Milisi Fotokopi Mengawal Perubahan Bekas Lokasi Pelacuran Terbesar Asia Tenggara

Dua tahun lalu, kawasan Bangunrejo menjadi salah satu titik termacet Surabaya di malam hari. Mobil-mobil berjejeran tak karuan, menaikturunkan penumpang. Sosok yang keluar dari mobil bisa siapa saja, mulai dari mahasiswa sampai pejabat pemerintahan. Semua datang untuk memuaskan syahwat. Semua orang menggilai Gang Dolly. Sepanjang gang legendaris itu, irama dangdut koplo berdegup. Goyang-goyang erotik, ditambah lelaki lalu lalang, hinggap terbang. Berganti, begitu terus setiap hari, saban malam.

Itu cerita dua tahun lalu, sebelum Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menutup paksa aktivitas Gang Dolly. Para mami dan jaringan prostitusinya mau tidak mau musti gulung tikar, dibongkar sampai ke akar-akarnya. Tapi benarkah prostitusi berhenti? Benarkah cerita warga bahwa di kampung ini prostitusi tak hanya sekedar alat mencari sesuap nasi, tapi sesuatu yang menyatu dengan kehidupan masyarakat?

Videos by VICE

Milisi Fotokopi, komunitas yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan, menyambangi kembali Dolly setelah penutupan bersejarah dua tahun lalu. Mereka kolektif yang percaya bahwa prostitusi tidak bisa begitu saja dibasmi. Jika tidak ada yang mendampingi, pedagang kaki lima, sopir taksi, hingga warga di sana akan mudah tergoda kembali melakoni bisnis pelacuran. Kelompok swadaya ini akhirnya memilih seni dan menggelar pasar malam tradisional sebagai solusinya, agar warga menjadi berdaya. Acara itu mereka juluki ‘Festival Bangunrejo’.

Kami menemui Milisi Fotokopi mencari tahu apa saja gerakan apa saja yang sedang diinisiasi oleh warga eks-Dolly. Semuanya adalah strategi demi menghidupkan kembali bekas lokalisasi kesohor itu menjadi ikon kota Surabaya, tanpa embel-embel miring yang selama ini menyertainya.

VICE Indonesia: Bisa dijelaskan, sebenarnya tujuan Festival Bangunrejo ini apa sebenarnya?
Festival Bangunrejo itu satu konsepsi acara bersama dari Bahasa Jawa ‘membangun karaharjan’. Artinya membangun kemuliaan, membangun kesejahteraan.

Tujuan utamanya membangun solidaritas ya. Lantas kenapa seni dan pasar malam dipilih untuk menyatukan warga kampung ini?
Kampung Bangunrejo sering dipandang agak miring. Bangunrejo ini secara ekonomi, secara pendidikan, secara sosial, dia agak terbelakang. Di sini adalah tempat prostitusi tertua di Surabaya yang baru saja ditutup. Padahal antara prostitusi dan dengan masyarakat umum sudah campur. Ini yang berbahaya, dampak sosialnya berbahaya. Makanya penting, diadakan suatu gerakan kesenian yang bukan mengatasnamakan agama, tapi gerakan yang menyamakan semua orang duduk sama rata. Gerakannya adalah kesenian dan budaya. Itu saja.

Berarti kalian yakin seni dapat menyatukan semua orang di kampung ini?
Beragam latar budaya, latar belakang, beragam pendidikan… menjadi stakeholder yang menyusun sebuah kekuatan untuk menciptakan acara ini. Ini kan hanya uji coba. Selanjutnya pasti ada [pendekatan] lain.

Apakah pentas seni dan pasar malam ini dirancang menjadi agenda tahunan?
Betul, ini rintisan yang harapannya bisa jadi satu program besar tahun depan. Jadi masyarakat harus jadi terlibat. Acara ini tidak didanai oleh pemerintah atau individu tertentu, tapi swadaya masyarakat. Artinya, rakyat bisa kok membangun, bisa maju atas itikad bersama dengan dasar gotong royong dan rasa solidaritas yang memang mereka punya. 

Balik ke sisi seninya, di Festival Bangunrejo apa saja yang dilakukan?
Kita membuat “Parade Dasamuka”. Kalau di Jawa, Dasamuka tokoh pewayangan yang jahat. Tapi kita tafsirkan “Dasamuka” itu adalah perilaku atau sifat angkara manusia. Yang menjadikan bangsa ini — bangsa Indonesia atau Surabaya ini—tidak bisa besar karena kita sudah dikuasai oleh sepuluh angkara. Jadi kita membuat acara ini berharap bahwa setelah angkaranya nanti luruh, kita ruwat, kita sempurnakan, akan lahir satu generasi muda yang peduli. Kita menggelar acaranya 28 Oktober, sebagai satu gerakan pemuda dari penjajahan untuk bangkit. Karena 28 Oktober adalah tanggal Sumpah Pemuda, dasar bangsa ini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sebuah Kampung Bangunrejo, kita punya cita-cita besar. Membangun bangsa ini menjadi besar.

Kami dengar ada juga program-program untuk mengajarkan tarian, melukis, dan teater pada warga ya?  
Masyarakat Bangunrejo ini pendidikannya minim. Sehingga mereka perlu diajarkan satu metode melakukan pemberdayaan kepada dirinya sendiri — metode paling gampang adalah menggambar. Karena menggambar itu mampu mengungkapkan apa yang dicandrakan. Kemudian, tanggung jawab selanjutnya adalah teater. Di teater juga ngomongin tentang ekspresi. Warga bisa mewakili persoalannya lewat teater, lewat ekspresi. Kemudian tari. Tari itu adalah bahasa universal tanpa menggunakan bahasa. Artinya dia gerak. Nah konsepnya dari tari, teater, dan gambar adalah bergerak. Jadi harus bergerak! Definisi besarnya adalah semuanya bergerak—itikad, pemikiran, aktivitas, semuanya itu harus dilakukan.

Apakah acara semacam ini nantinya diniatkan menarik pengunjung dari luar kampung atau menjadi agenda wisata kota Surabaya?
Targetnya kita itu sebenarnya kalau kita ingin membangun kampung ini, membangun Bangunrejo, ya konsepnya kita harus membuat satu kegiatan. Ini kan rintisan. Ya kita-kita itu mengharapkan nantinya [festival] menjadi satu perhatian pemerintah atau satu perhatian umum untuk datang ke kampung ini. Nantinya warga akan bisa mengorganisir dirinya sendiri menggunakan media seni yang sudah diajarkan. Salah satunya, kita sudah bekerjasama dengan Konsulat Jenderal Kedutaan Jepang untuk acara tari.

Kira-kira ke depan, akan seberapa sering membuat acara seperti ini?
Ini adalah tes psikis kepada semua orang untuk membangun kepercayaan. Bahwa mereka bisa tampil, mereka bisa eksis. Harapan saya adalah ini adalah suntikan awal supaya mereka bisa tergerak melakukannya swadaya. Makanya ke depan, sebaiknya festival ini menjadi satu agenda tahunan tapi warga sendiri yang berbuat. Sementara ini kan ada temen Milisi Fotokopi, ada Teater Kusuma, ada temen-temen dari Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Surabaya. Di masa mendatang warga Bangunrejo sendiri yang akan menggelarnya.

Oh, jadi konsepnya sistem ‘bottom up’ dari dan untuk warga akar rumput. Mungkin tantangan utamanya di masyarakat, bukan cuma Surabaya, terlalu banyak yang menunggu dan menonton sebelum ada orang luar yang mengusung ide-ide perubahan.
Semoga nanti bisa dilihat [hasilnya]. Itu alasan kita dalam acara ini mengangkat “remo” — remo itu adalah identitas Surabaya. Artinya, kita semua harus punya identitas. Siapa diri kita untuk berani melakukan perubahan. Dengan tari remo, semoga warga [eks-Dolly] akan menepuk dadanya, seperti leluhurnya mereka, karena remo itu punya leluhur. Nama tokoh penting kebudayaan kita salah satunya adalah Cak Durasim. Dia melakukan perlawanan terhadap Jepang dan Belanda dengan remo. Remo ini seni perang, seni untuk mempertahankan dirinya. Makannya kita membuat ikon Bangunrejo-Kampunge Arek Suroboyo. Kita meluruhkan semua angkara, bahwa mereka, warga ini, adalah orang-orang baik. Kita mengangkat tema utamanya agar warga yakin, “Kita iki manungso, rek!”. Kita itu manusia, terlepas dari etnis dan agamanya.