Di hari terbebasnya musisi Jerinx dari penjara dan resmi menyandang label korban UU ITE, harapan kelak warga negara tidak lagi kriminalisasi hanya karena berekspresi tiba-tiba muncul. Pada konferensi pers yang disiarkan langsung kanal YouTube Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Kemenko Polhukam) Selasa (8/6), Menkopolhukam Mahfud MD mengumumkan rencana pemerintah melakukan revisi beberapa pasal bermasalah dalam Undang Undang No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selama revisi belum jadi draf final, SKB 3 Menteri yang berisi pedoman UU masih berlaku, sebagai wadah tafsir hukum bagi aparat penegak hukum.
Revisi akan difokuskan pada Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 dengan penambahan Pasal 45C. Proses sunting UU akan menitikberatkan pada penambahan penjelasan istilah yang lebih ketat dengan harapan menutup celah kriminalisasi.
Videos by VICE
“Itu semua untuk menghilangkan multitafsir, menghilangkan pasal karet, dan menghilangkan kriminalisasi yang kata masyarakat sipil banyak terjadi. Kita perbaiki,” ujar Mahfud. Dia mengakui keputusan ini dibuat setelah melalui kajian yang melibatkan 55 orang dari Kemenkumham, Kemkominfo, Polri, Kompolnas, pelapor dan korban UU ITE, aktivis, praktisi, pers, akademisi, anggota DPR, partai politik, kejaksaan agung, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.
“Revisi UU ITE mencakup enam masalah saja. [Contoh] salah satunya mengenai ujaran kebencian. Agar tidak ditafsirkan macam-macam, kita kasih tahu ujaran kebencian itu apa. Misalnya, [bisa masuk kategori ujaran kebencian apabila] didistribusikan dengan maksud diketahui umum. Kalau didistribusikan sendiri secara pribadi sama saudara, itu tidak bisa dikatakan pencemaran atau fitnah,” lanjut Mahfud. “Jadi, revisinya secara substansi menambah kalimat, memperjelas maksud dari istilah-istilah yang ada di UU itu.”
Pernyataan Mahfud jadi kabar mengejutkan setelah akhir Mei lalu organisasi sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE melancarkan kritik kala pemerintah sepakat untuk lebih memilih menyusun pedoman penerapan UU ITE yang akan dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian/lembaga dibanding merevisinya. Kala itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan salah satu kekhawatiran dengan mengatakan pedoman tidak akan mengikat kuat dalam penerapannya.
“Secara yuridis tidak mengikat kekuasaan menyidik dan menuntut, sekalipun dua-duanya di bawah eksekutif. Pedoman bersifat tidak mengikat dan boleh digunakan, boleh juga tidak,” kata Abdul kepada Lokadata. Pada 2020, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 119 kasus dugaan pelanggaran hak kebebasan berekspresi yang menimpa 141 korban sebagai tersangka UU ITE, di antaranya 18 aktivis dan 4 jurnalis.
Merespon pengumuman dari menkopolhukam ini, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum berharap pemerintah tak cuma manis di lidah doang.
“Kami harap pemerintah mendengarkan aspirasi dan melibatkan masyarakat secara umum dalam proses revisinya. Jangan sampai setelah revisi, masih belum bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat ataupun korban yang selama ini sudah dikriminalisasi pasal karet UU ITE,” ujar Nenden kepada VICE. “Idealnya sih pemerintah melibatkan banyak pihak ya, kalau perlu dibuka seperti apa draft-nya supaya kita sama-sama bisa ikut mengkritisi dan memberikan masukan.”
Kemkominfo dan Kemenkumham didaulat jadi garda terdepan pemerintah meminta revisi aturan ke legislatif melalui prolegnas. Mengenai nama-nama ini, Nenden punya kekhawatiran, “Kemkominfo punya track record dan perspektif kurang baik terkait hak-hak digital, kalau dalam proses revisinya masih menggunakan mindset yang sama, ya jadi skeptis juga apakah hasilnya akan sesuai,” tutup Nenden.