November lalu, di saat kota Rotterdam di Belanda diguncang kerusuhan anti-pemerintah, segelintir orang menutup mata atas kesengsaraan rakyat dan mendatangi pameran barang-barang mewah eksklusif bagi kaum berduit. Pada perhelatan yang ke-19, Masters Expo — dulunya bernama Masters of LXRY dan Millionaire Fair — mengusung tema “Roaring Twenties”, periode di mana ekonomi berkembang pesat. Saya menyempatkan diri mengunjungi pameran siang itu, murni karena penasaran kayak gimana orang tajir melintir melewati masa-masa suram seperti sekarang.
Acaranya digelar di RAI Amsterdam Convention Centre, gedung pameran milik lembaga resmi sepeda dan otomobil Rijwiel en Automobiel Industrie di Belanda yang telah berdiri sejak 1900. Para pengunjung yang telah menunggu di luar tampaknya kurang sreg dengan lokasi acara. “Gak ada bagus-bagusnya,” komentar perempuan muda bersepatu hak tinggi. “Yah, namanya juga cuma pameran,” jawab temannya.
Videos by VICE
Tak ada satu pun unsur kemewahan di luar gedung. Papan reklame acara bahkan lebih terlihat seperti iklan serial Peaky Blinders. Sulit membayangkan akan seglamor apa pemandangan yang menunggu di balik pintu.
Begitu kaki melangkah masuk, saya disambut deretan mobil, berlian dan kapal pesiar bermandikan sinar lampu yang terang. Saya pun mengedarkan pandangan ke sekeliling aula. Tampaknya iklan pameran bukan satu-satunya yang sederhana dari acara tersebut. Model apartemen mewah yang dipasarkan bahkan berada di pinggiran kota Amsterdam yang sepi, seolah-olah menunjukkan orang berdompet tebal sekali pun tak mampu membayar deposit hunian di pusat kota.
Kapal pesiar tetap menjadi kendaraan favorit di pasar barang mewah. Cukup dengan membayar €33.000 (Rp536 juta), kalian bisa berlibur dua minggu ke Kutub Utara naik perahu bintang lima Le Commandant Charcot. Di sana, saya mengajak Stephen ngobrol. Dia karyawan asal Amerika di perusahaan yang mengiklankan perjalanan ini. Dia menceritakan telah mengunjungi Kutub Utara demi riset dan melihat delapan ekor beruang kutub. “Saya kira bakalan membosankan,” kenangnya. “Tapi ternyata tidak. Ketika kami melintasi meridian barat ke-90, botol sampanye dibuka dan pesta dimulai.”
Stephen bersikeras menonton beruang kutub dari atas kapal megah bukanlah liburan yang menghambur-hamburkan uang. Baginya, perjalanan ini termasuk dalam upaya melestarikan lingkungan. “Kami sangat mengedepankan keberlanjutan,” tukasnya, lalu menjelaskan kapal ini ramah lingkungan. Dia meyakinkan para ilmuwan dipersilakan bergabung tanpa harus mengeluarkan sepeser pun, dan wisatawan dapat menikmati perjalanan sambil belajar tentang pemanasan global. “Begitu penumpang menyaksikan sendiri betapa indah dan rentannya wilayah itu, mereka pasti akan melindunginya.”
Menariknya, Stephen justru memercayai sebaliknya. “Secara historis, jumlah es memang menurun, tapi lapisan es baru terus bertambah setiap tahun. Butuh berhari-hari bagi kapal kami untuk bisa menembus es. Di mana-mana ada es!” serunya. Sementara tingkat es laut memang meningkat di Antartika, gletser dan lapisan es mengalami penyusutan yang sangat cepat, menghasilkan air tawar dalam jumlah besar. Organisasi World Wildlife Fund (WWF) bahkan melaporkan wilayah Kutub Utara telah kehilangan 95 persen es tertuanya dalam 30 tahun terakhir.
Ahli strategi bisnis berpenampilan glamor ikut minum sampanye bersama saya di bar. Perempuan itu bernama Rosanna.
Di waktu luangnya, Rosanna membantu para perempuan yang ingin sukses jadi pengusaha muda. Dia mengarahkan mereka sesuai pengalaman pribadinya. “Saya dan suami menyewakan penginapan di Modena, dekat dengan Bologna. Kompleks indah yang dilengkapi pemandangan perbukitan, bagaikan surga dunia. Tapi pandemi melanda tepat saat kami hendak membukanya dan tempat kami sepi pengunjung. Jadinya kami sendiri yang menginap di sana,” keluhnya. Oalah, ternyata orang kaya juga sama menderitanya selama pandemi.
Suasana terasa lebih ceria di bar, yang disponsori Icoinic, startup kripto yang berambisi memasuki ranah keuangan konvensional. Saya berbincang dengan CEO Egbert Krop sambil menyesap minuman. Obrolan kami beralih ke hiperinflasi yang terjadi di Republik Weimar pada 1920-an. Kala itu, warga sampai harus membawa gerobak berisi uang saat berbelanja bahan makanan. Krop lalu mengingatkan saya, tidak ada yang namanya inflasi di dunia kripto. Harga saham berbagai mata uang mungkin naik turun, tapi “lelaki sederhana” ini — begitulah dia menggambarkan dirinya sendiri — optimis dengan kemungkinan jangka panjang mata uang kripto.
Krop menekankan dirinya “tidak materialistis”. Menurutnya, dia mengunjungi pameran untuk membeli beberapa botol anggur. Beberapa tamu yang saya ajak bicara juga membuat pengakuan ini. Sepertinya mereka yang meraup kekayaan di ranah digital tak terlalu tergiur dengan barang mewah seperti orang kaya lama.
Pameran itu memajang Lamborghini yang dilukis Pablo Lücker. Mobil seharga setengah juta euro akan dihadiahkan secara cuma-cuma kepada pembeli NFT sang seniman. Pablo mengutarakan ingin meramaikan acara. “Kebanyakan orang yang ada di sini cukup membosankan.”
Orang yang paling masa bodoh dengan pertunjukan kemewahan ini adalah YouTuber Kwebbelkop. Dia tertarik membeli NFT hadiah Lamborghini. “Saya lebih naksir sama NFT-nya daripada Lamborghini.” Dia bilang akan menjual mobilnya.
Walaupun diadakan hanya untuk orang kaya, Masters Expo harus tetap mematuhi prokes pemerintah. Acaranya berakhir pukul enam sore. Bagi saya, bisnis dan orang-orang yang menghasilkan keuntungan besar di masa-masa sulit ini lebih tertarik pada kesederhanaan dan efisiensi ketimbang hedonisme tanpa batas. Kebangkitan Roaring 20s tampaknya terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.