Dibalik Kematian Skhothane, Subkultur Kontroversial Yang Dihancurkan Oleh Media
Foto-foto oleh Alice Inggs

FYI.

This story is over 5 years old.

Fashion

Dibalik Kematian Skhothane, Subkultur Kontroversial Yang Dihancurkan Oleh Media

Bermula di Johannesburg, Skhothane berkisar tentang pameran kemakmuran—namun ketika media mulai meliputnya anak muda membakar uang dan pakaiannya, subkultur mati muda.

Artikel ini pertama kali muncul di VICE Australia.

Mendadak populer dan tiba-tiba hilang, skhothane—slang lokal untuk "seorang yang street smart dan pekerja keras," merupakan subkultur Afrika Selatan berbasis status sosial ekonomi yang gemar pamer kekayaan lewat fashion. Subkultur ini datang dari dunia yang sama dengan subkultur pantsula yang menampilkan pakaian terusan dan sepatu converse dan subkultur umswenko yang sangat kental dengan pengaruh hiphop. Skhothane adalah para "tukang pamer," "tukang berlagak," kelompok pemuja uang lintas komunitas yang lucunya tidak mempunyai banyak uang.

Iklan

Di tahun 2012, di kota-kota kecil seperti Katlehong dan Tembisa yang terletak di luar Johannesburg, tren skhothane mudah terlihat: segerombolan orang mengenakan kemeja sutra dan topi ember, sepatu buatan Italia, jins desainer sambil membawa botol-botol scotch whisky Johnnie Walker Blue Label. Di beberapa taman diadakan pesta, dimana dance-off berlangsung dan pembakaran barang-barang mewah menjadi puncak acaranya—kegiatan yang pasti dianggap mubazir oleh orang awam. Di mata dunia, perkumpulan skhothane ini terlihat seperti masyarakat tragis yang diprediksi oleh Steve Biko, aktivis anti-apartheid dan penemu dari Black Consciousness Movement. Masyarakat tragis ini didefinisikan sebagai: "Penduduk yang didorong ke arah kekacauan oleh mereka yang hidup dalam budaya Coca Cola dan Hamburger"

Nilai-nilai inilah yang ditunjukkan oleh skhothane. Harta benda, gairah, fashion, dan semua tindakan mereka hanya mengacu kepada satu hal: "Nih liat, gue punya duit lho."

Namun subkultur ini juga tidak luput dari isu-isu kejahatan pembakaran, kekerasan, dan tindak kriminal—pemborosan gila-gilaan lewat pembakaran uang kertas, perobekan pakaian dan pembuangan makanan di jalan-jalan.

Begitu program berita lokal bernama The 3rd Degree mulai meliput kegilaan ini, subkultur ini mulai berantakan ketika penonton ketakutan atau bahkan malu melihat liputan Skhothane di layar televisi. Di sini 99% manusia di bumi mengadopsi apa yang mereka pikir sebagai gaya hidup kaum 1% yang kaya. Ini adalah bukti paling nyata dari pembagian kekayaan yang jomplang di dunia: ketika sebuah subkultur di Afrika memandang dua pasang sepatu dengan harga 2 juta rupiah sebagai suatu "kemewahan," sementara di pojok dunia lainnya, seorang jutawan dengan enteng menerbangkan kucing peliharaannya ke Paris menggunakan pesawat jet pribadi.

Iklan

Namun foto-foto yang tersebar di internet sangatlah menarik—sebuah pencampuran antara materialisme kontemporer dan Africana aneh yang baru lag eksotis. Scene skhothane perlahan berubah menjadi fenomena kultur remaja level internasional hingga memaksa BBC turut meliputnya. Liputan BBC ini menunjukkan betapa intensnya para skhothane berinteraksi dengan satu sama lain, termasuk aksi mereka merobek uang, menggigit iPhone, dan menginjak-injak baju desainer dan ember ayam KFC sambil diiringi musik kwaito, hiphop dan house beat. Mereka minum whisky mahal sambil bersorak untuk teman-teman mereka. Ini mungkin tidak terjadi secara berkala, namun dunia telah melihat foto-foto tersebut dan mereka penasaran.

BBiarpun pengikut setia mereka menganggap skhothane sebagai tidak lebih dari fashion dan sekedar pamer, media mempunyai ide yang berbeda. Akibatnya, kultur skohthane harus disesuaikan dengan pasar yang disasar media—kultur ini menjadi bagian dari narasi kota kecil dan muncul di iklan Nandos, seri kartun online, dan beberapa musik video lokal. Kultur ini menjadi besar dan memengaruhi anak-anak muda yang ingin menjadi lebih materialistis lagi. Hingga pada suatu titik, skhotkane berubah dari sebuah subkultur yang legit menjadi sekadar budaya bentukan media. Dari sini terlihat bahwa umur skhothane tidak akan panjang lagi.

Sepatu-sepatu yang dikenakan Tarianas, sebuah subkultur yang mengikuti jejak skhothane. Kumpulan foto di bawah karya Alice Inggs.

Apa sebetulnya yang terjadi di awal kelahiran skhothane? Seberapa sering mereka membakar uang? Seberapa sering mereka merobek pakaian, berkelahi dan menumpahkan keripik Lays ke logo pakaian golf lacoste—gerakan yang mereka sebut "memberi makan si buaya"? Apakah ini semua salah media yang memiringkan cerita tersebut? Kalau iya, kenapa? Di dunia maya, kematian subkultur skhothane diumumkan di tengah khotbah-khotbah moralis, riuh dunia seni dan analis sok-sok sosiologis. Subkultur ini mencapai puncaknya di depan kamera dan mati di belakang layar. Sudah tidak jelas apakah subkultur ini masih ada—banyak orang mengaku membawa bendera skhothane, namun tidak pernah ada yang benar-benar mengerti inti dari subkultur ini.

Iklan

Faktanya: kultur skhothane mengalami puncaknya pada tanggal 29 September 2012, ketika pada sebuah malam puluhan ribu anggota skhothane dan penduduk kota Thokoza berkumpul untuk pertarungan antara East Rand melawan West Rand di Rockville, daerah suburban di kota Soweto, di luar Johannesburg. Tiga tahun kemudian, hampir tidak ditemukan sisa-sisa skhothane di daerah ini. Polisi telah merazia pertemuan-pertemuan liar yang mereka biasa lakukan, dan komplain dari para warga setempat membuat semangat para skhothaneb hilang. Lister Khotment, seorang "mantan skhothane yang telah insaf" menambahkan " Skhothane sudah tidak keren lagi; sekarang banyak subkultur baru dan semua selalu berubah." Apa yang tersisa dari scene skhothane hanyalah beberapa gerombolan kelompok-kelompok kecil yang tersebar di kota Gauteng, dari Tembisa hingga Daveyton.

Tshepo Pitsa (atau Don Dada) menyaksikan segalanya. Dia bahkan belum lulus SMA ketika media mulai meliput skhothane dan meroketkan ketenarannya ke level internasional. Dia telah tampil di majalah dan blogs mulai dari ELLE hingga BBC dan merupakan YouTuber skhothane dengan jumlah views terbanyak. Kru-nya, The Material Boys, menolak keras tindak pembakaran dan perusakan. Bagi mereka, skhothane hanyalah seputar fashion dan tarian.

Bagi Pitsa, skhothane hanyalah sebuah cara untuk melihat dan merasakan kehidupan sehari-hari: "Kami melakukan hal-hal yang semua orang lakukan, namun kami berpenampilan berbeda," kata dia. Apa iya ini sesimpel itu? Agak sulit dipercaya setelah semua sensasi yang telah skhothane timbulkan. Namun mungkin saja Pitsa benar. Dia memeringatkan kita untuk tidak mempercayai berita di TV. Sarah Nuttall, seorang akademisi dan komentator budaya menulis "penggunaan identitas sebagai aksesoris, termasuk identitas ras, melalui pencampuran komposisi"—yang berlaku di semua macam kultur, seperti halnya skhothane—"makin menjauh dari apa arti identitas itu sebenarnya… tapi lebih ke efek pencitraan yang ingin dihasilkan." Bagi orang-orang seperti Pitsa, Skhothane tidak pernah, dan sampai sekarang, menjadi semacam gerakan artistik yang mendalam. Namun tidak juga seluruhnya remeh. Inti dari skhothane adalah merubah diri sendiri yang berlanjut ke merubah keadaan hidup sendiri. Ikon fashion, Miuccia Prada mengerti sekali hal ini: "Ketika anda mengenakan pakaian, anda sedang memamerkan ide tentang diri anda kepada publik," ungkapnya kepada New York Magazine. Fashion bisa mengangkat dan membentuk identitas diri.

Iklan

Pitsa juga menjelaskan mengapa sedikit sekali anggota skhothane yang bisa ditemukan di area ini. Sebagai bandingan, hanya beberapa tahun silam taman Thokoza dan pinggir bendungan Moroka selalu penuh dengan sepatu-sepatu berwarna terang dan kemeja-kemeja bermotif bunga.

"Pesta-pesta itu memang benar terjadi, tapi jarang sekali. Saya tidak pernah melakukannya. Sangat jarang saya melihat seseorang membakar uang," ujar Pitsa. "Ketika media mendatangi bocah-bocah itu, mereka berkata, 'Kamu gak pengen membakar apa-apa?' Namun sebetulnya bukan itu yang kami lakukan. Medialah yang meminta orang-orang untuk menumpahkan Ultramel (puding susu) dan melakukan hal-hal aneh lainnya."

Seorang pria mengenakan pakaian ala skhothane

Pitsa berhenti sejenak, lalu berkata: "Media tidak mengerti bahwa ini akan membunuh subkultur kami dan merusak citra kami. Mereka meminta kami untuk membakar uang atau merusak dan membuang sesuatu. Kami mengerti bahwa ini adalah tindakan-tindakan yang akan membunuh kelompok kami, sehingga kami membantah melakukan hal-hal tersebut. Kami adalah orang normal, sama seperti orang lain, tapi begitu kami melakukan kesalahan, kami diperlakukan berbeda. Komunitas tidak mengeluh ketika orang dari kultur lain melakukan kesalahan. Makanya kami melakukan interview semacam ini, agar kami bisa menjelaskan dengan lebih baik. Beberapa surat kabar membuat-buat cerita mereka sendiri hanya agar terbitan mereka laku. Sayangnya kami tidak bisa menuntut orang-orang ini karena kami tidak punya waktu dan uang. Jadi saya sedang berusaha memperbaiki keadaan."

Iklan

Pitsa mengatakan bahwa orang-orang yang mengaku sebagai skhothane di tahun 2015 adalah penipu, palsu dan tidak berhak menyandang nama tersebut. Mereka tidak lebih dari para penjudi yang diberikan botol wiski, sepasang sepatu desainer, korek api dan disuruh membakar sambil tersenyum di depan kamera. Tidak ada otoritas pusat atau badan pengawas yang bisa menghukum anggota skhothane yang tidak patuh, karena tidak ada kejelasan tentang apa sebenarnya skhothane itu. Skhothane merupakan sebuah kultur—yang dapat menjadi apa saja sesuai keinginan anggotanya. Kira-kira seperti itu.

Pitsa juga menjadi skeptis atas pemberitaan media internasional yang menurutnya tidak akan bisa mengerti dan menggambarkan secara akurat apa yang sesungguhnya terjadi di sebuah kota kecil di Afrika Selatan yang penuh dengan konflik dan pergolakan budaya.

Ketika kami bertanya kepada pihak kepolisian Katlehong (di mana dokumenter investigasi awal tentang skhokhane dibuat) apa mereka pernah menerima keluhan mengenai skhohane, mereka semua menjawab "tidak." Jawaban ini membuat cerita tentang pembakaran uang dan sepatu-sepatu mahal buatan Italia menjadi semakin tidak masuk akal. Namun, ini tidak menghentikan kesan yang telah terbentuk. Para penduduk lokal dan bekas anggota skohthane yang kami tanyai juga selalu melebih-lebihkan kenyataan, yang tentunya tidak membantu.

Ketika kami meminta kelompok skhothane yang lain untuk bertemu, mereka menjawab, "Pakaian apa yang mesti kami kenakan dan apa yang mesti kami bawa?" Jadi jelas bahwa ada beberapa tipe skhothane yang berbeda—pertanyaannya adalah yang mana yang asli dan yang mana yang tidak? Dan lebih penting lagi, sejauh mana otentisitas memperbolehkan rekayasa dari pihak pembuat dokumenter dan bukan dari subjek pelaku?

Iklan

Liputan media hanyalah sebagian dari alasan mengapa subkultur ini menghilang. Pihak polisi juga mulai mendatangi pertemuan-pertemuan yang sering berakhir dengan tindak kekerasan, dan pasar gelap muncul setelah para preman lokal berusaha memanfaatkan keadaan. Penjambretan sering terjadi di pertemuan-pertemuan tersebut, dan garmen yang dikenakan diambil dan dijual ke pembeli-pembeli gelap dengan harga murah. Toko-toko lokal juga mulai mengimpor mode-mode skhothane tiruan seiring dengan bertambah populernya subkultur ini. Bahkan ada gosip bahwa anggota skhothane mulai melakukan kegiatan kriminal untuk mendukung hobi-hobi mahal mereka. Kultur ini berkembang menjadi besar dan melahirkan imitasi-imitasi yang mempengaruhi anak-anak remaja. Kasus bunuh diri seorang remaja lokal, yang diduga disebabkan oleh ketidakmampuannya untuk membeli pakaian mahal agar dapat "diterima" menambah bensin pada liputan negatif yang membakar habis nama skothane. Apa yang sebetulnya terjadi hanyalah sebuah bentuk penyelewengan.

Sekelompok Anggota Tariana.

Kaum Tariana—bahasa slang untuk "Orang Italia"—merupakan contoh yang nyata: mereka adalah segerombolan bekas kaum skhothane yang tinggal di Tembisa dan melakukan hal-hal dengan cara mereka sendiri. Pakaian mahal tetap mereka kenakan, tapi tidak ada tindak pengrusakan. Thembisa Matsepe, pemimpin grup ini mengatakan bahwa kelompok mereka menganut "semangat orang Italia." Mereka menggunakan gaya dance dan gaya pakaian mereka sebagai simbol status dalam kecakapan berbicara dan bertindak. Ini merupakan bentuk tanggapan terhadap reaksi buruk yang skhothane dapatkan dari penduduk dan media. Scene apapun bukanlah milik satu orang saja, namun jelas bahwa mereka telah berevolusi semenjak kematian subkultur awal mereka. Matsepe mengatakan bahwa banyak anggota skhothane yang dia hormati berakhir di penjara, dan dia tidak mau mengikuti langkah mereka.

Seperti cerita lainnya yang berhubungan dengan kultur jalanan, ada banyak ketidakjelasan dalam kasus ini. Scene Skhothane bersifat organik dan terus berkembang—tidak ada yang benar-benar bisa menjelaskan apa arti dari subkultur ini. Cerita skhothane rumit dan terus berubah, diwarnai oleh narasi-narasi yang bertentangan dan hiruk-pikuk liputan media yang tidak menyisakan banyak ruang untuk interogasi. Tariana merupakan produk akhir yang logis dari bentrok antara masyarakat dan kultur jalanan. Fashionnya berubah, namun gayanya masih sama.

Kultur ini mungkin tidak mempunyai "arti" seperti yang diharapkan para penonton : nihilisme eksotis yang siap tayang untuk YouTube atau tayangan realiti show, dan mungkin ada agenda skhothane yang tidak terwujudkan, namun bagi beberapa orang sebuah subkultur dapat memberi arti yang berbeda. Subkultur dapat menjadi penanda sebuah era. Di sebuah negara penuh korupsi, layanan yang buruk, sering mati lampu, kesenjangan ekonomi, mata uang bernilai rendah dan rakyat yang frustrasi, siapa yang tahu bahwa subkultur bisa berarti sesuatu? Anggota scene skhothane jelas tidak tahu—atau mungkin tidak peduli. Namun yang pasti, skhothane sempat mendapat sorot perhatian. Mereka sempat keren untuk beberapa saat.

Lagian, skhothane hanya fashion aja kan?

Follow Alice Inggs dan Karl Kemp di Twitter.