Mengenang Sang Legenda Premier League: Eric Cantona
Ilustrasi oleh Dan Draws.

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Mengenang Sang Legenda Premier League: Eric Cantona

Dialah sosok tulang punggung Dinasti Manchester United. Tidak banyak pesepakbola lain bisa menandingi kiprahnya di pertandingan, serta tindak-tanduknya di luar lapangan.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Kali ini The Cult menampilan salah satu superstar pertama Premier League, sosok pria yang membantu Alex Ferguson membangun dinasti Manchester United. Tidak banyak yang bisa menandingi King Eric di lapangan sepakbola; dan lebih sedikit lagi yang punya nyali untuk meninggalkan sepakbola seperti dia. Baca edisi The Cult sebelumnya disini.

Anda bisa membaca seri legenda olahraga lainnya dari VICE Sports, 'The Cult', dengan mengklik tautan ini.

Iklan

Alasan Dia Jadi Legenda: Iklan Revolusioner

Ada satu iklan sepakbola masa kecil yang saya ingat. Iklan ini diluncurkan oleh Nike di 1994, dan muncul di berbagai tempat: di selebaran tertempel di bawah sepatu boot Tiempo, di antara halaman majalah Match, dan iklan TV di kala jeda pertandingan Liga Champion.

Namun yang saya paling ingat adalah billboard besar yang dipasang di sebuah bundaran di kota kelahiran. Awalnya, iklan tersebut menarik perhatian saya karena adanya Tanda Salib Saint George berwarna merah darah yang menjadi latar belakang billboard. Tidak hanya menarik secara visual, iklan tersebut juga provokatif: Saya tinggal di sebuah kota kecil, 48 kilometer barat Swansea, jadi jarang sekali saya melihat bendera kebangsaan Inggris ditampilkan sedemikian rupa.

Namun biarpun latar belakangnya asing, sosok yang berdiri di depannya langsung saya kenali. Bagi seorang bocah berumur 8 tahun, Eric Cantona adalah salah satu pria paling terkenal di dunia. Pemain asal Perancis tersebut mungkin merupakan pemain paling signifikan di awal Premier League, pemain bintang di tim juara Manchester United, dan juga sosok yang misterius. Cantona terlihat cuek namun sanggup melakukan teknik-teknik sepakbola yang hanya bisa didapat dari dedikasi dan latihan berjam-jam. Kerah jerseynya selalu naik, lambang perlawanan, semacam pengacungan jari tengah yang simbolis kepada kaum konformis di dunia. Cantona merupakan atlet luar biasa yang tidak akan peduli pendapat orang tentang dirinya.

Iklan

Yang menakjubkan saya adalah perilakunya yang terang-terangan arogan. Semua gerak-gerik tubuhnya menunjukkan kesombongan yang luar biasa: lekuk mulutnya, gerakan matanya, cara dia merapikan kerah. Ini semua semakin memperkuat pernyataan bahwa kelahiran Cantona adalah titik emas sepakbola Inggris, melampaui kemenangan mereka di World Cup.

Arogansi itu tidak apa-apa, selama bisa dipertanggung jawabkan. Dan tidak banyak yang bisa melakukan ini seperti Cantona, seorang pesepakbola genius yang juga mudah tersulut emosi. Dii akhir musim 1993/1994, MU menjadi juara Premier League untuk kedua kalinya berturut-turut dan memastikan gelar ganda setelah menang 4-0 melawan Chelsea di final FA Cup. Cantona terpilih sebagai Player of the Year versi PFA Players dan player of the year Manchester United setelah mencetak 18 gol di liga dan mencetak dua gol penalti di Wembley ketika mengalahkan Chelsea.

Dia adalah bintang terbesar Inggris di saat itu. Di periode ketika sepakbola Inggris masih bertansisi dari era 80an yang buruk—kala itu sepakbola hampir mati—Cantona menampikan skill, gaya dan rasa percaya diri yang kala itu menghilang dari pertandingan sepakbola Inggris.

Hanya Cantona yang bisa muncul di sebuah iklan yang berani menyatakan bahwa seorang pemain Perancis lebih penting dari pencapaian tertinggi sepakbola Inggris. Kalaupun ada yang berani mempertanyakan hal ini, paling-paling Cantona hanya mengangkat bahunya dan bertanya balik: "Emangnya gak bener?" Setelah dia menciptakan gol free-kick yang luar biasa indah, anda akan kembali berpikir: "Bener juga sih. Kemenangan World Cup Inggris ditampilkan di layar hitam dan putih, sementara aksi jenius Cantona penuh dengan warna."

Iklan

Penyebab Cantona Abadi: Bangku Stadion Selhurst Park

Kalau dipikir-pikir, dua pemain ikonik sepakbola selama 25 tahun terakhir semuanya terlibat kekerasan. Lebih ajaib lagi, keduanya berasal dari Perancis. Tentu saja saya ngomongin aksi menanduk Zidane di Final World Cup 2006, dan aksi Cantona menendang penonton di Selhurst Park pada Januari 1995.

Keduanya naik pitam setelah diprovokasi, kehilangan kendali, dan melanggar hukum tertinggi sepakbola—yang mengatakan anda tidak boleh menyerang secara fisik orang lain, entah itu sesama pemain ataupun penonton. Tandukan Zidane ke Marco Materazzi merupakan bentuk agresivitas murni tanpa seni, antitesis dari cara Zidane bermain di atas lapangan. Uniknya, aksi kekerasan Cantona berbeda. Ada semacam keanggunan di balik kerusuhan yang dia timbulkan di kalangan penonton Selhurst park.

Pertandingan tersebut terjadi di 22 Januari 1995, ketika United bertandang ke London Selatan untuk melawan Crystal Palace. Tiga hari sebelumnya, dia baru saja menjadi pahlawan setelah mencetak gol tunggal di kemenangan 1-0 melawan rival gelar juara Blackburn Rovers. Namun di pertandingan melawan Palace, dia menjadi sosok penjahat, mendapatkan kartu merah setelah melampiaskan amarah ke RIchard Shaw yang sempat menarik bajunya.

Tentu saja itu bukan pertama kalinya Cantona keluar dari lapangan sebelum pertandingan berakhir—di musim sebelumnya dia menerima tiga kartu merah—namun di kesempatan kali ini, dia terusik oleh pendukung Palace yang kerap memakinya. Tokoh yang dimaksud adalah Matthew Simmons yang berlari 11 baris ke depan dan berteriak ke Cantona "balik ke Prancis sana Njing!".

Iklan

Apa yang terjadi beberapa detik setelahnya menjadi bagian dari ingatan kolektif para pencinta sepakbola Inggris. Ketika tengah berjalan menuju terowongan setelah dikartu merah, dia mendengar makian tersebut dan langsung memalingkan kepala. Berjalan melewati ahli medis United, Norman Davies, dia meloncat ke gerombolan penonton. Wanita berdiri di samping Simmons terlihat pucat, kaget melihat aksi kekerasan di dalam sepakbola Inggris. Kerusuhan pun terjadi. Namun sebelum itu, sempat ada beberapa detik keheningan, ketika kaki Cantona meninggalkan rumput lapangan dan mendarat di papan iklan.

Simmons (berdiri di atas huruf 'D') saat melontarkan makian pada Cantona. Sumber foto: PA Images

Saya ingat menyaksikan cerita tersebut di berita malam dan bingung apa yang sebetulnya baru saja dilakukan Cantona, tapi mengerti dari cara berita itu ditampilkan bahwa masalahnya lumayan serius. Mungkin dia habis membunuh seseorang? Atau membantai beberapa orang sekaligus? Saya tidak tahu. Tapi dijelaskan bahwa apa yang dia lakukan "tidak pantas dan penuh kekerasan" dan polisi siap menginterogasinya. Bagi seorang bocah berumur delapan tahun yang suka menonton acara kriminal NYPD Blue, ini terdengar sangat serius. Pasti kasus pembunuhan nih, pikir saya.

Fakta bahwa ternyata dia cuman menendang seseorang—yang memaki duluan—rasanya cemen banget. Bagi seorang anak kecil, peristiwa tersebut membingungkan. Cantona adalah seorang pahlawan, entah anda fans United atau bukan, dan aneh menyaksikan banyak orang di TV memperlakukan dia seperti layaknya penjahat.

Iklan

FA melakukan hal yang sama, melarang Cantona bermain selama delapan bulan dan mengakhiri sepak terjangnya di Premier League musim itu. Akhinya United kehilangan gelar mereka akibat selisih satu poin.

Namun momen terpenting muncul saat konferensi pers, setelah Cantona menghabiskan 120 jam melakukan hukuman community service. Di sebuah ruangan sempit, penuh dengan jurnalis yang mencari kutipan, Cantona berbicara dengan lembut: "Burung camar mengikuti kapal pemukat karena berpikir ikan sardin akan dilempar keluar ke laut." Ruangan hening, hanya terdengar suara klik kamera. Setelah itu dia mengucapkan terima kasih, berdiri dan meninggalkan ruangan.

Para jurnalis mengejarnya, layaknya burung camar yang mengikuti kapal pemukat, namun Cantona sudah menghilang. Arogansi dan kejeniusan yang ditampilkan dalam konferensi pers tersebut adalah bukti sosoknya yang cult.

Momen Penting Cantona: Meninggalkan Gaya Inggris

Setelah kembali ke lapangan setelah menjalani hukuman skorsing pada September 1995, Cantona langsung kembali jadi tim inti andalan Alex Ferguson. MU berhasil memenangkan dua gelar Premier League berturut-turut, ditambah gelar FA Cup di 1996 ketika Cantona mencetak gol tunggal di kemenangan 1-0 melawan Liverpool. Pers Inggris langsung menyanjung penampilan King Eric denganmenghadiahkan penghargaan Foolball Writers' Association Footballer of the Year di 1995/1996. Statusnya di United semakin terkukuhkan setelah dia diangkat menjadi kapten klub seusai kepergian Steve Bruce.

Tujuh hari setelah memenangkan gelar keempatnya selama lima tahun di Old Trafford, Cantona mengumumkan pengunduran dirinya dari sepakbola profesional.

Iklan

Banyak yang terkejut. Cantona baru berumur 30 tahun, bermain di hampir setiap pertandingan di musim itu dan menjadi pencetak assist terbanyak. Peristiwa itu terjadi kurang dari enam bulan setelah dia mencetak gol yang akan selalu dikenang fans Manchester United. Pengunduran dirinya terasanya tiba-tiba dan mengagetkan. Dia menghilang begitu saja, tanpa pamit.

Namun melihat kebelakang, rasanya cara dia mengundurkan diri sesuai dengan karakter Cantona. Dia tahu dia tidak akan terus menjadi pemain terpenting United dan dia tidak berminat "turun pangkat". Dia keluar dengan caranya sendiri, menolak mengalami masa penuaan dan tidak lagi dibutuhkan.

Melebihi pemain United manapun, Cantona layak diingat sebagai katalis sukses luar biasa yang dialami MU di era kepelatihan Ferguson. Dia membantu United berkembang dari tim yang bagus menjadi tim yang hebat, dan menunjukkan pemain-pemain muda saat itu seperti Giggs, Scholes dan Beckham apa artinya menjadi pemain yang hebat. Cantona adalah sosok yang dinamis, bertemper panas, dan pergi begitu saja tanpa pamit. Dia adalah representasi yang pas untuk sepakbola Inggris, lebih dari pemain Inggris manapun.

Pernyataan Penutup

"Beberapa pemain, dengan reputasi yang terhormat sekalipun sering gagal memenuhi ekspektasi tinggi manajemen Manchester United. Eric sangat berbeda. Sejak pertama kali datang dia penuh percaya diri, membusungkan dada, menaikkan kepala, dan melihat sekeliling seakan-akan berkata: 'Saya Cantona, apakah klub ini cukup layak mempekerjakan saya?'" —Alex Ferguson