Merekam Para ‘Penganut Agama’ Selancar, Dari Islandia Sampai Sri Lanka

Artikel ini pertama kali tayang di Amuse.

Tom Blake, penggagas Cali surf culture, pernah mengatakan bila bercengkrama dengan ombak menyerupai ibadah, sebentuk puji-pujian bagi alam. Dia menjuluki mereka yang sama-sama menganut iman pada selancar, adalah anggota, “the blessed church of the open sky.”

Ungkapan metaforisnya baru-baru ini diangkat menjadi dua film dokumenter tentang selancar, memakai pendekatan yang bertolak belakang.

Videos by VICE

Berlatar belakang budaya selancar di Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, hingga Sri Lanka. Film pertama berjudul The Church of the Open Sky—judulnya dicomot langsung dari ungkapan metaforis Blake di atas–mengetengahkan selancar sebagai sebuah pengalaman relijius. Dalam penggambaran visual yang puitis, sutradara asal Australia, Nathan Oldfield, membawa kita ke pantai-pantai berair hangat dengan pemandangan matahari terbit yang memesona dan kental dengan kehidupan pantai yang melenakan.

“Frasa yang diucapkan Tom Blake itu seperti terus nyantol di otak saya selama bertahun-tahun,” kata Oldfieldsays yang juga bekerja sebagai fotografer di Patagonia, perusahaan clothing dan gear outdoor. “Saya tertarik mendengari pengandaian aktivitas selancar sebagai semacam “gereja”, karena bagi saya selancar bukan aktivitas fisik belaka. Bagi saya, berselancar adalah pengalaman metafisik yang mendalam.”

Berbeda jauh dari sudut pandang klasik akan selancar dalam film Oldfield, muncul dokumenter baru tentang budaya selancar lainnya, Perilious Sea. Film ini mengikuti perjalanan para selancar menaklukan ombak di kawasan Atlantik Utara. Film garapan Mike Bromley dan Ryan Meichtry merekam budaya selancar di laut beriklim kurang ramah, di tempat di mana para nelayannya bahkan kerap dibikin kocar-kacir oleh cuaca ganas.

Aurora melintasi langit dan air laut yang dinginnya luar biasa adalah pemandangan yang kerap dijumpai dalam film ini. “Kami ingin membuat film tentang selancar dengan citarasa dan vibe yang benar-benar berbeda. Pokoknya, tak ada pohon palem apalagi baju renang setebal 55mm,” kata Bromley.

Perilous Seas sejak awal dibuat demi mengungkap budaya selancar di kawasan-kawasan yang kurang terdengar di kancah selancar seperti Islandia, Irlandia, dan provinsi-provinsi tepian Samudra Pasifik di Kanada. Di samping sama-sama memiliki kondisi cuaca yang ganas bagi para selancar, ketiga kawasan ini disatukan oleh tradisi maritim yang kental. Sineas penggagas Perilious Sea menemukan cerita-cerita kuat dari komunitas nelayan di ketiga kawasan tersebut.

“Kisah-kisah sejarah di kawasan Atlantik Utara adalah modal yang sangat berharga yang mempermudah kami menggodok ide-ide karakter yang sudah lebih lama bertualang di laut jika dibandingkan para peselancar,” ujar Bromley.

Kendati penuh tamsil-tamsil budaya selancar yang ikonik, Church of the Open Sky tak semata film tentang pemandangan pantai yang indah. Oldfield menggali jauh ke dalam cerita-cerita tentang adiksi dan rasa kehilangan dan memberikan narasinya tumbuh secara organik. “Saya memang suka pergi ke tempat-tempat baru, kenalan dengan orang-orang baru dan membiarkan semua berkembang,” ucapnya. “Kemudian, saya pilih beberapa kisah yang bisa saya ceritakan kembali.”

Meski secara visual kedua film ini, yang tayang di London Surf film festival akhir minggu, sangat bersebrangan, ada satu tema yang menyatukan keduanya. Bagi Meichtry, sineas asal LA, tema pemersatu keduanya adalah citarasa petualangannya. Sementara, Oldfield menganggap kedunya punya keutuhan meski adegan-adegan yang terekam di dalamnya terjadi di tempat yang berbeda-beda dan menyentuh banyak kehidupan orang.

“Ini semacam kegembiraan dan penghargaan terhadap budaya selancar,” imbuhnya. “Film-film ini adalah rasa terimakasih pada budaya selancar yang menyatukan dan menemani kita dalam hidup. Perasaan seperti ini disebut para selancar dengan nama “stoke.” menurut saya, inilah yang menyatukan banyak tentang selancar.”

Hal lain yang menyatukan semua peselancar adalah gaya hidup. Church of the Open Sky, misalnya, banyak menampilkan imej-imej indah dan kegiatan memanjakan diri di bawah sengatan sinar matahari di samping aksi-aksi mencari ombak yang sempurna. Bahkan, ritual selancar yang paling menantang sekalipun memiliki sisi-sisi yang mengasikkan seperti yang ditemukan oleh team yang menggarap Perilous Sea.

“Kendala logistik terbesar dalam proses syuting di wilayah Atlantik Utara adalah cuaca,” kata Meichtry. “Cuaca di sana susah ditebak dan ganas. Kalau cuaca sedang ganas-ganasnya, opsi satu-satunya yang kami punya adalah nongkrong dan minum-minum di pub sampai kondisi cuaca membaik. Kami banyak minum-minum selama syuting.”