Ganja dan Aceh seringkali diucapkan dalam satu tarikan napas. Orang luar yang sempat menginjakkan kaki di Negeri Serambi Makkah dalam kunjungannya berpeluang besar mendengar candaan klise macam ini: “Cari dodol ganja? Sekarang sudah susah mendapatkannya.” Atau, minimal, muncul tawaran menikmati mariyuana sebagai sayuran penyedap rasa masakan lokal.
Dari lelaki yang duduk di teras warung kopi pedalaman Aceh Besar, yang ditemui VICE Indonesia pada pertengahan Januari 2019, ganja diakui sempat menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang di Aceh. “Dulu saya menjadi petani ganja lantaran semua pemuda di sini ikut menanam,” kata Samsuar, kini usianya 45 tahun.
Videos by VICE
Samsuar mengenakan kaos oblong yang agak kusam berwarna merah dan celena jeans dipenuhi lumpur. Saat kami ngobrol, dia sengaja duduk terpisah dengan warga lainnya. Ganja bukan topik tabu untuk dibahas di warung kopi yang bertebaran di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Namun membicarakannya sebagai bisnis? Itu perkara lain. Samsuar belum berani difoto karena konsekuensi hukum yang bisa saja mengintainya. Asal tidak dipotret, dia bersedia bicara blak-blakan mengenai seluk beluk budidaya ganja yang pernah dia lakoni lebih dari dua dekade lalu.
Ia tertarik ikut membuka lahan yang terletak lereng gunung Seulawah Agam, setelah mendapat ajakan pemuda tetangga desanya. Dia mendapat penjelasan alur produksi. Ke mana, misalnya, dia harus mengirim hasil panen kelak. Iming-iming bayaran besar membayangi. Tanpa pikir panjang, Samsuar langsung menjual ternak kerbaunya sebagai modal awal. Dari uang Rp2 juta hasil menjual kerbau warisan orang tua, samsuar bergegas membeli berbagai perlengkapan tani untuk membuka lahan mariyuana di lereng. Pada 1995, Samsuar resmi menjadi petani ganja.
“Lahan pun yang saya buka tidak dekat, dari desa memiliki jarak sekitar 25 kilometer itu terletak di atas bukit. Ke sana harus berjalan kaki dengan melewati tiga bukit terjal selama empat jam,” ungkapnya.
Dari salah satu kenalan, dia dikenalkan satu bandar yang siap membeli hasil panennya. Ganja, seingat Samsuar, sudah siap dipanen setelah enam bulan. “[Si Bandar] sekarang sudah almarhum, dibunuh saat konflik Aceh, sama dia lah saya jual dengan harga Rp100 ribu per kilogram,” katanya.
Per setengah hektare, Samsuar bisa mendapatkan satu ton ganja kering. Pada panen pertama, dia mendapat untung bersih Rp15 juta. Saat itu, dia masih muda. Berbekal uang berlimpah yang mendadak dia miliki, Samsuar pergi ke Kota Medan. Berfoya-foya.
“Dulu kami kompak sesama pemuda [petani ganja] lain. Jika yang lain bisa beli motor, kami juga harus. Kala itu banyak yang pergi berliburan ke Medan, saya juga ikut,” ujarnya.
Hedonisme menyerap uang lebih cepat dari jangka waktu kau mendapatkannya. Hukum alam itu pun menimpa Samsuar. Sehingga, setelah duit habis karena bermalam-malam penuh pesta di kelab dan rumah judi di Medan, dia memutuskan pulang kampung—dan kembali lagi ke Ibu Kota Sumatra Utara sesudah bandar menebus panen ganjanya. “Pokoknya saat itu tak pikir panjang. Saya selalu pulang ke Aceh pas uang habis, dan kembali ke gunung tanam ganja, terus begitu.”
Bisnis berjalan lancar, sampai kemudian reformasi pecah di Ibu Kota pada Mei 1998. Setahun kemudian, hilangnya sosok diktator bernama Suharto menyulut kembali sentimen nasionalisme Aceh, yang terus dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 1976. Pelan-pelan eskalasi konflik antara warga sipil dan TNI memuncak, lantas terjadilah pembantaian warga sipil oleh militer di Simpang Kraft pada 3 Mei 1999. Sejak itu, Aceh tak lagi sama. Negeri Serambi Makkah menjadi zona perang.
Samsuar, bersama kawan-kawan petani ganja di Aceh Besar, harus tiarap. Kawasan pegunungan Aceh, lokasi ideal membudidayakan ganja, menjadi basis kombatan GAM. Serangan militer terkonsentrasi ke kawasan macam ini. Bertahan di desa sama saja memilih jadi pelanduk mati sia-sia. “Ada yang merantau ke Medan, ke Malaysia dan bahkan sekalian ikut bergabung bersama Gerakan Aceh Merdeka,” ujarnya.
Tonton dokumenter VICE mendatangi kamp pelatihan rahasia warga sipil yang secara swadaya ingin memerangi aksi teror:
Samsuar memilih kabur ke provinsi tetangga Aceh. Mudahnya dapat uang selama empat tahun menjadi petani ganja membuatnya tak terlatih punya tabungan, tak ada modal memulai hidup baru. Dia banting setir jadi buruh kebun. Perdamaian Aceh, pada 15 Agustus 2005, tak mengubah banyak hal.
Profesi buruh kebun tetap dia jalani sampai sekarang. Konflik, yang membuat Samsuar kehilangan keluarga, menuntunnya pada perubahan nasib. Dia menikah, punya empat anak, dan atas kesadaran moral yang pelan-pelan muncul setelah jadi kepala rumah tangga, Samsuar tak mau lagi menanam ganja. Dia menganggap kesulitan hidupnya selama belasan tahun terjadi akibat memakan uang haram. “Sekarang pikir panjang lah. Kalau saya lakukan ganja lagi, ditangkap dan masuk penjara, anak saya seperti apa?”
Samsuar kini jungkir balik mencukupi kebutuhan keempat anaknya dengan penghasilan Rp20 ribu per hari.
Sulit mencari keterangan ilmiah yang kokoh, untuk menandai awal mula budidaya mariyuana di Negeri Serambi Makkah. Setidaknya satu dokumen sejarah menyatakan pemerintah kolonial Hindia Belanda mendatangkan varietas ganja dari India ke Kerajaan Aceh, pada Abad 19. Ganja dipilih lantaran ampuh menghalau hama ulat yang mengganggu tanaman kopi—produk pertanian dengan harga lebih mahal di masa itu.
Setelah Indonesia merdeka, ganja sudah menjadi tanaman yang diakrabi warga. Pada era 1970-an tanaman ganja mudah ditemukan di halaman rumah warga Aceh. Kebanyakan memakai ganja sebagai penghias halaman di depan rumah, bumbu penyedap, bahan pengawet, dan obat tradisional. Merujuk penelitian Patri Handoyo, nilai ekonomi mariyuana melonjak tinggi—setidaknya di Aceh—setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika PBB 1961 pada 1976. Perangkat hukum muncul, ganja menjadi komoditas terlarang. Kelangkaan, ditambah munculnya kelas menengah perkotaan di Tanah Air yang ingin menjajal narkotika, membuat harga melonjak.
Aceh dengan tradisi panjang mengolah cannabis, menjadi salah satu provinsi yang dengan cepat mendulang laba dari meningkatnya permintaan ganja. Aceh menjadi lumbung ganja terluas di Tanah Air.
Perang narkoba selama tiga dekade setelahnya, termasuk ketika pemerintah mendirikan Badan Narkotika Nasional, diklaim menyusutkan luas lahan ganja di Aceh. Operasi penggerebekan ladang ganja rutin terjadi. Klaim itu tampaknya tidak punya kaki, setelah polisi pada 2018 lalu masih menemukan lahan ganja terluas di Indonesia, lagi-lagi berlokasi di Aceh.
Tiga tahun terakhir BNN berusaha menawarkan pendekatan persuasi, supaya petani tak lagi tertarik menanam ganja. Nama programnya Grand Design Alternative Development (GDAD). Sasarannya tiga Kabupaten, yang dianggap menjadi sentra budidaya mariyuana: Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Gayo Lues, dan Kabupaten Bireuen. Petani ditawari berganti menanam jagung atau komoditas unggulan lainnya sebagai ganti ganja.
Apakah program BNN menarik? Untuk Alamsyah yang tinggal di pedalaman Aceh Besar, dan tidak bersedia ditulis nama aslinya untuk artikel ini, jawabannya tidak. Dia memang sudah berhenti menanam ganja tiga tahun lalu, tapi bukan karena tawaran aparat. Lelaki 35 tahun itu meninggalkan ganja lantaran ditipu oleh pemodal dan tak mendapatkan apapun dari hasil keringatnya.
“Rata-rata yang menanam ganja di sini pasca-damai sejak 2005 ke atas, lantaran dimodali oleh orang dan dijanjikan dengan banyak uang, karena di sini masyarakatnya hidup sepenuh dari hasil kebun,” kata Alamsyah. “Saya sempat dua kali panen, sekali dikasih uang setengah dari hasil kami dapatkan dan digunakan untuk modal. Lalu panen sekali lagi, dia kabur dengan membawa ganja tak nampak lagi batang hidungnya.”
Orang yang menipu itu adalah kawan dari luar Aceh. Awalnya dia mengirim modal sebesar Rp5 juta, untuk menanam ganja. Alamsyah sibuk mencari lahan di gunung seluas 5 hektare. Hasil panen sebanyak 500 kilogram dia percayakan begitu saja kepada sosok yang memodalinya.
“Ganja diambil di pinggir hutan. Setelah diambil orang suruhannya, dia tak bisa dihubungi dan ganjapun hilang,” kata Alamsyah.
Menurut Alamsyah, keputusan tidak menanam lebih karena alasan pribadi trauma ditipu. Bukan karena takut melanggar hukum. Dia mengaku tahu ada yang masih membudidayakan ganja sampai sekarang dan kemungkinan meraup untung. Untuk mengelabui endusan aparat, petani menanam cabai sebagai kedok, sedangkan ganja ditempatkan tersembunyi di tengah. “Sehingga kita kasih tahu pada orang desa, pergi ke gunung untuk tanam cabai.”
Upaya pemerintah Indonesia terus memerangi ganja belum akan berakhir, setidaknya menurut BNN. Sekalipun kebijakan progresif mulai diambil oleh Thailand pada 2018 untuk melegalkan penelitian dan aplikasi produk olahan cannabis untuk kepentingan medis. Tak ada tanda-tanda pula budidaya ganja sepenuhnya bisa hilang dari Bumi Aceh.
Alamsyah memang memilih berhenti. Dia fokus menanam padi. Tapi bagi mereka yang masih merasakan keuntungan, risiko akan terus diambil.
“Hingga sekarang ganja masih banyak ditemui di gunung,” imbuhnya, “kita saja tak tahu siapa yang tanam, walaupun kita tinggal di dekatnya.”
Hendri Abik adalah jurnalis dan fotografer yang bermukim di Aceh Besar. Follow dia di Instagram