Pada Rabu (3/11) malam, warganet geger setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengeluarkan pernyataan yang dinilai bertentangan dari semangat konservasi lingkungan.
Lewat Twitter pribadinya, ia mencurahkan pemikiran bahwa tak adil kalau Indonesia diminta dunia memenuhi target zero deforestation pada 2030. Menurut Siti, pembangunan “besar-besaran” yang sedang dilakukan Presiden Joko Widodo membuat negara tak mungkin sepenuhnya menjaga utuh hutan.
Videos by VICE
Menteri Siti Nurbaya lantas mencontohkan pembukaan hutan untuk bikin jalan buat menghubungkan desa-desa terisolir. Menghentikan kebijakan pembangunan atas nama zero deforestation, kata Siti, melawan mandat UUD 1945.
Twit ini adalah bagian dari thread yang dibuat Siti, memuat ulang apa yang politikus Partai Nasdem itu sampaikan saat menghadiri undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11) sebelumnya. Manuver membenturkan kepentingan pembangunan dengan kelestarian alam, apalagi disampaikan lembaga yang harusnya mati-matian menjaga lingkungan, tersebut langsung menuai kritik.
Cetak tebal sikap negara terangkum pada satu twit Siti berbunyi “pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi”.
Menurut Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, ada beberapa permasalahan serius yang mencuat dari utas Menteri LHK itu. Pertama, Leonard merasa heran sama cara berpikir pemerintah yang mau punya definisi deforestasi sendiri.
“Zero deforestation itu konsep yang sudah diterima secara luas, definisinya sudah disepakati konsensus lebih dari seratus negara. Perdebatan saat ini udah bukan konsep lagi, tapi timeframe, kapan harus dimulai. Kesepakatan [timeframe] ini sudah pernah ada dan Indonesia pernah ikut, di New York tahun 2014. Waktu itu, target zero deforestation [pada] 2020. [Hasilnya, Indonesia] gagal total karena deforestasi malah meningkat sejak itu,” kata Leonard saat dihuhungi VICE.
Forest Watch Indonesia, melalui Direktur Eksekutifnya Mufti Barri, melaporkan laju deforestasi meningkat dari 1,1 juta hektare per tahun pada 2009-2013, menjadi 1,47 hektare per tahun pada 2013-2017. Angka ini membuat komitmen Indonesia untuk menekan laju deforestasi dipertanyakan.
“Klaim keberhasilan menurunkan angka deforestasi menjadi tidak relevan jika rupanya deforestasi secara besar terjadi hanya di beberapa lokasi. Sementara di tempat lain, deforestasi menurun bukan karena upaya yang dilakukan pemerintah, melainkan karena sumber daya hutannya sudah habis,” kata Mufti pada siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil atas Pembahasan Perdagangan Karbon pada COP26 di Glasgow yang diterima VICE.
Balik lagi ke twit Bu Menteri LHK, Leonard secara tegas menolak cara berpikir pemerintah bahwa menjaga lingkungan dan pembangunan tidak bisa dilakukan bersamaan.
“Kami sepakat [dengan contoh Menteri LHK bahwa] kita tidak bisa meninggalkan masyarakat wilayah terpencil, tetapi ada caranya. Model-model pembangunan [saat ini] sudah jauh berkembang. Pemahaman bahwa membangun itu pasti merusak lingkungan, lalu melindungi lingkungan pasti menghalangi pembangunan itu sudah kuno. Konsep-konsep pembangunan ramah lingkungan sudah ada, termasuk bagaimana cara mengakses wilayah-wilayah terisolasi,” kata Leonard.
Ia menyebutkan pilihan-pilihan konsep pembangunan seperti eco-tourism, hasil hutan non-kayu, atau pengembangan sagu sudah tersedia studi dan contoh-contoh prakteknya. “Tinggal diterapkan dalam skala yang masif. Jadi, jangan dibenturkan [pembangunan dengan kelestarian alam].”
Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan berupaya mencerna cara berpikir Menteri LHK secara lebih positif. Kepada awak media, politikus Partai Kebangkitan Bangsa tersebut menilai twit Siti adalah bentuk kritik terhadap sistem ekonomi global yang tidak adil dilakukan negara-negara maju.
“Negara maju jangan hanya bisa koar-koar. Jangan mau enaknya menikmati kemajuan setelah merusak bumi pada abad penjajahan, tapi kini menempatkan diri sebagai penjaga. Mari buktikan komitmen mereka untuk membuat sejahtera masyarakat hutan yang telah menjaga warisan alam mereka dengan baik,” kata Daniel dilansir dari Merdeka.
Percaya bahwa maksud sang menteri baik, Daniel berujar Komisi IV berniat memanggil Siti untuk menjelaskan pernyataannya secara lebih detail. “Jadi, Bu Siti perlu dan penting mengurai panjang lebar kenapa itu disampaikan, paparkan data-data dan fakta yang ada sehingga kita bisa mewujudkan sistem tata dunia yang lebih adil dan berkelanjutan,” tambahnya.
Menanggapi narasi “kritik Siti kepada negara maju” ini, Leonard mengakui bahwa industrialisasi, termasuk deforestasi, yang dilakukan negara-negara maju di masa revolusi industri sebagai penyebab krisis iklim memang benar. Bahkan, dampaknya sampai sekarang masih signifikan. Namun, ini bukan alasan untuk Indonesia mengesampingkan krisis yang sudah terjadi, apalagi kerentanan pada bencana akibat krisis iklim di negara berkembang lebih tinggi dibanding negara-negara maju. Upaya ini enggak mungkin cuma jadi tanggung jawab sebagian negara saja.
“Harus ada upaya global yang betul-betul harus bersama tanpa mengesampingkan faktor keadilan. [Faktor keadilan] yang paling konkret adalah pendanaan [dari negara maju ke negara berkembang untuk mengatasi krisis iklim]. Buat kami di gerakan lingkungan, bersepakat untuk menekan negara-negara maju mencapai [bantuan] yang dijanjikan sedikitnya US$100 miliar per tahun. Ini sedang kami lakukan di Glasgow. Bantuan dana ini dijanjikan pada 2020, namun molor ke 2023,” tutup Leonard.