Semestinya ada rumah kokoh berdiri di tempat Dedi Supriadi sekarang berpijak, tapi gempa hebat yang melanda Lombok pada Minggu (5/7) malam kemarin membuatnya rata dengan tanah. Di dalam puing-puing rumah yang telah roboh itu, Dedi, anggota tim SAR, bersama dengan puluhan warga dan tentara yang membantu evakuasi, menemukan ada tanda-tanda kehidupan. Alat berat tak tampak ada di sekitar. Bantuan evakuasi belum sampai ke Dusun Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur. Tak ada pilihan lain bagi tim penyelamat selain mengangkat reruntuhan dengan tangan kosong.
Setelah berjam-jam berjibaku untuk menyelamatkan korban, Senin 6 Agustus kemarin, tim evakuasi berhasil menemukan seorang pemuda. Sebagian warga tak kuasa bersorak “Allahu Akbar, Allahu Akbar!” begitu mengetahui pemuda itu masih hidup setelah semalaman tertimbun oleh puing-puing rumah. Pemuda itu, yang kemudian diketahui bernama Hendi, berhasil diselamatkan dengan kondisi kepala bocor dan kakinya luka-luka.
Videos by VICE
Selang beberapa waktu kemudian, para penyelamat kembali menemukan seorang korban. Kali ini seorang anak kecil bernama Nurul Istihara. Usianya 10 tahun, ditemukan dalam kondisi cidera ringan. Setelah ditenangkan dan diberi minum oleh warga, Hendi dan Nurul segera diangkut menggunakan ambulans untuk dibawa ke Rumah Sakit Sembalun. Dedi dkk boleh sejenak bernafas lega. Tapi tugas mereka masih banyak. Nyaris semua rumah dan bangunan di area mereka berada runtuh rata dengan tanah. Ada berapa banyak korban yang tertimbun di sana? Tak ada yang tahu persis.
“Saat ini belum ada dukungan alat berat. Kita coba maksimalkan yang ada dulu. Semoga bantuan segera datang,” kata Dedi saat saya temui Senin (6/8) siang waktu setempat.
Dari Lombok Timur saya berkendara dengan motor hendak menuju Lombok Utara, daerah yang rusak paling parah. Perjalanan jauhnya puluhan kilometer. Di sana-sini aspal pecah oleh gempa. Jalanan tak selancar itu lantaran di banyak tempat ruas jalan jadi sempit karena terhalang tanah longsor. Hanya motor yang bisa lewat, itupun mesti berjalan zig-zag. Sementara mobil dipastikan tak bisa melintas. Kondisi jalan seperti itu pasti menyulitkan tim penolong untuk mengirim bantuan logistik.
Di sepanjang perjalanan saya lihat nyaris semua rumah runtuh sampai tak lagi berbentuk. Bangunan yang selamat umumnya adalah bangunan dengan tembok tebal seperti masjid dan sekolah. Bangunan seperti itu ambrol juga dilanda gempa, tapi masih ada bentuknya. Warga banyaknya berkumpul di tanah-tanah lapang yang ada di pinggir jalan, sebagian berusaha bertahan dengan membangun pengungsian sementara bermodalkan tenda terpal.
Niat saya menyusuri jalanan Lombok Utara pupus begitu melihat jembatan utama yang menghubungkan Lombok Timur dengan Lombok Utara di daerah Koko Putih tertimbun longsor. Motor pun tak bisa melintas. Saya memutuskan untuk memarkir motor dan berjalan kaki. Di seberang jembatan, saya bertemu dengan warga Lombok Utara yang ingin mengungsi ke Lombok Timur. Ketakutan akan adanya tsunami lah yang mendorong mereka menjauhi Lombok Utara yang dekat dengan laut.
Ketakutan itu rupanya belum surut kendati peringatan sudah dicabut oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Warga mencari lokasi yang lebih aman dengan mengungsi ke bukit-bukit. Wajar saja ketakutan itu masih ada, gempa susulan masih terjadi berkali-kali. Setiap ada getaran yang rada besar, warga panik lari mencari tanah yang lebih tinggi. Tentu saja saya ikut panik, apalagi daerah di mana saya berada tak jauh dari laut.
Lagipula, sinyal dan internet di Lombok Utara nyaris nihil sejak gempa. Warga yang tinggal di sini tentu tak bisa mengikuti perkembangan terakhir perihal peringatan tsunami. Untuk urusan koordinasi dan telepon-menelepon, Lombok Utara juga terkena dampak paling parah. Hanya di daerah seperti Lombok Barat dan Timur saja di mana sinyal masih leluasa. Sementara di Lombok Utara sinyal dipastikan tak ada. Saya tak bisa menelepon semua rekan dan kerabat yang ada di sana.
Kegencaran proses evakuasi korban di Lombok Utara tampak dari penjelasan tim penyelamat baik relawan maupun aparat yang saya temui di sepanjang perjalanan. Zainuri, misalnya, seorang guru yang ikut jadi relawan mengatakan tim belum bisa mengidentifikasi jumlah korban secara pasti lantaran banyak yang tertimbun reruntuhan. “Tidak ada alat berat menyebabkan evakuasi terkendala,” katanya.
Komandan Resor Militer (Danrem) 162/Wira Bhakti Kolonel Czi Ahmad Rizal Ramdhani yang ditemui di Tanjung, mengatakan alat berat semacam ekskavator dibutuhkan untuk mengeluarkan korban yang masih tertimpa bongkahan besar dari reruntuhan bangunan. “Seperti tadi di Masjid di Desa Tanjung, di sana kami berupaya mengeluarkan korban 30 orang, tapi yang bisa kami keluarkan hanya dua orang, sisanya 28 orang masih tertimpa kubah besar. Jadi sampai sekarang belum sempat kami keluarkan, karena harus menggunakan bantuan alat berat,” katanya.
Basarnas kini memfokuskan evakuasi di daerah Lombok Utara. Humas Kantor SAR Mataram Agus Ichi mengatakan kantornya mengerahkan personel ke daerah-daerah yang paling parah terkena dampak seperti Bayan, Kayangan, Tanjung, dan Pemenang. “Semua Lombok Utara,” katanya.
Sejak Selasa (7/8) dari daerah Mataram, sudah tampak truk-truk besar mengangkut alat-alat berat ke Lombok Utara, di antaranya ekskavator dan loader. Kini semua pihak berharap masih bisa ditemukan keajaiban di bawah reruntuhan—setelah gempa meluluhlantakkan nyaris segalanya.