Debu membumbung tinggi, menerpa penonton di tepian arena pacuan kuda Belang Bebanka, akibat derap kaki tiga kuda terdepan yang saling mendahului sejak tikungan pertama hingga menjelang garis finis. Serbuan debu membuat ratusan orang sibuk menutup hidung sembari menahan gigil akibat suhu yang anjlok jadi belasan derajat saja pagi pada 22 September lalu. Tak ada yang gusar. Yang terlihat adalah raut-raut gembira. Bagi warga Suku Gayo yang menghuni Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, pacuan kuda sudah serupa hari raya. Bukan cuma penduduk setempat yang datang. Pacuan merupakan ajang silaturahmi antar pecinta kuda, melibatkan pula masyarakat Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Mereka yang tidak berdomisili di Takengon sekalipun rela tidur di bawah tenda sepekan sebelum acara, di seputaran lapangan pacu kuda. Suhu dingin di dataran yang tingginya sampai 1.200-an meter diatas permukaan laut itu seolah tak jadi kendala. Semua itu dilakukan demi menemani kuda yang sudah mereka anggap sebagai pahlawan. Saya sudah bilang sebelumnya kan, pacuan kuda ini benar-benar diposisikan serupa hari raya. Berbeda dibanding hari raya biasa yang nuansanya religius, apalagi di daerah menerapkan syariat Islam seperti Aceh, ada satu pemandangan khas: sebagian orang bersedia membayar demi menyaksikan kuda pacuannya menang.
Videos by VICE
“Saya warna merah,” ujar seorang pria paruh baya di belakang saya, merujuk warna tali kekang kuda, sembari mengulurkan uang Rp50 ribu ke lelaki yang sigap menerima dan mencatat pilihannya. “Saya kuning,” ujar lelaki lain, jelas jauh lebih muda. “Biru!” seru yang lain. Seruan kesal terucap dari bibir mereka yang salah memilih kuda jagoan di garis akhir.
Taruhan adalah pemandangan lumrah di sekeliling arena pacu. Pemerintah setempat bukannya tutup mata. Muncul aturan melarang keras praktik perjudian yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama. Risikonya tentu saja dicokok polisi syariat. Namun orang-orang itu, tua-muda, tak peduli. Taruhan dianggap ‘bumbu’ untuk menikmati pacuan kuda. “Seperti inilah kami merasa terhibur jika menonton pacuan kuda,” kata Soli, warga Takengon yang ikut bertaruh pagi itu. Usianya baru 13. Remaja sepertinya bisa ikut serta karena ongkos taruhan relatif kecil, merentang dari Rp20 ribu hingga Rp50 ribu. Kendati demikian, ada juga petaruh kakap. Mereka biasanya rela membayar hingga puluhan juta Rupiah.
Dalam satu hari ada enam kali ronde pertandingan yang diikuti belasan kuda pacu. Taruhan hanya berlaku untuk satu ronde. Aturannya sederhana saja. Saat kuda pilihanmu menang, maka uang taruhanmu kembali dua kali lipat. Jika kalah, semuanya amblas di tangan bandar. Namun mereka yang bertaruh tidak bisa lagi leluasa beraksi. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP-WH) Aceh Tengah, Syahrial Apri, mengaku tidak akan membiarkan judi terus berlangsung selama pacuan kuda tahun depan.
“Selama dua tahun terakhir ini kami di sini baru tegakkan aturan, karena baru dilarang,” ujarnya. “Banyak pelangaran terjadi di sana. Kemarin kami juga amankan minuman keras dengan orangnya. Sekarang masih kami proses.” Faktanya sebagian besar petaruh bukan kelas kakap. Contohnya para remaja yang ikut serta bertaruh pagi itu adalah pelajar yang mencari tambahan uang saku sebagai buruh pemetik di kebun kopi. Hari-hari mereka amat mekanis: pulang sekolah ke kebun, sore kembali ke rumah. Begitu terus.
“Biasanya kami tidak dapat merasakan hiburan, jika ada kegiatan [pacuan kuda] baru rasakan terhibur,” kata salah satu pelajar lain yang ikut bertaruh. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa pacuan kuda digelar akhir Agustus hingga pertengahan September. Rata-rata penonton hadir membawa bekal uang setelah panen kopi. “Kami merasa ini hiburan kecil yang bisa kami rasakan sebagai petani kopi di saat panen,” kata salah satu pemilik kuda yang datang dari Bener Meriah. Dia menolak identitasnya disebut, karena khawatir akan dilarang berpartisipasi dalam ajang pacuan berikutnya.
“Kami tahu dalam dua tahun terakhir ini taruhan dilarang, tetap kami lakukan secara diam-diam.” Pemilik kuda berusia 45 tahun itu turut bertaruh. Sebelumnya ia rela pasang kudanya yang harganya puluhan juta sebagai taruhan. Tahun ini, dia mengaku hanya memasang taruhan beberapa juta saja—lagi-lagi semua dipengaruhi kopi. Bagaimanapun kopi adalah denyut perekonomian masyarakat Gayo. Nilai ekspor kopi dari Gayo selama semester pertama 2018 mencapai US$41,3 juta. Diperkirakan 80 persen roda ekonomi Aceh Tengah ditopang bisnis kopi.
Kopi pula yang diduga membawa tradisi pacuan kuda ke Gayo. Pacuan kuda pertama kali digelar pada era kolonial, khususnya dari pengusaha Belanda pengelola kawasan perkebunan kopi. “Tergantung berapa banyak modal, jika banyak, ya pasang banyak. Sekarang pasang kecil, karena hasil panen kopi saya sedikit tahun ini. Kali ini saya bawa modal Rp10 juta, semoga bawa pulang tiga kali lipat untuk biaya asuh kuda,” ungkapnya.
Maraknya perjudian turut menguntungkan joki. Selain uang hadiah pacuan, mereka kadang mendapat bonus tambahan dari penjudi yang gembira menang taruhan. Contohnya adalah Anto, 35 tahun, joki unggulan asal Takengon. Lima tahun terakhir dia selalu ada di urutan tiga besar. Namanya mahsyur di kalangan petaruh dan dia ikut kecipratan. Andai tak dapat uang dari petaruh, pendapatan joki tak besar, paling banter 20 persen dari total hadiah karena sisanya diambil pemilik kuda. “Setiap habis perlombaan, saya bawa pulang 10 juta, bonus dari penonton. Kalau uang juara palingan saya dapatkan empat juta, itu sudah besar sekali,” kata Anto kepada VICE.
Sedangkan bagi sebagian pemilik kuda, ada atau tidaknya taruhan bukan faktor yang memicu mereka ikut serta pacuan. Untuk Cek, seorang juragan kuda, mengikuti pacuan khas Gayo ini adalah meningkatkan kebanggan. Dia bahkan tak peduli pada uang hadiah—toh hadiah maksimal cuma Rp6 juta, sementara ongkos vitamin dan merawat kuda bisa Rp15 juta sebulan. Bagi orang Gayo, kuda juara bakal menggenjot kehormatan pemiliknya.
“Kami di sini bertanding demi nama baik,” kata Cek. “Makanya dalam setiap pertandingan kuda saya siap korbankan apapun, agar kesenangan dapat teraih.”