Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard
Miliarder pemilik perusahaan teknologi punya beberapa kesamaan. Tiga di antaranya adalah punya kekayaaan yang berlimpah, memiliki visi tentang masa depan mereka (dan akhirnya kita) dan melakoni hobi mahal serta kompetitif. Selain itu, mereka punya pemikiran berbeda tentang utopia. Padahal sejatinya, perbedaan paling mendasar antara orang supertajir dan kita adalah mereka punya sumber daya untuk merealisasikan utopia mereka, tanpa harus mendengarkan masukan dari kita semua.
Videos by VICE
Buku karangan, Michael Lewis yang terbit pada 1999, The New New Thing, merekam kisah hidup raksasa Silicon Valley Jim Clark. Clark mendirikan Silicon Graphics dan Netscape lalu jadi kaya raya karenanya. Sebagian kekayaannya dihabiskan untuk menciptakan kapal layar tercepat di dunia. Untuk beberapa waktu, Clark dan rivalnya Larry Ellison, pendiri Oracle, berlomba membuat kapal layar paling gesit di muka bumi. Clark menghiasi kapalnya dengan teknologi termaju di zamannya.
Siapapun yang pernah masuk dan berada di atas kapal layar itu membandingkannya dengan The Bridge di serial Star Trek. Ogah kalah, Ellison mengambil langkah serupa. Buku ini memberikan gambaran spektakuler kondisi Silicon Valley pada dekade ‘90an dengan perkembangan web serta masyarakat kala itu yang belum gandrung ponsel pintar—karena memang belum diciptakan saja sih—dan kekayaan yang dikeruk dari perkembangan teknologi waktu itu. Dalam buku itu, lautan jadi garis batas paling luar dari utopia sekaligus arena bermain miliarder teknologi di mana mereka berlomba memamerkan kemajuan teknologi yang mereka—serta beberapa hal lainnya, termasuk kekayaan mereka.
Kini, miliarder teknologi seperti Elon dan Jeff Bezos tak lagi bersaing di lautan. Mereka berlomba-lomba di luar angkasa. Mungkin, keduanya tak suka laut seperti pendahulunya. Atau mungkin kekayaan yang mereka tumpuk dan dampak dari apa yang mereka perbuat memenuhi impian yang berbeda. Keduanya kini berkompetisi dalam mendanai eksplorasi luar angkasa.
Kompetisi adalah salah satu aspek dari hobi para miliarder teknologi. Aspek lainnya adalah upaya untuk mewujudkan visi utopia yang mereka miliki—dan biasanya khusus dalam hal ini, mereka cenderung bahu membahu. Musk gemar sekali bicara tentang rencana membawa manusia ke Mars. dia mendapatkan sokongan dari Buzz Aldrin, astronot kedua yang pernah berjalan di Bulan. Aldrin melakukan tur dunia memakai kaos bertulis “Get your ass to Mars!.” Tambahan lagi, ShareSpace Foundation, organisasi yang didirikan oleh Buzz Aldrin, adalah memberi dukugan pada misi berawak menuju Mars.
Guna mencapai tujuan ini, Aldrin berusaha memupuk hasrat menjelejahi ruang angkasa pada generasi muda masa kini. Aldrin jelas bukan orang yang bisa kita sebut sebagai ‘Captain of Industri.” Akan tetapi, kita bisa menduga dialah yang meletakkan benih utupia yang kini diusung oleh Musk dan Bezos sekian dekade kemudian. Dengan Space X-nya, Musk bekerja keras menciptakan suku cadang roket “yang akan merevolusi teknologi pesawat luar angkasa dengan tujuan akhir memungkinkan manusia hidup di planet lain.” Jeff Bezos tak mau kalah. Bos Amazon itu juga tengah mengembangkan roket sekaligus “budaya di sekitar inovasi dan eksplorasi metodis” serta “visi tentang jutaan manusia hidup dan bekerja di luar angkasa.”
Apa yang menjadikan utopia begitu menggiurkan ada kaitannya dengan keinginan untuk lepas dari kondisi nyata yang tak baik-baik aamy. Eskapisme bisa bisa terjadi dalam dua cara. Cara pertama dengan memperbaiki keadaan yang sedang dialami. Misalnya, seseorang bisa membayangkan sebuah tempat tanpa penyakit di masa kanak-kanak, memiliki air bersih yang mengalir, punya sistem pendidikan yang baik dan layanan kesehatan yang memadai. Setelah itu, seseorang bisa bekerja untuk merealisasikan tujuan-tujuan utopis ini.
Beberapa miliarder seperti Bill Gates mengusung visi utopia macam ini. Hal itu tercermin dari keputusannya mendanai penelitian ilmu pengetahuan untuk membantu jutaan orang di muka Bumi. cara kedua untuk lepas dari sumpeknya dunia yang kita tinggali adalah dengan melepas diri dari kondisi tersebut. Bagi mereka yang rumahnya luluh lantak lantaran serangan bom dan mereka yang selamat dari perang tapi kehilangan bentuk masyarakat mereka dulu, konsep utopia mereka bisa saja sesederhana mandi air hangat di sebuah rumah yang aman dan terletak di sebuah kota dengan pemerintah yang berfungsi baik plus tak ada perang yang berkecamuk. Orang lain sudah barang tentu punya konsep utopia yang sama sekali berbeda.
Ada yang membayangakn jalan-jalan ke Las Vegas dan berjudi tanpa peduli berapa uang yang dihabiskan. Ada pula yang berangan-angan melancong ke Hawaii atau menghabiskan dua minggu di Burning Man. jika diteruskan, variasi utopia ini bisa mencapai ribuan bentuknya: bikin bunker bom sendiri, menciptakan kota cerdas di Toronto, memegang kendali anggota Kongress Amerika Serikat, punya terowongan yang bisa digunakan untuk melewati kemacetan. Apapun itu, yang pasti, utopia bagi kaum super tajir adalah kabur dari bumi dan menetap di planet lain.
Sampai di titik tertentu, tiap orang dari kita memiliki sebentuk utopia, berusaha terus memperbaiki diri dan komunitas kita dan bermimpi lepas dari semua kondisi yang kita melingkupi kita. Sayangnya, kondisi berubah setelah beberapa orang super kaya yang punya cukup modal mulai mewujudkan perubahan-perubahan yang termasuk dalam visi utopia mereka. Jelas, kita tak sedang merutuki usaha mereka memperbaiki kondisi kehidupan manusia misalnya. Hanya saja, kadangkala= visi-visi utopia yang mereka ingin wujudkan bentrok dengan visi-visi yang diusung kita yang tak bermodal dan kuasa untuk mewujudkannya.
Misalnya Elon Musk sudah mulai membangun purwarupa terowongan di Los Angeles. Bersama Boring Company, Musk ingin membangun terowongan sepanjang 27 km dari San Fernando Valley menuju Bandara Internasional Los Angeles. Terlalu banyak alasan yang mengatakan bahwa apa yang diperbuat Musk sesungguhnya murugikan, mulai dari yang menyebut proyek itu akan berdampak buruk pada lingkungan dan berpeluang merusak tanah-tanah milik warga.
Pun, ada yang berpendapat bahwa terowongan tersebut bukanlah solusi yang praktis dan bahwa Musk harus membangun jalur “light rail” yang bisa mengakomodasi lebih banyak orang. Sayangnya, Musk menolak mentah-mentah pendapat ini. Pacar baru Grime terang-terang bilang bahwa dirinya tak ingin sesuatu yang sifatnya “publik” karena dirinya memang ingin menghindari orang lain saat pergi atau pulang dari Bandara Internasional Los Angeles. Bajingannya lagi, dia ingin orang lain juga berpikir serupa.
Bulan ini, Musk menjelaskan rencananya untuk meningkatkan sistem transportasi di Los Angeles, “Kalau kalian bisa membangun ratusan terowongan dan kamu bisa membangun banyak stasiun kecil di seluruh bagian kota, kalian sebenarnya bisa menyelesaikan masalah transportasi tanpa sedikitpun mengubah wajah Los Angeles.”
Musk bicara panjang lebar tentang sekumpulan loop dan hyperloop (maksdunya, sistem subway yang dikelola swasta) di bawah jalan raya yang dikelola publik. Tak cuma itu, Musk juga sudah mulai membangunnya setelah sepertinya berhasil menyakinkan sejumlah poltikus dan menyakinkan pemerintah setempat untuk melakukan pilot test. Sayang, warga Los Angeles seperti dikesamping dalam rencana ini.
Apa yang dilakukan Musk tak lebih dari sebuah “inovasi disruptif”. Dia cuma mancari “ladang hijau” di bawah tahan, lepas dari sistem yang sudah lama berjalan. Untuk bisa mengakses, Musk sekurang-kurangnya agak mengganggu jalannya lalu lintas di setiap daerah yang dia gali. Yang menyebalkan, Musk memilih satu bagian dari Sepulveda Boulevard, salah satu jalan utama di Los Angeles, untuk melakukan eksperimennya—dan masyarakat setempat cuma dia saja, seakan-akan kehidupan mereka tak dibikin lebih ribet oleh eksperimen miliarder teknologi yang satu ini.
Orang-orang macam Bezos dan Musk memiliki peluang besar mewujudkan utopia mereka dibanding penduduk bumi lainnya.
Inilah yang semestinya memaksa ini untuk merenung sebab segelintir orang dengan kekayaan yang begitu menggunung dan pengaruh yang begitu kuat mulai berasumsi tentang apa yang diinginkan dan diharapan orang lain, asumsi-asumsi mereka kerap problematis dan jadi akar masalah baru. Parahnya lagi, orang-orang inilah memiliki peluang besar mewujudkan utopia mereka dibanding penduduk bumi lainnya dan sebagian dari kita cuma bisa jadi pihak yang dirugikan oleh saat mereka merealisasikan mimpi-mimpi mereka.
Jeff Bezos memimpikan Amazon sebagai “perusahan paling konsumen-sentris di Bumi”, di mana setiap konsumen bisa menemukan apa saja yang mungkin mereka ingin beli secara online dan di saat yang sama Amazon berusaha menawarkan harga terendah yang bisa mereka pkirkan.” untuk bisa melakukan ini, Amazon telah secara sistematis mengeliminasi persaingan dalam komunitas lokal dengan mematok harga paling rendah dan mengecer segala macam barang, dari yang paling murahan hingga yang paling berkelas. Strategi ini telah berimbas pada pengalaman tiap orang dalam komunitas dan mengubah cara orang memeroleh barang yang pada awalnya tak tersedia di tempat tinggalnya. Banyak retailer yang bangkrut.
Kalaupun ada yang selamat, mereka harus merombak cara berbisnis mereka agar selaras dengan Amazon. Imbasnya, mereka harus rela berbagi “untung” dan bekerja “untuk” Amazon serta perusahaan sejenis, padahal sebelumnya mereka punya otonomi yang luas dalam berjualan. Di sisi lain, konsumen kita lebih sering berinteraksi dengan algoritma Amazon daripada pelayan toko betulan saat membeli barang. Semua perubahan ini bersinggungan dengan visi utopia orang lain di luar Jeff Bezos, serupa seperti bagaimana visi utopia Musk bersebrangan dengan apa yang sebenarnya kita bayangkan tentang sistem transportasi yang lebih baik.
Salah satu cara paling gampang untuk keluar dari tegangan ini adalah dengan mengamini visi-visi utopia Bezos dan Musk. tak sedikit orang yang sudah mengambil opsi ini. Tak pelak, banyak dari kita seperti membebek saja pada visi masa depan yang dikemukan Musk dan Bezos demi sekadar merasa “turut serta” membangun masyarakat, walau sebenarnya mereka sama sekali tak ambil bagian saat mewujudkannya.
April lalu, Dewan Perwakilan Amerika Serikat mengesah sebuah beleid baru yang intinya mengatakan “angkasa luar tak boleh dianggap sebagai ruang dimiliki bersama.” ini berarti kendati masing-masing dari kita punya bayangan tentang bagaimana angkasa luar harus dikelola, kecuali kita ada di berada di Negeri Pamam Sam, kelewat tajir, kita tak boleh mengklaim angkasa luar sebagai bagian dari utopia personal kita. Pendeknya, angkasa luar cuma punya orang-orang super kaya semata.
Nah, yang menarik kemudian, bagaimana mana orang-orang super kaya ini akan mengkapling-kapling angkasa luar? Namun sejatinya pertanyaan yang paling mendesak adalah akankah visi mereka tentang luar angkasa bisa diwujudkan berdampingan?
S. A. Applin, Ph.D. adalah seorang antropolog yang mendalami soal human agency, algoritma, kecerdasaan buatan dan otomatisasi dalam konteks sistem sosial dan sosiabilitas. Beliau bisa diajak ngobrol seru di @anthropunk.