Di Indonesia, Mulai Dikembangkan Mitigasi Bencana Berbasis Agama

Mitigasi Bencana Berbasis Agama sedang Dikembangkan BPBD Banda Aceh

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Banda Aceh mengumumkan pada Senin kemarin (3/2), mereka akan menggandeng ulama untuk mempraktikkan mitigasi bencana berbasis agama. Tujuan mitigasi model ini agar masyarakat setempat semakin tangguh, tabah, dan sadar terhadap bencana.

“Para ulama akan membantu BPBD untuk menyosialisasikan bahwa bencana bukan hanya karena faktor alam, tetapi ujian dari Allah SWT. Kami juga sudah bertemu dengan Majelis Permusyawaratan Ulama dan mereka sangat merespons dan siap mendukung pengembangan mitigasi bencana berbasis spiritual ini,” kata Kepala Pelaksana BPBD Kota Banda Aceh Fadhil kepada Antaranews.

Videos by VICE

Fadhil menjelaskan, pendekatan berbasis keagamaan sudah terbukti mengurangi dampak bencana setelah Aceh diterjang tsunami 2004 silam.

Kebijakan ini bisa dipahami lebih mendalam ketika mendengar pendapat Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Kepercayaan besar masyarakat kepada ulama dan tokoh agama jadi gerbang paling efektif untuk menyosialisasikan langkah-langkah mitigasi bencana.

Nova menceritakan, pasca tsunami, ulama di Aceh memberi andil besar menyemangati warga korban untuk bangkit dari musibah.

“Pemerintah Aceh sangat senang sekali apabila ulama dan perguruan tinggi ikut berpikir dan berwacana agar menghasilkan gagasan untuk mengurangi dampak risiko bencana. Bencana alam harus dihadapi secara bersama, koordinasi menjadi hal sangat penting dalam menghadapi bencana,” ujar Nova

Keterlibatan pemuka agama dalam program mitigasi bencana pernah juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Palu. Pasca gempa bumi dan tsunami Palu 2018 lalu, MUI Palu mendorong pendekatan agama untuk pembentukan mental spiritual masyarakat.

“Pendekatan dari aspek agama penting untuk didorong, tidak hanya dalam upaya pemulihan, tetapi dalam kerangka mitigasi bencana ke depan. MUI siap terlibat memberikan pemahaman dan pembentukan mental spiritual masyarakat,” kata Ketua MUI Palu Zainal Abidin kepada Republika.

Sebelum nyinyir kenapa ini mitigasi sifatnya pascabencana semua, sebenarnya enggak kok. Zainal menjelaskan bahwa dalam Islam, tegas disebutkan bahwa pemanfaatan ruang-ruang kehidupan harus arif dan bijaksana, tidak boleh asal-asalan atau semau-mau manusia. Jadi sekalian kampanye untuk menjaga alam gitu.

Sebelum mitigasi pakai prinsip agama, udah lebih populer duluan mitigasi berbasis kearifan lokal. Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah, Saiful Taslim, mengatakan bahwa bencana di wilayahnya membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan adat tentang pemanfaatan ruang.

“Dalam mitigasi bencana itu kita lihat misalnya kearifan masyarakat setempat terkait dalam tata ruang wilayah ya. Dalam tata ruang itu mereka sudah mengalokasikan mana wilayah yang berdampak agak berisiko untuk pembangunan rumah atau untuk perkebunan. Inikan upaya untuk memitigasi jangan sampai misalnya perencanaan-perencanaan itu berada di wilayah yang gampang sekali terjadi longsoran,” tutur Saiful dikutip VOA Indonesia.

Arkeolog Iksam meyakini pentingnya belajar sejarah dari kearifan lokal karena masyarakat zaman lampau udah lebih dulu mengidentifikasi bencana alam yang terjadi dan melabeli wilayah-wilayah mana saja yang tidak boleh ditinggali karewa rawan bencana.

“Sekaitan dalam fakta-fakta sejarah bahwa wilayah-wilayah yang pada masa lalu dianggap tidak aman itu mereka tinggalkan. Mereka pindah ke wilayah yang aman. Justru tempat yang mereka tinggalkan inilah yang kemudian dibangun di era tahun ‘80-an di lembah Palu ini sehingga banyak korban likuifaksi, gempa bumi, maupun tsunami,” jelas Iksam.

Ya bagus deh kalau kesadaran bencana adalah ujian diterjemahkan jadi perilaku yang tidak mengundang ujian itu datang. Udah cukup kenyang deh kita menyaksikan bencana dijadikan momen nyalah-nyalahin kepercayaan lain atau perilaku tertentu.