Kawasan pantai Udaya di ibu kota Maroko, Rabat, siang itu dipadati wisatawan yang menikmati liburan bersama keluarga di hari kedua lebaran Idul Fitri 1444 Hijriah. Di tengah ramainya pengunjung, lusinan peselancar tampak bersabar menanti datangnya ombak.
Randa El Amraoui, dosen 31 tahun yang sehari-harinya mengajar mata kuliah komunikasi dan bahasa, sedang mengobrol sambil berteduh dari teriknya matahari. Rambutnya basah, tanda ia baru selesai berselancar. “Saat masih kecil dulu, saya bermimpi menjadi peselancar gara-gara karakter peselancar perempuan yang saya tonton di Disney Channel,” gurau perempuan yang sudah delapan tahun menggeluti hobi ini.
Videos by VICE
Olahraga surfing kian menggeliat di Maroko sejak negara itu menjadi destinasi favorit para peselancar dunia. Menurut Chadi Lahrioui, juara selancar yang punya klub surfing di Pantai Udaya, peminatnya bukan cuma laki-laki. Banyak juga perempuan Maroko yang tertarik berselancar ombak.
Zainab Rabbaa salah satu orangnya. Perempuan 24 tahun yang lahir di Meknès, kota yang terletak sekitar 1,5 jam berkendara dari Rabat, berkenalan dengan dunia surfing setelah ia merantau untuk kuliah S3 di ibu kota. “Saya tahu surfing dari teman,” kenangnya. “Saya langsung ketagihan sekali cobain.”
Menurut Zainab, ia tidak pernah absen latihan berselancar sejak saat itu. Cita-cita terbesarnya yaitu menunggangi ombak Taghazout, resor tepi laut yang dikenal sebagai lokasi surfing terbaik di selatan Maroko.
Namun sayang, kawasan pantai di sepanjang Laut Mediterania dan Samudra Atlantik ini belum bisa sepenuhnya memberikan kenyamanan berselancar bagi kaum perempuan. “Tak jarang saya bertemu orang-orang rese kalau berselancar bareng teman cewek,” keluh Zainab. “Gak kayak kalau pergi sama teman cowok.”
Untungnya, menurut Zainab, sikap pengunjung pantai langsung berubah setelah ia berganti pakaian dengan baju selam. “Orang biasanya tidak berani mengganggumu kalau mereka lihat kamu bawa papan selancar,” imbuh Randa. “Mereka mungkin mengira kamu orang kaya atau anggota klub selancar. Mereka tadinya berasumsi kamu main ke pantai untuk cari pacar.”
Mata jelalatan inilah yang kerap dikhawatirkan para orang tua. Mereka takut putrinya diganggu laki-laki berengsek, sehingga akhirnya anak perempuan tidak diizinkan berselancar di pantai. Berkaca dari pengalaman pribadinya, Zainab mengerti kenapa ada orang tua melarang putri mereka ikut surfing.
Tak sedikit pula orang tua ragu memberi izin karena khawatir keselamatan anaknya. Surfing masih dipandang olahraga berbahaya, dan besar risikonya pelancar terseret ombak. “Ayah ibu awalnya melarang saya berselancar karena mereka takut air,” kenang Randa.
Biarpun begitu, para peselancar perempuan yang ditemui VICE tidak mau ambil pusing. Tantangan demi tantangan tidak menyurutkan semangat mereka untuk memburu ombak tinggi. Bahkan, beberapa di antaranya mempunyai tekad besar menjadi peselancar profesional.
Ines Tebbai, misalnya, berambisi ingin bisa sehebat kakaknya yang juga seorang peselancar. “Susah banget ngalahin kakak,” Ines bergurau.
Ines dan kakaknya adalah generasi penerus Fatima Zahra Berrada, perempuan Maroko pertama yang mengikuti kompetisi selancar internasional pada 1996 silam. Mengikuti jejak sang kakak, remaja 17 tahun itu sudah berulang kali mewakili negaranya di tingkat internasional, seperti Kejuaraan Afrika dan Eropa.
Ketika berkunjung ke apartemen keluarganya di Casablanca, yang hanya beberapa ratus meter dari kawasan pantai, wartawan VICE melihat deretan papan selancar terpajang di ruang tamu. Di dekat tempat kami duduk, ada lemari penuh piala dan medali.
Saat ini, Ines sedang mengikuti program pembelajaran jarak jauh, sebelum melanjutkan studi di Kepulauan Canaria, Spanyol, dalam dua tahun ke depan.
“Saya akan membuat kartu penduduk ketika belajar di luar negeri nanti. Harapannya sih saya bisa keliling Eropa dan menyeriusi surfing di sana,” katanya penuh harap. “Siapa tahu saja saya bisa bertemu peselancar profesional, dan mendapatkan kesempatan lebih bagus di luar negeri.”
Tentu saja, tidak dapat dimungkiri, selancar ombak termasuk hobi yang mahal bagi mayoritas penduduk Maroko. Apalagi negara itu dilanda krisis ekonomi parah yang memperlebar jurang kesenjangan sosial. Harga papan selancar baru yaitu sekitar 5.000 dirham (Rp20,7 juta), jauh lebih tinggi dari upah minimum Maroko yang kurang dari 2.800 dirham (setara Rp11,6 juta).
Bagi orang-orang yang tertarik berselancar tapi tidak berduit, mereka mencoba mengakalinya dengan meminjam alat milik peselancar lain. Itu artinya mereka harus siap menerima segala keterbatasan yang ada. “Beberapa punya papan bagus, tapi kebanyakan pakai papan yang sudah jelek,” demikian keluh Randa.
Anggota klub surfing di pantai Udaya juga sering bergiliran mengenakan baju selam, atau mengambil cicilan saat membeli alat selancar. Secara pribadi, Randa merasa cara ini lebih menguntungkan peselancar cowok karena mereka biasanya punya koneksi luas. Terlebih lagi, olahraga selancar masih dominan laki-laki.
Meriam Cheikh, antropolog yang mendalami perbedaan pendapat di kalangan anak muda menengah ke bawah, menyebut kurangnya kesempatan belajar berenang bagi perempuan Maroko menjadi penghambat lain untuk mereka bisa menyelami hobi berselancar. “Kesenjangan yang terjadi dalam olahraga renang, khususnya di Prancis, lekat dengan faktor-faktor sosial,” ujar Cheikh. Faktanya, lokasi surfing terbaik di Maroko – Rabat, Casablanca, Mehdia dan Oualidia – membatasi pengunjung yang diperbolehkan masuk.
Ia menambahkan, masih ada perempuan yang tertarik berselancar semata-mata untuk main bareng teman atau saudara cowok. Itulah sebabnya surfing tergolong hobi niche di Maroko, setidaknya jika dibandingkan dengan jenis-jenis olahraga yang lebih populer seperti sepak bola, basket, dan bola tangan. Karena sifatnya yang niche inilah perempuan lebih mudah diterima di komunitas selancar.
Randa mengaku kebanyakan teman surfing-nya laki-laki. Mereka sering memuji dan menyemangatinya agar makin berani menantang ombak. “Ada satu lokasi yang jadi tempat kumpul peselancar cowok,” tuturnya. “Mereka selalu mengajak surfing bareng kalau saya berkunjung ke sana. Mereka senang ada cewek yang tertarik berselancar. Jumlah peselancar perempuan di sini bisa dihitung jari.”
Federasi Selancar Kerajaan Maroko (FRMS) telah berupaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam olahraga selancar. Salah satu upayanya yaitu menggelar kompetisi selancar internasional pertama di Maroko pada 2016. Tapi ujung-ujungnya, “cuma kami bertiga [Ines, kakaknya dan peselancar perempuan lain] yang mewakili Maroko,” kata Ines dengan murung.
Ines meraih juara pertama untuk kategori peselancar U18 saat bersaing di African Surfing Games pada Maret lalu. Ia juga menduduki posisi kedua setelah kakaknya, Lilias, di kategori putri. Ines berharap makin banyak perempuan Maroko tertarik berselancar ombak, guna membuktikan kehadiran Ines dkk. di laga internasional bukan sebatas kebetulan.
Menurut Cheikh, popularitas surfing yang meningkat di Maroko jadi bukti “bertambah besarnya ketertarikan orang akan individualitas”. Tren ini juga terlihat di subkultur-subkultur lain yang ada di Kerajaan Maroko.
“Ada anggapan generasi muda di Arab masih berpikiran seragam, alias mereka menganut nilai-nilai dan norma yang sama,” terangnya. “Maka dari itu, penting sekali menunjukkan kehidupan anak muda di Arab lebih beragam daripada yang dunia kira, salah satunya dalam bidang olahraga.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgium.