Pakar Matematika Punya Ide Menahan Tsunami Menggunakan Gelombang Suara

FYI.

This story is over 5 years old.

Sains

Pakar Matematika Punya Ide Menahan Tsunami Menggunakan Gelombang Suara

Temuan ini disampaikan Usama Kadri melalui jurnal ilmiah Heliyon. Sayang, untuk mewujudkan ide tersebut masih banyak hambatan.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Usama Kadri, seorang ahli matematika dari Cardiff University di Inggris baru saja merilis sebuah perhitungan baru lewat jurnal ilmiah Heliyon. Perhitungan tersebut menunjukkan adanya kemungkinan menetralisir dampak merusak tsunami menggunakan gelombang suara bawah laut. Biarpun penerapan metode baru ini akan memakan biaya yang sangat besar dan cukup sulit diwujudkan dari sisi teknik, tidak banyak skema penanganan darurat bencana tsunami yang tersedia, selain "kabur ke dataran tinggi sebelum ombak datang." Usulan ilmiah apapun tentu menarik untuk diujicoba.

Iklan

Gelombang suara yang dimaksud dikenal sebagai gelombang gravitasi akustik (AGW). AGW adalah gelombang bawah laut raksasa yang melaju dalam kecepatan suara dan secara alami dihasilkan oleh gempa bumi dan aktivitas-aktivitas geologi lainnya. Dengan kata lain, Kadri mengusulkan kita untuk melawan 'api dengan api.' AGW terbentuk dengan sendirinya menjelang kemunculan tsunami, dan menjadi pertanda bawah laut sebelum ombak raksasa menerjang. Ketika AGW terjadi, seluruh lapisan laut mulai dari permukaan hingga dasar laut terpengaruh. Para peneliti menganjurkan mendeteksi AGW sebagai sinyal awal terjadinya tsunami dan kegiatan ombak yang ekstrem.

"Selain menjadi penanda tsunami, AGW bisa bertukar dan berbagi energi dengan ombak permukaan laut," jelas Kadri. Interaksi ini dikenal sebagai resonan tigaan, yang sebetulnya lebih mudah dijelaskan menggunakan visual.

Berdasarkan grafik di atas, apabila gelombang AGW yang lebih kecil digunakan menyerap energi dari gelombang yang jauh lebih besar, akan terbentuk AGW baru. Kedua AGW ini akan saling menyerap energi satu sama lain, bukannya menyerap energi dari tsunami. Kadri menyarankan penggunaan dua AGW sejak awal. Dua AGW bergerak lebih cepat dari arah yang berlawanan dengan tsunami akan menyerap energi dari ombak yang lebih besar dan membawanya pergi.

Tsunaminya tidak akan langsung 'mati', tapi interaksi ini melemahkan kecepatannya. Makna 'melemahkan' tsunami bisa setara dengan menyelamatkan ratusan ribu nyawa dan miliaran Rupiah bangunan yang biasanya rusak diterjang air pasang seukuran pohon kelapa. Kadri menggunakan kasus gempa bumi Samudra India yang memicu tsunami di Aceh pada 2004. Sayangnya, semua perhitungan ini lebih mudah dilakukan di atas kertas dibanding merealisasikannya di dunia nyata.

"Jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan AGW, dalam sebuah skenario yang realistis, kemungkinan jauh lebih besar dari energi AGW itu sendiri, dan reduksi amplitudo yang dihasilkan mungkin tidak akan terlalu efisien," jelas Kadri. "Maka, dibutuhkan cara untuk meningkatkan keefisienan interaksi lebih jauh."

Tentu, ada masalah yang lebih mendasar mewujudkan sistem tersebut. Untuk bisa mempengaruhi tsunami, dibutuhkan AGW dengan panjang gelombang yang besar. Gelombang ini sulit diproduksi secara mekanik. Kadri menyebutkan adanya kemungkinan memanfaatkan AGW yang dihasilkan oleh gempa bumi—yang nantinya menghasilkan tsunami—dan memantulkan mereka kembali ke arah tsunami dalam bentuk modulasi. Tapi ini baru kemungkinan semata.

"Biarpun mendeteksi tsunami itu lumayan mudah dilakukan," kata Kadri. "Melemahkan badai tsunami membutuhkan modulator atau pemancar frekuensi AGW yang sangat akurat. Ini adalah masalah teknis menantang yang sedang kami hadapi."