Pemerintah Akui Praktik Pemakaian Buzzer, Beri Sinyal Bisnis Itu ‘Perlu Ditertibkan’

Pemerintah KSP Moeldoko Akui Praktik Pemakaian Buzzer, Beri Sinyal Bisnis Kakak Pembina Itu 'Perlu Ditertibkan'

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan sudah saatnya menertibkan para buzzer yang belakangan bikin rusuh dan justru memicu blunder merugikan pemerintah di media sosial. Dia juga menepis dugaan ada kelompok buzzer yang digerakkan oleh Kantor Staf Kepresidenan. Menurut Moeldoko, aktivitas buzzer selepas Pilpres 2019 adalah inisiatif individual pendukung fanatik Presiden Joko Widodo, maupun tim suksesnya.

“Menurut saya sih buzzer-buzzer itu harus ditinggalkan, Pemilu juga sudah selesai. Jadi [sebaiknya pakai] bahasa-bahasa persaudaraan,” ucap Moeldoko saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (3/10), dilansir CNN Indonesia. “Jadi memang buzzer-buzzer yang ada itu tidak dalam satu komando, tidak dalam satu kendali. Jadi, masing-masing punya inisiatif. Akhirnya masing-masing bereaksi [ketika idolanya diserang]. Ini memang persoalan kita semua.”

Kendati demikian, mantan Panglima TNI itu membantah bila ada jaringan buzzer yang dipimpin ‘kakak pembina’ dari unsur pemerintahan, seperti rumor yang beredar di medsos. Bahkan, santer kasak-kusuk bila para influencer medsos untuk memoles citra pemerintah itu dikoordinir langsung oleh KSP.

Videos by VICE

Moeldoko mengatakan, alih-alih mengomandoi buzzer pro pemerintah, justru Kantor Staf Presiden berulang kali mengimbau agar tak ada lagi kerja-kerja buzzer. “Sama sekali tidak, justru kita KSP itu mengimbau ‘sudah kita jangan lagi seperti itu’. Beberapa kali saya sudah ngomong kan,” kata Moeldoko.

Ia juga menepis kabar bahwa dirinya adalah sosok “kakak pembina” para buzzer. “Yang mana lagi? Saya belum pernah baca [istilah] itu,” kata Moeldoko sambil tertawa, dikutip dari Vivanews.

Istilah “kakak Pembina” dan “buzzer istana” mengemuka di media sosial setelah akun Facebook Seword.com, media online yang dikenal pro Jokowi sejak 2014, mengunggah status pada tanggal 1 dan tanggal 2 Mei 2019. Dua status tersebut menyebut keberadaan tim media sosial yang menyokong kampanye pemenangan Jokowi di pilpres. Tim tersebut menerima arahan dari “Kakak Pembina”, yang dirujuk dengan julukan lain “Nick Fury”, dan kompisisi penuhnya hanya diketahui oleh si Kakak Pembina bersama Presiden Jokowi.

Momen Moeldoko dalam melansir pernyataan soal bisnis buzzer berdekatan dengan dua blunder besar tercatat dilakukan oleh “buzzer istana”. Pertama, soal mobil ambulans penyuplai batu dan bensin untuk demonstrasi mahasiswa yang tidak terbukti kebenarannya. Kedua, penyebaran tangkapan layar grup WhatsApp diklaim siswa SMK hendak demo, yang menurut penyelidikan netizen dan wartawan, justru memuat nomor-nomor aparat kepolisian.

Buzzer sebetulnya bukan praktik politik baru. Istilahnya sendiri sudah muncul sejak satu dekade lalu. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pernah melakukan penelitian terkait sejarah buzzer di Indonesia.

Menurut data yang mereka himpun, buzzer mulai lahir bersamaan dengan kelahiran Twitter pada 2009 yang digunakan untuk strategi pemasaran untuk promosi produk. Diversifikasi fungsi buzzer ke ranah politik pertama kali terjadi pada 2012 saat Jokowi-Ahok menggunakan pasukan media sosial untuk mendorong isu-isu yang mereka bawa pada kontestasi Pilkada Jakarta.

“Buzzer sendiri sebenarnya tidak selalu negatif. Karena ada juga jasa buzzer untuk mengangkat konten atau tokoh secara positif. Dengan semakin terkoneksinya manusia satu sama lain, keperluan akan buzzer memang tinggi. Selain di dunia politik, buzzer juga sangat dibutuhkan di dunia bisnis,” ujar pengamat media sosial Pratama Persada. Ia sendiri yakin kehadiran buzzer akan semakin penting dalam pembentukan opini publik di masa depan.

Dengan pengaruhnya yang semakin besar, kekuatan buzzer dalam menyampaikan isu berpotensi dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dampak buruknya sudah bisa kita lihat pada kasus mobil ambulans dan grup WA anak STM tempi hari. Ismail Fahmi, pendiri Media Kernel Indonesia, mengatakan dalam persebaran isu-isu besar tingkat nasional, Twitter sudah jadi medan perang yang melibatkan buzzer-buzzer ini.

Dalam penelitian akademisi Universitas Oxford berjudul The Global Disinformation Order 2019: Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard menyelidiki bagaimana manipulasi informasi diorganisir pemerintah dan partai politik di 70 negara untuk membentuk opini publik dalam rentang 2017-2018, termasuk Indonesia.

Di setiap negara, setidaknya ada satu institusi, kebanyakan partai politik atau agen pemerintah, yang menggunakan media sosial untuk memanipulasi informasi. Untuk kasus Indonesia, Bradshaw dan Howard menemukan data bila pemerintah, partai politik, hingga perusahaan swasta semua beramai-ramai menyewa buzzer. Kontrak yang diberikan rata-rata tidak permanen, dengan nilai Rp1 juta hingga Rp50 juta untuk tiap proyek atau isu tertentu. Angka itu sesuai dengan temuan yang didapat VICE saat mewawancarai buzzer politik tahun lalu.

Facebook, Instagram, WhatsApp, dan Twitter jadi platform yang paling sering digunakan Indonesia sebagai “medan perang” jika ada isu besar. Hanya saja, medan perang baru terbuka kalau memang ada kejadian tertentu saja yang sedang diperbincangkan.

Maraknya praktik ini membuat Indonesia termasuk dalam low cyber troop capacity, kategori negara yang dicirikan oleh eksistensi tim-tim kecil yang hanya aktif saat pemilu atau kegiatan sejenis. Tim propaganda ini kemudian akan berhenti beraktivitas sampai pemilu/peristiwa besar selanjutnya.