Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.
Sersan Detektif Steve Fulcher terkejut mendengar sopir taksi bernama Christopher Halliwell—tersangka pelaku di balik menghilangnya perempuan bernama Sian O’Callaghan lima hari sebelumnya—menolak memberikan informasi apapun setelah ditangkap polisi. Fulcher lantas membuat keputusan yang tergolong kontroversial: tidak membawa Halliwell ke markas. Tindakan Fulcher ini nantinya dicatat oleh Divisi Pengaduan dan Profesi Kepolisian Inggris (IPCC) sebagai pelanggaran disiplin berat.
Ketika petugas polisi tengah membawa Halliwell dari lokasi penangkapan menuju kantor polisi di Swindon, Fulcher menelepon rekan kerjanya, meminta mereka mengantar tersangka ke Barbury Castle, sebuah benteng kuno. Fulcher menemui Halliwell di sana, Kamis 24 Maret 2011 pukul 12:11 siang. Dia menggiring Halliwell sekitar 45 meter menjauhi petugas polisi dan mobil patroli. Sembari ngobrol berdua, percakapan mereka direkam oleh warga sipil yang diperbantukan hari itu.
Videos by VICE
Fulcher: “Kamu betul tidak mau bilang di mana posisi Sian sekarang?”
Halliwell: “Saya tak tau apa-apa.”
Fulcher: “Kamu mau menunjukkan lokasi Sian atau tidak? Jadi gini, kalau kamu jujur memberi tahu Sian ada di mana, kamu sudah melakukan hal yang benar.”
Halliwell: “Saya ingin ke kantor polisi.”
Fulcher: “Jadi sudah siap ngasih tahu Sian di mana belum?”
Halliwell: “Anda menuduh saya pelakunya.”
Fulcher: “Saya memang tahu kamu pelakunya.”
Halliwell: “Saya boleh ke kantor polisi tidak?”
Fulcher: “Boleh ke kantor polisi. Cuman sampe sana kamu cuma bakal diintimidasi dan dicecar pertanyaan. Daripada begitu, lebih baik kamu segera kasih tahu saya di mana posisi Sian sekarang. Itu keputusan yang lebih tepat.”
Halliwell: “Saya cuma mau bicara didampingi pengacara.”
Fulcher: “Kamu sekarang kuberi kesempatan memberi tahu Sian di mana. Dalam waktu satu jam, namamu akan memenuhi semua media massa.”
Halliwell: “Saya ingin berbicara didampingi pengacara.”
Fulcher: “Oke. Kamu bakal diberi kesempatan ngobrol dengan pengacara. Tapi sekarang aku memberimu kesempatan terakhir memberi tahu Sian di mana. Begitu kasus ini usai, kamu sudah pasti akan diperlakukan seperti penjahat. Jadi cepat beritahu lokasi gadis itu.”
Setelah beberapa menit hening, akhirnya Halliwell mengatakan: “Anda punya mobil? Baiklah, mari saya antar.”
Jumat sepekan sebelum percakapan ini terjadi, Sian O’Callaghan, 22 tahun, keluar bersama teman-temannya dan nongkrong di Suju, sebuah klub kawasan Swindon High Street. Dia meninggalkan klub pukul 2:52, Sabtu dini hari. Dia sebenarnya tidak perlu berjalan jauh, karena apartemen yang dia sewa bersama sang pacar, Kevin Reape, jaraknya hanya 800 meter dari klub. Sekitar 10 menit berjalan kaki.
Jam menunjukkan pukul 3:24 dini hari. Sian tak kunjung tiba di apartemen. Sang pacar mengirim pesan ke ponsel O’Callaghan. Tidak ada balasan. Pukul 9:45 pagi, dia melapor ke polisi bahwa pacarnya menghilang.
“Dia sering bertanya padaku tentang pembunuhan. Dia bilang, ‘kita harus membunuh berapa orang sih, untuk bisa dicap sebagai pembunuh berantai?’”
Sehari sesudah O’Callaghan menghilang, Kepolisian Wiltshire mencari informasi seputar keberadaan perempuan itu. Penyidik menemukan data jika ponsel perempuan itu menerima pesan jam 3:24 pagi di Kawasan Hutan Savernake— 19 kilometer di luar Kota Swindon. Untuk menempuh perjalanan sejauh itu dalam waktu 30 menit, O’Callaghan pasti bepergian menggunakan mobil. Di titik inilah Detektif Stevel Fulcher (yang menolak diwawancara untuk artikel ini karena sedang sibuk menulis buku otobiografinya) ditugaskan mengepalai penyelidikan kasus tersebut. Dia masih berharap O’Callaghan ditemukan dalam keadaan hidup-hidup.
Selasa, tiga hari setelah O’Callaghan menghilang, 400-an warga bersama polisi menyisir Hutan Savernake, tapi hasilnya nihil. Sehari berikutnya, polisi mengumumkan bahwa analisa lebih jauh terhadap sinyal ponsel O’Callaghan mengungkap beberapa titik koordinat yang patut diinvestigasi. Fulcher dalam jumpa pers menyatakan penyelidikan kasus hilangnya O’Callaghan mengalami “kemajuan pesat”, serta “banyak informasi signifikan” sedang diteliti. Salah satu orang yang diwawancarai polisi hari itu adalah sopir taksi berusia 47 tahun: Christopher Halliwell.
Sejak awal penyidik sudah menduga Halliwell akan menjadi tersangka utama. Namun Fulcher sengaja membiarkan Halliwell “lolos” lebih dulu. Sopir taksi tersebut tak sadar diawasi tim dari kepolisian yang berharap dia akan datang ke lokasi penyekapan O’Callaghan. Selama diawasi, ternyata Halliwell malah pergi ke apotek dan membeli paracetamol dalam jumlah besar. Saat itulah, polisi menduga Halliwell akan melakukan aksi bunuh diri. Pukul 11:05 pagi di hari Kamis, petugas polisi memutuskan mencokok Halliwell di lapangan parkir kawasan Asda. Ketika dia menolak untuk buka mulut saat diinterogasi, Fulcher mengambil keputusan berani, membawa si tersangka ke Barbury Castle di luar prosedur standar.
Setelah percakapan pribadi empat mata dengan Fulcher, Halliwell mengarahkan Fulcher ke sebuah lokasi sejauh 32 kilometer ke arah utara, dekat Uffington White Horse, sebuah bukit bersejarah yang bentuknya menyerupai kuda kalau dilihat dari jauh. Fulcher tidak ingat posisi persisnya, tapi siang itu jenazah O’Callaghan ditemukan di atas bukit.
Ketika Fulcher mengatakan ke Halliwell bahwa dia bakal dituntut pasal pembunuhan berencana, Halliwell dengan tenang mengajak sang detektif bicara empat mata. “Saya perlu ngobrol sama kamu.”
Untuk kedua kalinya, Fulcher dan Halliwell ngobrol empat mata, jauh dari petugas polisi lainnya. Setelah diberi sebatang rokok, Halliwell berkata dengan nada datar. “Kamu mau info mayat lainnya engga?”
Keduanya segera kembali ke dalam mobil. Halliwell mengantar Fulcher dan beberapa petugas polisi ke lokasi lain, sekitar 45 menit perjalanan dari TKP penemuan mayat O’Callaghan. Selama perjalanan itulah, Halliwell yang tadinya cenderung diam menjadi emosional. “Saya engga waras. Orang waras tidak mungkin membunuhi manusia lain,” ujarnya.
Akhirnya mereka tiba di Desa Eastleach di Gloucestershire. Setelah memanjat melewati tembok batu dan menghitung langkahnya menuju titik tengah lapangan, Halliwell menunjuk ke sebuah titik di mana dia pernah mengubur mayat pelacur perempuan asal Swindon bertahun-tahun lalu. Beberapa hari kemudian, polisi menemukan sisa jenazah Becky Godden-Edwards yang terakhir terlihat Desember 2002.
Halliwell kemudian dibawa kembali ke kantor polisi. Dia “diproses” dan dibiarkan berbicara dengan seorang pengacara. Ketika Fulcher akhirnya memiliki kesempatan untuk ngobrol lagi dengan Halliwell dalam kondisi interogasi formal, Halliwell selalu menjawab seragam semua pertanyaan petugas: “Tidak ada komentar.”
Ini bukan pertama kalinya Halliwell berurusan dengan polisi. Lahir di 1964, dia pernah merampok rumah ketika masih remaja dan menjalani hukuman penjara sepanjang dekade 80-an. Ernest Springer, mantan narapidana yang mengenal Halliwell ketika sama-sama dipenjara di Lapas HMP Dartmoor kala itu, mengatakan Halliwell pernah mengaku dia tertarik menjadi seorang pembunuh berantai.
Ketika diinterogasi oleh polisi mengenai kasus O’Callaghan, Springer mengatakan tidak terlalu terkejut jika Halliwell bisa senekat itu. “Dia dulu sering nanya-nanya soal membunuh. Dia mengatakan, ‘Perlu bunuh berapa orang sih sebelum kita bisa disebut pembunuh berantai?’ Dia sangat tertarik melakukan hal semacam itu. Dia ingin orang mengidolakan atau sekalian takut padanya. Saya engga tahu kenapa, tapi itu mimpinya dari dulu. Dia dulu sering membaca majalah True Detective, berisi cerita orang-orang yang dibunuh.”
Setelah keluar dari penjara, Halliwell menjalani kehidupan normal. Dia tinggal dengan istrinya dan tiga orang anak perempuan di kawasan Swindon. Rekan sesama supir taksi, Neil Barnett, saat diwawancarai The Sun menyatakan Halliwell “pria yang kesannya sangat baik—sangat tulus dan normal. Saya punya dua orang anak perempuan yang akan saya percayakan berada di satu ruangan dengan Halliwell.”
Pada 31 Mei 2012, Halliwell muncul di pengadilan dalam sidang pembelaan. Biarpun telah mengaku ke Fulcher dan menuntun polisi ke mayat korban, Halliwell mengaku tidak bersalah atas tuduhan pembunuhan Sian O’Callaghan.
Beberapa bulan sebelumnya, keputusan Fulcher tidak langsung membawa Halliwell ke markas berbuah sanksi disiplin. Hakim Pengadilan Tinggi Justice Cox mengatakan pengakuan Halliwell tidak sah digunakan dalam pengadilan, karena Fulcher tidak membiarkan Halliwell meminta saran terlebih dahulu dari pengacara atau membacakan hak-hak yuridisnya. Hakim Cox menganggap tindakan Fulcher ini sebagai pelanggaran terhadap UU Kepolisian Inggris 1984, serta melanggara kode etik polisi.
Untungnya, berkat bukti DNA yang menghubungkan Halliwell dengan O’Callaghan, polisi tetap bisa membawa kasus ini ke pengadilan. Pada 19 Oktober 2012, Halliwell hadir di Bristol Crown Court. Dari awalnya kukuh membela diri, dia kemudian mengakui sudah membunuh perempuan itu. Halliwell dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, dengan kesempatan bebas bersyarat minimal setelah menjalani 25 tahun bui.
Sayangnya, berdasarkan keputusan Hakim Cox, kasus kedua—seputar pembunuhan Becky Godden-Edwards—tak membuahkan keputusan yang diinginkan. Polisi butuh empat tahun menyusun ulang berkas kasus ini. Halliwell kembali secara formal dituduh melakukan pembunuhan pada 30 Maret 2016. Dia mengaku tidak bersalah pada tanggal 9 Juni namun para juri menyatakan dia bersalah dalam sidang tiga bulan kemudian. Halliwell menerima “hukuman seumur hidup penuh” yang artinya dia pasti meninggal dalam penjara. Ini adalah bentuk hukuman yang langka dan baru digunakan 100 kali di Inggris sejak aturan itu disahkan oleh parlemen pada 1983. Semua orang yang dihukum dengan pasal itu rata-rata pembunuh berantai legendaris.
Tindakan Steve Fulcher saat menginterogasi Christopher Halliwell kemudian dijuluki “pelanggaran dengan maksud baik”. Fulcher berargumen, biarpun dia tahu secara aturan seharusnya dia mengingatkan tersangka atas haknya untuk diam dan memberinya akses ke pengacara, Fulcher yakin Sian O’Collaghan mungkin masih hidup dan bisa diselamatkan. Setelah Halliwell dijatuhi hukuman kedua di 2016, Fulcher mengatakan: “Menurut hukum, saya diminta memprioritaskan hak Halliwell untuk diam di atas hak O’Callaghan untuk hidup. Saya tetap percaya bahwa tindakan yang saya ambil demi mendorong Halliwell mengantarkan saya ke mayat Sian dan Becky adalah tindakan benar dan bermoral.”
Police and Criminal Evidence Act adalah aturan yang didesain untuk melindungi tersangka yang tengah diperiksa polisi, terutama mereka-mereka yang agak lugu atau mudah dimanipulasi. Fulcher tidak pernah membacakan Halliwell hak-haknya, biarpun ketika sudah jelas bahwa dia berurusan dengan kasus pembunuhan dan bukan penculikan. Keputusan ini hampir menggagalkan dua tuntutan terhadap Halliwell di pengadilan. Dia dianggap melakukan pelanggaran dan mendapat peringatan tertulis. Dia akhirnya mengundurkan diri dari dinas kepolisian, lalu bekerja sebagai konsultan kebijakan keamanan di Somalia.
Fulcher percaya, seperti kebanyakan detektif lainnya, sangat mungkin ada korban-korban Halliwell lainnya yang belum ditemukan. Detektif Sean Memory, yang menangani kasus pembunuhan Godden-Edwards mengatakan ke BBC Radio 4 pada September lalu: “Saya khawatir ada banyak korban lain. Kita tahu Becky dibunuh 2003 lalu dan Sian dibunuh di 2011. Saya tidak mengerti kenapa ada jarak sekitar 8 tahun dan bagaimana terkadang dia menjadi supir taksi yang baik di mata orang lain, lalu tiba-tiba berubah menjadi sosok pembunuh kejam.”
Investigasi seputar masa lalu Halliwell dan kemungkinan adanya korban lain masih berlanjut. Namun di awal bulan ini, tim forensik memeriksa rumah Halliwell di Swindon selama sepuluh hari, termasuk menggali halaman rumah, namun tidak menemukan apapun. Sangat mungkin, masih ada korban lain di luar sana ketika Halliwell menyusuri jalanan sebagai sopir taksi.