Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.
Bagi Ana-Maria Stefania, pengalamannya menemukan breatharianisme mirip cinta pada pandangan pertama. “Makin cair makanan yang aku konsumsi, hasilnya semakin baik dan aku semakin merasakan eksistensiku yang sesungguhnya.” Praktisi hypnoterapi ini menemukan apa yang disebutnya “panggilan jiwa” tiga tahun lalu. Kini, Stefania adalah salah satu dari ribuan kaum breatharians di seluruh penjuru dunia.
Videos by VICE
Breatharianisme merupakan kepercayaan yang meyakini manusia bisa hidup sehat dengan hanya mengandalkan energi dari sinar matahari atau udara (dalam kepercayaan ini disebut prana)—nyaris tanpa asupan makanan atau air. Para pengikut aliran diet ini akan diajari menjadi vegan lebih dulu, lalu mengonsumsi makanan dan buah semata, sebelum benar-benar hidup mengandalkan diet cairan. Bisa dibilang breatharians adalah ajaran puasa yang sangat-sangat ekstrem.
Meski praktik puasa di waktu tertentu umum dijumpai dalam banyak agama—termasuk Islam, Kristen, dan Jainisme—penganut Breatharianisme sepertinya tak pernah berhenti berpuasa. Jas Jasmuheen, pemimpin aliran ini dan penulis buku Living on Light: The Source of Nourishment for the New Millennium mengklaim bahwa dirinya telah menghabiskan beberapa dekade untuk merawat kebugaran tanpa asupan makanan dan pernah mengatakan bahwa dia bisa bertahan hidup “selama berbulan-bulan lamanya hanya dengan mengkomsumsi secangkir teh.”
Dokter dan tenaga medis segera menampik klaim ajaran ini. Dokter menyatakan gaya diet seperti ini tak bisa dilakukan dalam jangka waktu lama. “Siapapun yang menganjurkan bahwa kita bisa hidup hampir tanpa asupan cairan dan makanan sebenarnya memberikan nasehat yang buruk, ” kata David Oliver, Guru Besar Ilmu Gizi dan Nutrisi di Royal College of Physicians. “Hidup hanya mengandalkan udara dan sinar matahari berarti berhenti mendapatkan asupan kalori dan cairan. Siapapun yang mengklaim bisa mempertahankan berat tubuhnya dengan gaya diet seperti ini bisa dipastikan sedang berbohong.”
Tak heran jika kemudian beberapa penganut breatharianisme ternama tertangkap tangan menyantap makanan. Pada 1999, salah satu penganut aliran diet ekstrem ini kedapatan masuk ke sebuah outlet 7-Eleven menggondol sekotak Twinkies, sepotong hot dog, dan segelas Sluurpee setelah mengaku dirinya selama 30 tahun hidup hanya menghirup udara. Jasmuheen pernah juga dipergoki seorang wartawan tengah memesan makanan di dalam sebuah penerbangan. Tokoh di balik breatharianisme ini juga tak mampu meneruskan puasa di hari keempat dalam sebuah rekaman reality show ketahanan puasa yang disiarkan sebuah stasiun TV Inggris (Jasmuheen tidak merespon tawaran kami untuk wawancara).
Catatan-catatan kecurangan ini toh tak menghentikan pengagum breatharianism secara militan menggunakan forum online dalam berbagi tips tentang teknik pernafasan terbaik, serta nasehat agar mereka semua perlahan-lahan meninggalkan makanan padat. Fenomena ini memancing sebuah pertanyaan: di masa ketika makanan bisa diorder dengan beberapa kali menekan layar ponsel pintar kita, kok masih ada orang yang memilih hidup dengan makan udara doang?
“Makanan tak begitu punya fungsi bagi tubuh saya—bensin saya adalah cahaya,” ujar Stefani saat kami ngobrol. “Ini adalah kebahagiaan hakiki, rasanya seperti berada dalam kepompong dan tak mau keluar. Kondisi yang sangat terbuka, penuh rasa sayang, rasa syukur dan meneduhkan.”
Stefania sampai saat ini mengaku berhasil berpuasa 10 hari serta 21 hari berturut-turut. Dia mengaku bahwa masa transisi ini bukan melulu tentang menghitung berapa lama kita bisa hidup tanpa makan dan minum. Menjadi seorang Breatharian, menurutnya, adalah cara yang ampuh menenangkan pikiran. “Aku merasa lebih ringan. Makin mudah bagiku untuk merasakan, mengindra dan berubah di level spiritual.”
Nina Valentine, perempuan 33 tahun, telah menapaki hidup sebagai penganut veganisme dan vegetarianisme. Baginya, breatharianisme adalah langkah logis berikutnya. “Aku selalu sadar dengan apa yang aku konsumsi seumur hidupku. Ini sangat berpengaruh pada kesehatanku,” ujarnya.
Menurut hipnoterapis asal Wina, Austria ini, makanan erat hubungannya dengan emosi manusia. Dia percaya bahwa breatharianisme membantu orang menyembuhkan diri dari depresi dan kegalauan. “Dalam masyarakat kita, di mana rasa panik, depresi, dan obesitas umum dijumpai, kita jarang sekali makan karena kita lapar. Kita makan karena untuk menekan emosi kita. Kita nyemil supaya kita merasa baikan untuk sementara waktu tanpa sungguh-sungguh menyelasaikan apa yang terjadi di balik semua itu.”
Dua tahun terakhir, Valentine rutin menjalankan puasa selama sebulan penuh. “Setelah tiga atau empat hari, pikiranku jadi lebih jernih. Aku engga gampang lelah dan pas bangun pagi, aku merasa punya tenaga untuk sehari penuh. Semacam kondisi untuk menerima dan mencintai diri sendiri.”
Ajaran breatharianisme agar kita berani memutus sumber rasa sakit dan konflik internal benar-benar menarik bagiku waktu itu.
Ketika Stefania dan Valentine keukeuh menganggap hidup mereka semakin damai setelah mengenal breatharianisme, Rick Miller, pakar diet klinis dan olahraga, serta juru bicara British Dietetic Association, menganggap ajaran sekte ini omong kosong belaka.
Puasa rutin tak akan jadi masalah bagi seorang yang bugar. Namun jika mereka menghentikan asupan makanan dalam jangka waktu lama bisa memicu penurunan tekanan darah dan temperatur dalam tubuh. Jika ini terjadi, seseorang akan merasa pusing. Dalam kondisi yang lebih parah, seseorang hanya akan diam di atas tempat tidur. “Tubuh kita bisa menggunakan cadangan makanan, seperti lemak tubuh untuk menyimpan energi untuk beberapa saat tapi dalam jangka waktu singkat, sistem monitoring internal tubuh (seperti kadar glukosa dalam darah) akan mengenali kekurangan asupan makanan dan mulai menghentikan proses-proses yang dianggap tak begitu penting untuk menyimpan tenaga bagi organ vital tubuh.”
“Kondisi ini akan memicu turunnya denyut jantung, tekanan darah dan tempetarur. Gerakan tubuh juga akan mengalami keterbatasan karena kelelahan yang diakibatkan oleh kurangnya “bahan bakar,” jelas Miller. “Jika kamu meneruskan kondisi ini meski sudah merasa lapar, kamu akan merasakan kebingungan dan mulai berhalusinasi, pingsan dan kemungkinan meninggal dunia.”
Kepercayaan bahwa kita bisa hidup dengan bermodalkan udara semata memang punya konsekuensi yang mematikan. Pada 1999, muncul kasus seorang perempuan skotlandia mati kelaparan. Dalam buku hariannya, perempuan ini menyebut-nyebut ajaran Jasmuheen. Sementara itu dalam kasus lain, seorang pengikut Jasmuheen, Lani Morris, dari Australia dilaporkan memuntahkan cairan hitam dan menghembuskan nafas terakhirnya setelah tak makan dan minum selama tujuh hari. Morris melakukan puasa sebagai bagian dari proses inisiasi breatharianisme yang berlangsung selama 21 hari.
Dari beberapa kasus tersebut, sah-sah saja jika kita membandingkan aliran diet ekstrem ini dengan gangguan pola makan—dan ada beberapa laporan yang mengatakan bahwa penganut breatharianisme menggunakan ajaran Jasmuheen sebagai kedok untuk menutupi kondisi medis yang mereka idap.
Saya bertanya kepada Dr. Stacey Rosenfield, seorang psikolog klinis yang mengkhususkan diri pada gangguan pola makan, apakah breatharianisme bisa digolongkan sebagai gangguan pola makan. “Gangguan pola makan biasanya berbentuk rasa takut akan bertambahnya berat tubuh, penilaian berat/bentuk tubuh yang berlebihan dan gangguan pada body image,” jelas Rosenfield menjawab pertanyaan saya. “Seseorang bisa saja membatasi asupan makanannya karena alasan lain—contohnya ikut aksi mogok makan—namun jika kriteria di atas tidak terpenuhi, kami tak mengklasifikasikannya sebagai anorexia, kecuali bila asupan makanan tertentu digunakan menurut pembatasan makanan yang ada hubungannya dengan berat tubuh.”
Meski demikian, Pakar diet Rick Miller menggarisbawahi ajaran breatharianisme membuat “pola makan penganutnya benar-benar berantakan.”
Saling silang pendapat mengenai bretharianisme ini diakrabi oleh bagi Brynn Byrne, instruktur pengajar Yoga berumur 31 tahun dari Texas. Dia mengaku pernah mencoba-coba breatharianisme pada umur 23 tahun, dalam rangka mengatasi gangguan pola makan. “Menjadi penganut breatharianisme terlihat seperti solusi yang gampang banget. Aku bisa berganti-ganti pola makan dari tak bisa mengontrol makanan yang aku masukan ke tubuh hingg tak mau sama sekali menyentuh, melihat, mencicipi atau mencium makanan,’ ujarnya. “Ajaran tentang memutus sumber rasa sakit dan konflik internal benar-benar menarik bagiku waktu itu.”
Byrne mengaku bahwa dia sebenarnya sadar sesadarnya bahwa menjadi breatharian tak akan menjadi solusi yang efektif. Di saat yang sama, solusi ini terasa lebih ringan daripada harus “mengatur pola makanku tiap hari.” Namun, tuntutan untuk melakukan diet terasa begitu mengekang. Yang bisa dilakukan oleh Byrne waktu itu hanyalah mengurangi asupan kalori dalam beberapa hari.
Sekalipun makan banyak setelah beberapa hari kelaparan terdengar aman-aman saja, Miller mewanti-wanti para breatharian akan adanya sindrom berbahaya: “Ketika seseorang tak makan dalam waktu yang lama dan kembali makan, penurunan elektrolit (seperti magnesium, potassium and posfat) yang dibarengi dengan peningkatan mendadak kadar insulin dalam tubuh bisa menyebabkan cardiac cardiac arrhythmia, pecahnya pembuluah darah, koma dan bahkan kondisi yang mengharuskan dirawat di rumah sakit. Jadi, tak hanya tidak makan itu berbahaya, makanan juga harus dikenalkan kepada tubuh dengan perlahan dan bertahap.”
Bagi banyak orang, usaha mencapai kebugaran tanpa makan adalah pencarian seumur hidup. Menurut Bryne, makan kini merupakan ritual suci. Sejalan seperti yang dikatakannya, tak ada yang “sesederhana dan seluhur kenikmatan menyantap makanan.”