Analisis Kebiasaan Merokok Pesepakbola dan Pelatih Kenamaan Dunia

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Analisis Kebiasaan Merokok Pesepakbola dan Pelatih Kenamaan Dunia

Olahraga dan rokok sekilas tampak bermusuhan. Namun ternyata nama-nama besar dalam sepakbola tanpa ragu menunjukkan kebiasaan merokok. Kami pun mencari tahu alasannya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Lebih dari setengah abad, dunia medis sepakat bahwa merokok dan olah raga tak bisa dilakukan beriringan. Banyak dokter yang terang-terangan mengutuk rokok, meski tak sedikit tenaga medis di seluruh dunia yang menghabiskan 40 batang Marlboro dalam sehari. Di samping menjadi penyebab berkurangnya kapasitas paru-paru, mandegnya aliran darah, dan penyempitan arteri—belum termasuk penyakit-penyakit serius macam gangguan pernapasan kronis dan kanker yang tak risikonya main-main—merokok adalah hobi yang ditengarai bakal memupus kemampuan atletik olahragawan profesional. Seperti fakta aneh ada dokter yang tetap asyik mengisap tembakau, tentu saja kita bisa dengan mudah menemukan sekelompok olahragawan di era modern mengacuhkan peringatan dunia medis tentang bahaya merokok. Kenyataannya, memang tidak semua orang otomatis terjangkit penyakit paru-paru gara-gara rutin menyedot rokok.  Di antara segolongan olahragawan yang berani mengacungkan jari tengah pada hasil penyelidikan bertahun-tahun tentang tembakau—serta imbauan seram bahaya rokok yang disebarkan negara—para perokok paling ikonik datang dari cabang sepakbola. Sosok atlet maupun pelatih sepakbola ini seakan mengimani pemeo klasik: merokok sejatinya bagus untuk melatih kekuatan paru-para dan karenanya harus dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kebugaran seorang olahragawan. Kalaupun mereka tidak percaya pada pandangan nyentrik tersebut, pesepakbola yang nekat merokok kemungkinan besar adalah sosok pemberontak, bohemian anti mainstream, atau setidaknya mereka yang ingin terlihat seperti itu.

Iklan

Johan Cruyff, sang legenda sepakbola Belanda, adalah salah satunya. Connoisseur sigaret ini mulai mengakrabi rokok sejak masih aktif merumput. Kebiasaan ini bahkan terus dipelihara ketika dia telah menjadi pelatih. Cruyff tumbuh besar pada dekade 60-an di Ibu Kota Amsterdam. Saat itu rokok merupakan kemewahan bagi mereka yang sudah dianggap mapan dan dewasa. Menyelipkan rokok di sela bibir ketika masih belia adalah sebentuk perlawanan yang mengiringi terbentuknya budaya anak muda di Negeri Tulip. Cruyff diasosiasikan serta tak ragu melibatkan diri dalam gerakan pembebasan budaya Belanda dan perlawanan antikemapanan. Dus, tak aneh jika rokok kemudian jadi salah satu bagian dari imej yang kerap dia suguhkan pada publik. Rokok adalah salah satu pelengkap imejnya yang fashionable dan tampang kolotnya yang kadang agak menyebalkan.

Kalaupun rokok sekadar menjadi "statement" bagi Cruyff muda, lelaki yang lekat dengan filosofi Total Football ini nyatanya terus membutuhkan dosis nikotin rokok setelah aktif sebagai pemain sepakbola. Ada sebuah dongeng yang beredar ketika dia membela Barcelona sebagai gelandang serang. Konon setelah menjalani pertandingan debutnya di Barca, Cruyff segera menuju ruang ganti, menghabiskan satu batang rokok, mandi dan—sekali lagi—menghisap sigaret. Kalau saja semua anjuran dokter tentang bahaya rokok dan klaim rokok bakal mengurangi kebugaran atletis, faktanya Cruyff memenangkan La Liga bersama pasukan Blaugrana—mencetak 16 gol dalam satu musim kompetisi—semua itu tentu menjadi pembuktian talenta Cruyff yang tiada duanya (walau dia merokok). Sebagai seorang pemain profesional, Cruyff tergolong lamban pulih dari cedera, tapi Cruyff selalu berada satu kelas lebih tinggi dari kawanannya. Alhasil, Cruyff bisa tetap merokok, karena toh dia bakal tetap berjaya di lapangan dan terekam dalam keabadian sebagai pesepakbola sekaligus perokok berat.

Iklan

Ketika Cruyff pensiun, lantas didapuk menjadi manajer Ajax Amsterdam pada 1985, rokok tetap tak pernah lepas dari bibirnya. Cruyff berulang kali kepergok sedang mengisap sigaret di sisi lapangan guna mengusir ketegangan selama jalannya pertandingan. Kebiasaan ini terus berlanjut sampai 1991. Tahun itu Cruyff mulai menukangi FC Barcelona. Di tahun yang sama, Cruyff memutuskan menjauhi rokok dan mulai kebiasaan baru: menghisap lolipop. Keputusan ini diambil setelah Cruyff terpaksa menjalani operasi bypass jantung dan berulangkali mendapat ultimatum dari dokter bahwa merokok bakal mempersingkat umurnya di bumi.

Keputusan menjauhi tembakau tidak mengurangi kemampuan Cruyff sebagai manajer, pemikir, sekaligus filsuf sepakbola. Sejarah mencatat Cruyff memenangkan Liga Champion didukung skuad Barca 1992 yang legendaris. Setelahnya tim asal Catalunya itu meraih tiga trofi La Liga dan beberapa piala domestik Spanyol. Boleh dibilang, kebiasaan merokok akhirnya tetap memberi dampak pada sosok legendaris ini. Mantan kapten tim nasional Belanda itu kembali harus menjalani operasi jantung pertengahan dekade 90-an. Malah pada tahun 1996, Cruyff harus mundur dari posisinya di FC Barcelona setelah didera serangan jantung. Dalam sebuah iklan berbahasa katalan yang dibintangi tak lama setelah berhenti merokok, Cruyff terlihat menendang sebungkus rokok lalu berkata, "ada dua candu dalam hidup saya: rokok dan sepakbola. Sepakbola telah memberi segalanya pada saya. Rokok mengambil semuanya dari saya." Rentetan kata-kata ini seperti menemukan pembenaran pasca pemain legendaris itu mangkat 2016 lantaran kanker paru-paru. Selepas kepergiannya, publik bola (yang aktif mengisap tembakau) berkabung sembari diam-diam hampir mengakui bahwa anjuran para dokter tentang rokok mungkin ada benarnya.

Iklan

Jika sebatang rokok yang disematkan Cruyff pada bibirnya adalah warisan dari gerakan counterculture dekade 60-an sekaligus penawar stres bagi seorang manajer tim sepakbola yang selalu disorot media, situasi serupa berlaku pada pelatih bola seangkatan Cruyff. Misalnya, Zdeněk Zeman—pelatih nyentrik asal Ceko yang punya pengikut loyal di Italia dan pernah menukangi 16 tim, termasuk Lazio dan Roma. Zeman memelihara kebiasaan merokok yang akhirnya membuat imejnya semakin nyetrik saja. Andrea Pirlo dalam biografinya pernah menyatakan taktik yang dipilih Zeman selalu menguji "batas-batas realitas." Bagi Zeman, merokok merupakan aksi pembangkangan, sama seperti sikapnya yang tanpa kompromi dalam meracik strategi 4-3-3 ultraofensif yang selalu menabrak kelaziman dunia sepakbola. Rokok, mungkin secara sadar, dia pilih menjadi semacam acungan jari tengah bagi norma-norma industri olah raga modern.

Mari kita pindah ke sosok lainnya. Pada 60-an, Kota Alsace di Prancis tergolong kawasan konservatif. Di tengah lingkungan semacam itu, Arsène Wenger muda yang besar di sana bisa santai menghisap barang satu atau dua batang rokok saban hari. Dalam sebuah pernyataan pers setelah menjatuhkan denda pada Wojciech Szczesny sebesar £20,000 (setara Rp331 juta) gara-gara merokok di kamar ganti dua tahun lalu, Wenger berkata: "Aku tumbuh besar di pub, kalian tak akan bisa menemukan jendela karena pekatnya asap rokok dan masa mudaku kuhabiskan dengan menjual rokok. Saban akhir bulan, gajiku dibayar dalam bentuk rokok. Ini yang merangsang kami untuk merokok. Awalnya aku besar dikelilingi perokok, dan aku baru aktif merokok ketika mulai menjadi pelatih muda."

Iklan

Wenger mengatakan denda ini untuk mengingatkan anak asuhnya tentang bahaya rokok. Artinya, tidak seperti dua sosok pelatih yang sudah kita ulas sebelumnya, Wenger melakukan standar ganda. Dia merokok tapi tak mendukung orang lain mengisap tembakau. Berbeda dari Cruyff, menarik untuk mencatat bila Wenger memandang rokok sebagai cara untuk diterima dalam kelompok tertentu alih-alih menjadi simbol perlawanan. Ini berakar pada lingkungan tempat Wenger dibesarkan. Cruyff—yang cara pandangnya terhadap rokok berlawanan dengan Wenger—tumbuh di Belanda yang sangat dipengaruhi ajaran Protestan kolot yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesalehan Kristiani. Dalam masyarakat seperti ini, merokok jelas hal tak dianjurkan bagi anak muda. Wenger, sebaliknya, dibesarkan di lingkungan yang memandang lelaki belia yang merokok sebagai suatu yang lazim. Tapi merokok tidak dipandang sebagai pembangkangan di Alsace. Selain itu kita tak boleh melupakan bahwa "pelatih abadi Arsenal" ini juga punya ketertarikan mendalam terhadap ilmu olahraga, kedokteran dan psikologi. Jelas belaka, seorang dengan pengetahuan memadai tentang tiga bidang itu pasti mafhum bahwa merokok memang tak ada bagus-bagusnya.

Merokok sekadar karakteristik Arsène Wenger muda yang woles, berani, dan masa bodoh. Lelaki ini ketika masih menjadi manajer muda berhasil membawa AS Monaco jadi kampiun Ligue1 di tengah rentetan kasus penyogokan dan korupsi. Wenger muda kemudian melanglang ke Jepang, mencicipi sebuah budaya yang baginya benar-benar baru untuk kemudian ke Inggris merombak total gaya bermain Premier League—terutama Arsenal. Pada akhirnya, Wenger muda juga yang kemudian memerangi budaya minum-minum Inggris, menantang dominasi Alex Ferguson, dan memberikan perlawanan sehormat-sehormatnya meski di mata media, Wenger tetaplah orang Prancis tua yang tak kunjung pensiun. Wenger memang punya bakat mengambil resiko dan mencandai bahaya, yang merupakan tabiat yang harusnya dimiliki oleh semua perokok akut setiap kali menyalakan batang sigaret.

Iklan

Kini, Arsène tak ragu melarang anak asuhnya merokok. Alasannya: Wenger tak lagi merokok. Kegigihan—atau kalau mau lebih jujur, kenekatan merokok—pada dirinya memuai, digantikan oleh rasa sadar diri yang tinggi dan kekhawatiran akan akhir karirnya yang tak kunjung hilang. Mungkin saja, kita lebay dalam hal ini. Tapi, jelas sekali bahwa Wenger yang sekarang sangat berhati-hati dengan kesehatannya.

Lazimnya, cara orang mendekati rokok dan usia ketika mereka meninggalkannya bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Wenger tentu paham sekali tentang hal ini. Menanggapi rekaman video dirinya merokok di pinggir lapangan saat menukangi Monaco—video ini populer lagi ketika dia menjatuhkan denda bagi pemain Arsenal yang merokok—Wenger berkata: "Beberapa hari lalu, sebuah televisi Perancis menayangkan video yang merekam aku menghisap rokok di pinggir lapangan. Tak pernah terlintas di benakku saat itu jika [merokok di pinggir lapangan] keliru. Lagipula zaman itu, aku ingat pernah melihat Mercello Lippi menghisap cerutu sepanjang pertandingan dan dia melakukannya di setiap pertandingan."

Lippi mengisap cerutu, ketika dia belum keriput seperti sekarang. Sumber: PA Images.

Wenger sepertinya memutuskan berhenti merokok sejak datang ke Inggris. Sementara Marcelo Lippi terus menghisap cerutu—besar maupun kecil—sampai masa senja kepelatihannya. Bagaimana pun merokok adalah kebiasaan khas lelaki Italia, negeri yang pernah sangat tersohor berkat perokok legendaris Giuseppe Garibaldi. Kita selamanya akan mengingat Lippi sebagai pelatih berambut putih yang menghisap cerutu dengan khidmat di pinggir lapangan. Sosoknya meneguhkan stereotipe pria Italia sejati. Di sisi lain, Carlo Ancelotti tampil sebagai pria Italia ramah dengan rokok yang diapit di tangan. Hal serupa dilakukan oleh Gianluca Vialli. Ancelotti beberapa kali kedapatan merokok saat jeda pertandingan ketika menduduki kursi manajer Real Madrid. Vialli lebih edan lagi, dia getol merokok selama aktif bermain. Vialli bahkan pernah langsung menyalakan rokok segera setelah ditarik keluar dari lapangan.

Iklan

Merokok masih jadi bagian integral dari identitas nasional Italia modern. Beberapa pemain top Italia modern seperti Vincenzo Iaquinta, Alessandro Nesta, dan Gianluigi Buffon sembunyi-sembunyi (walaupun akhirnya kepergok media) mengisap barang satu atau dua batang rokok. Ini cuma sebagain contoh kecil. Ruang ganti di liga Italia pernah sangat penuh dengan asap rokok di dekade 90-an. Kalau mau jujur, pesepakbola Perancis juga tak kalah dari Italia soal bakar membakar rokok. Zinedine Zidane, David Ginola, dan Fabien Barthez tak menutup-nutupi hobi mereka menikmati rokok. Kebiasaan para pemain memunculkan perdebatan tentang etika pesepakbola profesional merawat badan mereka. Sebagian mengkritisi kebiasan merokok beberapa bintang sepakbola. Di saat yang sama, suporter seperti peduli setan dengan kebiasaan merokok idola mereka tentunya selama performa mereka oke-oke saja—malah sikap mereka cenderung membiarkan kalau tidak mengagumi—dan ini membuat para pelaku sepakbola yang sok menentang rokok sebagai sosok yang munafik.

Seperti di Perancis dan Italia, merokok juga jadi bagian integral dari kancah sepakbola Amerika Selatan. Sócrates—legenda Timnas Brasil—mungkin punya hubungan paling unik dengan rokok. Sebagai seorang yang memiliki gelar doktor di bidang medis, konsumsi rokoknya tergolong unik. Socrates termasuk kaum terdidik Brazil yang mencapai akil balig di tahun 70an, kemungkinan besar, dia terinspirasi pemikir ekstensialis yang terkenal sebagai tukang ngebul. Di sisi lain, Socrates adalah penggemar besar Che Guevera dan Fidel Castro. Jadi, kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya dipastikan adalah sebentuk penghargaan bagi pahlawan politik dan akar intelektualitasnya.

Unsur politis juga terlihat dalam kebiasaan merokok Maradona. Legenda Argentina itu mengoleksi tato Che Guevara dan Fidel Castro di badannya. Bedanya, bila Socrates memilih menghabiskan berbatang-batang rokok dalam sehari, Maradona lebih doyan menikmati cerutu besar. Dalam hal ini, Maradona lebih berhasil meniru idolanya—para pemimpin komunis Kuba itu—dibanding Socrates. Tapi tetap saja, Socrates bersama rokok di mulutnya lebih pantas mencap diri sebagai seorang pembangkang yang melawan tatanan negaranya, tak jauh beda dari Cruyff. Sementara Maradona—terutama di masa senjanya—meski menghisap cerutu sebesar apapun tak akan dipandang sebagai pembangkang politis, apalagi bila kita ingat gaya hidup jor-joran, kedekatannya dengan kekuasaan dan kasusnya mengemplang pajak.

Maradona merokok cerutu. Sumber: PA Images.

Hasil dari analisis ini, atlet bola Eropa Daratan atau Amerika Selatan tampaknya lebih ditolerir ketika merokok dibanding pesepakbola Inggris. Ketika Cruyff, Wenger Sócrates cs bisa menikmati rokok dengan elegan, menutupi resiko merokok bagi kesehatan—jika memang ada, pesepakbola Inggris merokok layaknya anak ingusan yang baru belajar merokok. Beberapa di antaranya bahkan tak jago mencuri waktu untuk mereka. Misalnya, Ashley Cole, Wayne Rooney, dan Jack Wilshere pernah kepergok merokok di hari libur. Sepertinya, pesepakbola Inggris sepertinya tak pernah kelihatan cool kalau merokok. Titik.

Bandingkan misalnya dengan Cruyff dan Socrates yang ketika menyalakan rokok, otomatis kita menilai mereka sebagai pembangkang (keren). Satu hal yang pasti dari pengalaman pemain dan pelatih sepakbola dalam artikel ini: merokok selalu tentang eksistensi diri yang sudah melampaui kalkulasi kesehatan ala dunia medis.

Follow akun penulis di @W_F_Magee