Sejak awal Juli lalu beredar kabar ratusan pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyatakan dukungannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka menyatakan ikrar setia pada pemerintah, lantas menyerahkan simbolis senjata api laras panjang berjenis AK-47 dan bendera Bintang Kejora yang melambangkan gerakan separatisme di Bumi Cenderawasih.
Perwakilan Tentara Pembebasan Nasional (TPN OPM), Yusko Kogoya, dikabarkan membaca ikrar sumpah setia di hadapan Bupati Puncak Jaya, Henock Ibo, Danrem 173/PVB Brigjen TNI I Nyoman Cantiasa, Dandim 1714/Puncak Jaya Letkol Inf Lukman Arif, dan Kapolres Puncak Jaya AKBP Hotman Hutabarat. Ikrar dibacakan di Distrik Tinginambut, Kabupaten Puncak Jaya. Kegiatan ini, berdasarkan keterangan tertulis aparat, diikuti belasan anggota aktif OPM dan lebih dari 200 simpatisan kelompok separatis tersebut dari unsur masyarakat sipil.
Videos by VICE
Media berbahasa Inggris The Jakarta Globe, mengkonfirmasi kabar dari Kodam XVII/Cenderawasih tersebut kepada Mayjen Andrie Sutarno, Deputi Koordinasi Bidang Politik Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM. Andrie mengatakan kabar itu benar dan mengapresiasi keputusan OPM mengakhiri perlawanan terhadap pemerintah. “Anggota OPM dan simpatisannya datang dengan kesadaran penuh dan menyatakan loyalitasnya kepada Indonesia,” ujarnya.
Peristiwa menyerahnya OPM dapat dikategorikan perkembangan penting perjalanan Indonesia sebagai bangsa. Kelompok ini mulai mengobarkan perlawanan kepada pemerintah pusat di Jakarta sejak 28 Juli 1965. Insiden yang menandainya adalah serangan warga Suku Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 Brawijaya, menewaskan tiga personel militer. Sejak itulah, kekerasan, penangkapan, pelanggaran hak asasi, dan sensor melingkupi Bumi Papua sampai sekarang. Imbauan Presiden Joko Widodo agar media massa dalam maupun luar negeri diizinkan melipuat kondisi Papua secara bebas tak kunjung terwujud, salah satunya karena adanya tekanan dari DPR. Pemerintah pun mengakui selama sekian dekade terjadi kesalahan pendekatan yang membuat kondisi ekonomi-politik Papua tak membaik.
Respons dari warga Papua tidak terlalu antusias atas kabar menyerahnya belasan anggota OPM di Kabupaten Puncak Jaya, baik di medsos maupun pemberitaan media massa. VICE Indonesia menghubungi dua tokoh Papua untuk memperoleh informasi pembanding. Yang pertama kami kontak adalah Ketua Umum Badan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman. Ia menyatakan klaim TNI dan pemerintah di Puncak Jaya sebagai kabar yang keliru. Tidak ada pejuang OPM di Puncak Jaya, berdasarkan informasi yang dia kumpulkan dari rekan-rekan di lokasi.
Selain itu, Yoman yang dekat dengan anggota OPM, menyatakan pendukung Papua Merdeka tidak lagi berjuang di hutan-hutan dan gunung-gunung, melainkan lewat forum internasional.
“Itu masyarakat biasa. Beberapa tahun yang lalu kan sama. Masyarakat dikumpulkan lalu mereka bilang itu OPM,” kata Yoman kepada VICE Indonesia. Sebagian elemen OPM saat ini terhimpun dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Strategi diplomasi itu, menurut Yoman, dituangkan dalam lobi-lobi pengakuan kedaulatan warga Papua dalam Melanesian Spearhead Group (MSG), The Pasific Islands Forum (PIF), dan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB).
“OPM sekarang berjuang itu bukan di hutan-hutan, bukan di kampung-kampung, bukan di pinggirian.”
Yoman menjelaskan OPM terbagi menjadi beberapa faksi. Adapun yang terjadi di Puncak Jaya beberapa waktu lalu, hanyalah masyarakat biasa yang dikumpulkan dan dituding sebagai OPM oleh aparat. Menurutnya, masyarakat Papua sama sekali tidak terpengaruh oleh klaim pemerintah tersebut, karena klaim sepihak macam ini bukan yang pertama kalinya.
Senada dengan Yoman, Filep Karma—pejuang kemerdekaan Papua sekaligus mantan tahanan politik—mengatakan strategi mengembuskan kabar bila OPM menyerah sudah dilakukan aparat pemerintah sejak dekade 70-an, untuk mengesankan Papua kembali damai.
“Ini sudah sering terjadi, jadi kami mendengar itu sudah tidak kaget lagi. Misalnya [berita soal] OPM menyerang, atau kembali ke pangkuan NKRI, terus [menyerahkan] senjata tua,” ujarnya. Dia menuding pejabat militer memanfaatkan isu tersebut untuk mencari simpati publik. “Itu untuk mempromosikan pasukan atau salah satu komandan, [mengesankan] bahwa dia sukses dalam operasi di Papua. Kan pasti ada penghargaan, kenaikan pangkat, promosi jabatan,” kata Filep sambil tertawa. “Jadi ini juga salah satu trik internal dalam pemerintah Indonesia sendiri, untuk selain kampanye dalam negeri juga internasional, bahwa Indonesia berhasil membujuk orang Papua yang tadinya punya pikiran merdeka.”
Berdasarkan arsip yang diperoleh VICE Indonesia, Kodam XVII/Cendrawasih memang beberapa kali merilis keterangan pers, mengabarkan pasukan OPM menyerahkan diri dan kembali mendukung NKRI. Pada 2014, tepatnya pada peringatan Kemerdekaan ke-69 RI, Kodam XVII/Cendrawasih mengklaim berhasil merangkul 500 simpatisan OPM untuk mendukung NKRI dengan menyerahkan pula beberapa pucuk senjata dan amunisinya seperti dikutip kantor berita Antara.
Begitu pula pada 2016. Kodam Cenderawasih mengklaim 300 simpatisan OPM Goliat Tabuni berikrar mendukung RI di Kabupaten Puncak Jaya bertepatan dengan Peringatan Ulang Tahun ke-71 Republik Indonesia.
Filep berharap pemerintah Indonesia mengedepankan dialog riil demi mengatasi separatisme di Papua, bukan menyebar klaim-klaim propaganda yang mengesankan rakyat setempat masih melakukan kekerasan bersenjata untuk memerdekakan diri. Menurut Filep, satu-satunya solusi terbaik bagi setiap pihak adalah membuka negosiasi melalui forum internasional.
“Dari awal kami tawarkan dialog, pemerintah menghindar. Karena kami tidak punya saluran di Jakarta, ya kami nego internasional,” ujarnya. “Jadi istilahnya, awalnya persoalan dalam rumah tangga, oleh orangtua dalam rumah tangga tidak mau [diselesaikan], ya wajar dong kemudian anak lari ke luar.”