Tangisan pecah dari Hunian Sementara yang dibangun Kompas di Jalan Asam III, Palu, Sulawesi Tengah. Hudaya, salah satu penghuni huntara, tak bisa menahan haru siang itu. Untuk pertama kalinya, dia bertemu salah satu keponakannya. Mereka terpisah dalam tragedi gempa dan tsunami yang pada 28 September ini tepat berselang satu tahun lalu.
“Saya enggak nyangka kalau bakal ketemu, udah setahun enggak ketemu karena kepisah pas Tsunami dan gempa. Komunikasi susah, enggak ada kejelasan. Sekarang di Huntara pertama kali ketemu saya senang sekali,” ujar Hudaya.
Videos by VICE
Hudaya dan keponakannya dulunya adalah penghuni Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi, Palu. Hudaya kehilangan banyak orang yang ia kasihi akibat bencana. Pada satu titik, dia sempat mengubur semua harapan bakal bisa menemukan sosok-sosok yang berharga untuknya. Siang itu, pelan-pelan secercah harapannya terbit kembali.
Huntara dan shelter adalah istilah yang kini menjadi keseharian penduduk Ibu kota Sulawesi Tengah itu. Dari pantauan VICE, berselang 12 bulan dari tragedi memilukan tersebut, ribuan warga masih terpaksa tinggal di tenda-tenda darurat. Nasir selaku koordinator lapangan shelter Masjid Agung Palu mengatakan hingga 17 September lalu masih ada 133 keluarga yang bernaung di sana.
“Kita di sini sambil nunggu hunian sementara, sambil coba-coba cari kerjaan,” ujar lelaki 63 tahun itu. Mendapat pekerjaan juga bukan perkara mudah. Salah satu yang paling mungkin dilakukan adalah menjadi kuli bagi proyek rekonstruksi. Tapi sejak beberapa bulan ini proyek seret. “Apapun [jenis pekerjaan] yang ada saya kerjain. Bantu angkat-angkat, bikin mebel, apapun deh yang bisa. Enggak ada proyek sekarang,” imbuh Nasir.
Ketika mereka harus bertahan hidup, sementara pekerjaan di daratan tak mudah diperoleh, sebagian warga kembali berpaling ke laut. Pilihan itu diambil ratusan penduduk Mamboro Utara. Sebenarnya Mamboro telah dikategorikan sebagai zona merah, alias sangat tinggi kembali dihantam tsunami seandainya Sesar Palu Koro kembali aktif. Tapi nelayan adalah profesi turun-temurun yang ditekuni warga.
Bagi Titi, 50 tahun, risiko bermukim kembali di kawasan zona merah patut diambil. “Mata pencaharian kita selama ini hanya ikan. Nanti kalau di huntara mau kerja apa? Kalau tidak ada pemasukan bagaimana?” ujarnya.
Kehidupan penduduk Palu hingga saat ini belum bisa berlangsung normal. Gempa 7,4 SR disusul tsunami itu memicu kerusakan senilai Rp15,29 triliun, nyaris menyetop sepenuhnya kegiatan ekonomi dan meluluhlantakkan infrastruktur. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat Palu mengalami kerusakan terparah dengan nilai 50 persen dari total taksiran kerusakan tersebut. Sigi menjadi wilayah dengan kehancuran terparah berikutnya, disusul Donggala dan Parigi Moutong.
Selama setahun terakhir, berbagai organisasi nirlaba berusaha menyalurkan macam-macam bantuan, namun semua itu belum cukup membuat Palu kembali mantap berdiri sendiri. Namun harapan masih terus coba dihidupkan
Misalnya saja di kawasan Gawalise. Penduduk di sana cukup beruntung karena mendapatkan fasilitas yang lebih mutakhir berkat bantuan dari anak organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa. United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) membuat Gawalise kini mendapatkan instalasi klinik kesehatan hingga ruang ramah remaja. Di Gawalise, anak muda dikader menjadi peer to peer counselor bagi sesama korban bencana.
Para remaja itu juga mendapat pelatihan public speaking skills dan music making skill sebagai bagian dari terapi psikososial pasca bencana. Vivien, salah satu fasilitator dari program tersebut, merasa bila adanya pelatihan itu cukup signifikan. “Membuat anak-anak lebih siap menghadapi dunia kerja,” ujarnya. Selain itu, kelas-kelas tersebut efektif mengembalikan keceriaan serta harapan bagi anak muda yang sempat mengalami syok hebat akibat kehilangan nyaris segala-galanya.
Sayangnya tak semua anak beruntung seperti warga Gawalise. Anak-anak yang tinggal di hunian sementara jalan Asam III sama sekali tidak mempunya tempat bermain. Begitu pula anak yang menghuni Huntara di jalan Buvu Kulu. Kondisinya cenderung membahayakan, karena masih banyak bebatuan dan juga reruntuhan bangunan.
Masa transisi menuju pemulihan Palu bisa dibilang masih merambat. Beberapa zona yang terdampak likuifaksi berat, misalnya Balaroa dan Petobo, hingga saat ini masih terlihat seperti zona mati. Banyak rumah hancur dibiarkan terbengkalai.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat marah, karena ternyata dana bantuan dari pusat terlambat disalurkan oleh pemerintah daerah. Dana itu mencakup bantuan stimulan untuk rumah rusak maupun santunan korban gempa. Birokrasi terlampau sibuk melakukan verifikasi, sehingga warga mengeluh tak kunjung mendapat dana yang dijanjikan pemerintah.
Karena itulah, risiko seperti yang diambil Titi—kembali hidup di zona merah dan melaut— jauh lebih masuk akal dibanding bertahan di daratan.
Sebagian besar penduduk bermukim di huntara, dan bergantung pada tunjangan hidup Rp500 ribu per bulan yang dikucurkan pemerintah. Itupun, pencairannya kadang tersendat.
“Kalaupun mau [mengandalkan] Rp500 ribu, bagaimana beli makan dan sekolah anak? Mana cukup? Itu baru nekat kalau begitu,” tandas Titi.