalu dirayakan berlebihan.
“Ini mungkin mengagetkan, tapi setiap kali kami kedatangan makanan segar, kami memakannya sealamiah mungkin. Maksudnya, kami langsung menggigitnya, tomat misalnya. Ya sudah kami makan begitu saja,” ujar Ficara. Para kru juga gemar menyantap buah-buahan dan sayuran segar.
Sejatinya, perjalanan yang ditempuh bahan makanan segar ini amat panjang. Beberapa di antaranya berasal dari Prancis, Italia dan Australia. Semua bahan makanan diangkut dengan kapal ke Antartica. Sesampai di daratan salju abadi itu, bahan makanan harus menempuh jalan darat sejauh 1.200 km selama sepuluh hari untuk bisa sampai ke Concordia.
Pun, datangnya bahan makanan segar tak otomatis membuat pekerjaan Ficara jadi jauh lebih enteng. Ficara harus merencanakan apa yang bakal ia masak berbulan-bulan sebelumnya, mengakali sempitnya budget makanan. Belum lagi, sistem pengiriman bahan makanan yang tertera di atas tak menjamin makanan segar sampai di tempat kerjanya.
“Makanya, yang paling penting dilakukan adalah menyimpan anggur, buah dan sayur-mayur segar dalam kontainer khusus dalam perjalanan menuju Concordia. Kalau tidak, yang sampai adalah makanan beku dan ketiga es-nya mencair, semuanya meleleh.” ujar Ficara. “Kali ini, mungkin untuk pertama kali dalam sepuluh tahun, kami mengalami kendala pengiriman makanan. Saya tak menerima semua bahan makanan yang saya pasar. Tak ada jaminan kamu menerima pesenanmu di sini.”
Intinya, Ficara sangat menyukai bekerja di Concordia meski tak pernah menampik keinginannya kembali bekerja di dapur nomal, yang tak terpencil. Sebelum mengakhiri tugasnya di Kutub Selatan, Ficara mewanti-wanti calon penggantinya.
“Yang paling bikin pusing di Concordia adalah bahan masakan. Kami hidup di tempat yang tak normal dan semua makanan yang ada beku. Jadi, susah untuk mendapatkan cita rasa makanan yang kita inginkan,” ujar Ficara. “Kuncinya jangan pesimis, tetap woles, jangan malas, dan teruslah berinovasi sebagai chef.”