Mungkinkah Bocah TK dan SD Bisa Melukis Lebih Keren Dari Seniman Maestro?

Mengkritik seni memang gampang; lebih gampang daripada membuat karya tersebut. “Halah tai kucing, begini ini namanya seni?” begitu gerutumu setelah mengeluarkan US$15 untuk tiket masuk Museum Tate Modern Art dan mengitarinya selama 5 menit. “Beneran tai kucing, ini lukisan maknanya apa sih? Bukannya itu cuma orang ngotorin kanvas pake cat, tapi hasilnya diakui sebagai seni. Ponakan gue umurnya 4 tahun juga bisa kali.”

Tapi bener ga ponakanmu bisa melukis sehebat para maestro?

Kami pengin membuktikan kebenaran pernyataan tersebut—bahwa anak kecil bisa bikin karya yang lebih bagus dari seniman tenar. Jadi kami meminta beberapa anak kecil meniru karya-karya seni rupa terkenal, lalu kami meminta tolong teman kami yang kebetulan juga seorang kritikus seni, Sarah Thacker, menilai hasil goresan kuas bocah-bocah tersebut.

Videos by VICE

‘Mondrian’ dilukis Aiden, usia 4 tahun
Sumber inspirasi: Composition with Large Red Plane, Yellow, Black, Grey and Blue, 1921

“Lukisan Aiden ini terasa sebagai interpretasi bebas dari karya Mondrian. Mungkin karya ini mengambil referensi dari ‘Composition with Large Red Plane, Yellow, Black, Grey and Blue’ (1921), tapi beberapa garis-garismu terlalu asal-asalan, jadinya saya kurang yakin kalau karya yang saya sebut barusan memang benar referensi awalnya. Memang, sih, kalau mengikuti prinsip Neo-Plastisisme, Piet Mondrian cuma menggunakan warna-warna primer (makanya karya-karya dari gerakan ini disebut seni “murni”) dan memiliki ciri khas berupa garis-garis horizontal dan vertikal, walaupun komposisinya tidak simetris. Dengan gaya yang sederhana ini, Mondrian ingin mencapai semacam keseimbangan spiritual melalui susunan elemen dalam kanvas, yang terinspirasi dari paham Teosofi.

“Dengan mempertimbangkan bermacam hal tadi, komposisi lukisan yang kamu perlihatkan ini—dengan garis-garisnya mencong dan palet yang berwarna-warni (walaupun harusnya kamu mencampur warna biru dan merah untuk membuat warna ungu, daripada memilih warna hijau yang sangat dibenci oleh Mondrian)—merupakan penghinaan terhadap seniman De Stijl yang satu ini. Kalau boleh jujur, karya imitasi ini memiliki daya tariknya sendiri, Aiden, karena ia lebih manusiawi dan tidak sepretensius karya Piet.”

‘Paul Klee’ dilukis oleh Cleo, usia 3 tahun
Sumber inspirasi: Senecio, 1922

“Klee terkenal suka ‘membawa garis jalan-jalan’, mengagumi bentuk-bentuk yang ia temukan di perjalanan garis tersebut. Meskipun demikian, dalam ‘Senecio’ (1922), sebuah kata Latin yang berarti ‘pria tua’, beliau menciptakan sebuah wajah dengan elemen-elemen geometris; semacam segitiga merepresentasikan alis yang dinaikkan, dan sebuah leher yang terdiri dari banyak persegi. Hal ini memberikan keseimbangan, walaupun mata dan alisnya tidak simetris.

“Alis mata saya naik ketika melihat karyamu yang penuh garis yang tegas, Cleo. Walaupun garis vertikalnya nyata dan menunjukkan kerangka wajah, karyamu merupakan interpretasi lepas dari karya aslinya. Impresionis dan kasar, walaupun memiliki banyak karakter. Dengan warna-warna yang sangat terang, kamu berhasil memberi napas baru terhadap karya ini.”

‘Rothko’ dilukis Nora, usia 3 tahun
Sumber inspirasi: White Center (Yellow, Pink and Lavender on Rose) 1950

“Rothko terkenal dengan bentuk-bentuknya yang ‘mengambang’ dan sejajar secara vertikal. Beliau pernah menyatakan, ‘Saya menganggap gambar-gambar saya sebagai sandiwara; bentuk-bentuk di dalam gambarnya adalah pelaku-pelaku sandiwara tersebut… Mereka adalah organisme dengan kehendak dan gairahnya sendiri.’ Selain itu, beliau mempunyai pikiran bahwa ‘sensuality’ as ‘the basis of being concrete about the world’ and ‘tension’ as ‘curbed desire’. Maka dari itu, kontrasnya kekerasan (dari desainnya) dan sensualitas (dari warnanya) dalam ‘White Centre’ (1950) menciptakan dialektika emosi yang dramatis.

“Walaupun begitu, Nora: tanganmu memiliki kepercayaan diri yang terlalu besar, dan elemen-elemen dalam karyamu malah memiliki bentuk yang tidak jelas dan hanya berupa coret-coretan. Setidaknya kamu berhasil menerapkan palet Rothko yang prismatik walaupun karyamu tidak terlalu tajam seperti karya beliau. Karyamu jernih dan feminin, lebih mirip karya seniman seangkatan beliau yang bernama Helen Frankenthaler.”

‘Miro’ dilukis India, usia 5 tahun
Sumber inspirasi: Le sourire des ailes flamboyantes (The Smile of the Flamboyant Wings), 1953

‘The Smile of the Flamboyant Wings’ (1953) menunjukkan ciri khas sorakan Surealisme Miro yang kusut. It is this delicate line that is lost in your translation of the Wings, the thick brushstroke altogether weighing down the buoyancy of the composition. Akan tetapi, India, kamu telah menyusun elemen-elemen visual dari karya, berikut aransemen mereka di dalam ruang, dengan cukup akurat–misalnya olesan warna kuning di bagian bahu sosok yang ada di karyamu. Yang kurang dari karyamu adalah warna dasar abu-abu yang membantu warna-warnanya, terutama warna merah, untuk tampak menonjol. Di karya Miro, warna abu-abu ini juga membantu melunakkan warna biru, sedangkan ketika warna dasarnya putih, warna birunya menjadi pelaku utama dalam karyamu, apalagi di bagian bintang. Dan, benar, kamu telah menjadikan bintangnya sebagai pelaku utama–dengan tangan yang terbentang, seperti ingin menyapa teman lama dengan senyuman.”

‘Pollock’ dilukis Bronwen, usia 6 tahun
Sumber inspirasi: Convergence, 1952

“Dengan ukurannya yang sangat besar (237.49 x 393.7 cm), ‘Convergence’ (1952) adalah karya tipikal Jackson Pollock. Seniman modernis kenamaan ini sering menuang dan mengaplikasikan (dengan stik dan alat suntik) cat dari atas, dengan arah memutari kanvas, yang ia sebut-sebut sebagai ‘ the arena‘. Bronwen, sepertinya kamu setia mengikuti metode kerja Pollock, yang dapat kita lihat dari caramu mengaplikasikan pola abstrak hitam terlebih dahulu, walaupun kamu menggunakan kuas, tidak seperti Pollock. Goresan kuasmu mengingatkan orang-orang terhadap tanganmu, yang menegaskan dirimu sebagai seorang pencipta, ketimbang metode Pollock yang lebih lepas, yang memberikan kesan chance and control at play.

“Perlu diingat Bronwen, kamu menggunakan kertas, bukan kanvas. Perbedaan medium ini memberi kesan yang berbeda atas karyamu: catmu menggenang di atas permukaan putih, menghilangkan elemen lembut dari komposisi Pollock. Karena tidak ada barang-barang kecil yang dimasukkan pada karyamu (‘Convergence’ diketahui memiliki sebuah korek api yang disisipkan di lapisan-lapisannya), karyamu terlihat lebih rapi dan bersih dari karya Pollock, walaupun ukurannya yang kecil mempunyai daya tariknya sendiri.

‘Dora Maar’ dilukis Eleri, usia 8 tahun
Sumber inspirasi: Portrait de Pablo Picasso, (1936)

“Beberapa tahun belakangan ini, ada banyak usaha mengubah status Maar dari sekedar sosok yang menginspirasi Picasso dan kelompok Surealis. Maar sejak lama berlatih menjadi pelukis, tapi karena ia ragu dengan kemampuannya sendiri (sudah pasti jengkel dengan posisinya sebagai kekasih sang seniman), berangsur-angsur berhenti melukis saat bersama para Surealis, dan malah menciptakan seri fotografi yang mengagumkan sekaligus meneror.

“Dari interpretasimu terhadap ‘Portrait de Pablo Picasso’, lukisan langka dari periode tersebut, Eleri menurutku telah menampilkan drama psikologis yang harus dialami Maar lewat bahasa gambar kubisme yang biasanya dipakai Picasso. Maar menurut beberapa narasumber merasa terpaksa memakai gaya gambar kubisme, jadi bisa dibayangkan betapa tertekannya dia melukis dengan cara yang tidak dia suka. Di sisi lain, ada garis-garis yang tampak ragu di gambar Eleri ini. Gaya yang tentu tidak pernah muncul dalam karnya Picasso, maestro yang garisnya selalu terasa tegas. Memang, caramu meluruskan beberapa lekukan di sosok itu–misalnya, di bagian tulang pipi–menyiratkan Maar sebagai penderita penyakit mental, dan pasien rumah sakit jiwa. Dengan begitu, karya ini adalah sebuah penghormatan untuk Maar, Eleri, dalam palet penuh elegi dan kebisuan. “