Sebuah penelitian yang belum lama ini diterbitkan dalam jurnal Environmental Research Letters menunjukkan naiknya temperatur permukaan bumi akibat pemanasan global dapat memicu kebakaran hutan. Kebakaran bahkan sangat mungkin terjadi pada musim hujan. Penelitian tersebut dilakukan oleh International Research Institute for Climate and Society, International Center for Tropical Agriculture (CIAT), Temple University dan Center for International Forestry Research (CIFOR).
Penelitian yang dilakukan pada saat terjadi kebakaran hutan pada 2013 tersebut menunjukkan bahwa naiknya temperatur tidak berpengaruh saat musim kemarau. Namun sebaliknya, berperan sangat besar pada saat musim hujan.
Videos by VICE
“Pada saat musim hujan normal atau di atas rata-rata, temperatur yang tinggi dapat meningkatkan evaporasi dan transpirasi (evapotranspiration) disusul kekurangan air, yang dapat berakibat pada kebakaran hutan,” kata Kátia Fernandes, peneliti utama studi tersebut kepada Columbia University’s Earth Institute.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh tim peneliti, curah hujan di Indonesia tidak akan banyak berubah hingga beberapa dekade ke depan, namun temperatur akan naik terus. Indonesia perlu segera melakukan konservasi dan restorasi hutan, seperti ditegaskan dalam penelitan tersebut.
Ketua tim kampanye hutan Greenpeace, Yuyun Indradi optimis bahwa tahun ini kebakaran hutan dapat ditekan seminimal mungkin. Menurutnya berbagai pihak sudah belajar dari pengalaman kebakaran hutan pada 2015 saat fenomena alam El Niño yang kering menghantam Indonesia.
“Kenaikan suhu di atas rata-rata normal itu akibat El Niño. Prediksi saya kebakaran hutan bisa ditekan. Mungkin masih ada kebakaran di sana-sini, namun tidak sebesar tahun 2015,” ujar Yuyun kepada VICE Indonesia.
Yuyun mengharapkan bahwa pemerintah sudah bisa menerapkan Revisi Peraturan Pemerintah Perlindungan Gambut yang disahkan Desember 2016. Dalam beleid tersebut, pemilik lahan gambut wajib menyediakan 15 persen zona pantau dari total konsesi lahan.
“Dalam peraturan tersebut juga mewajibkan pemilik lahan untuk membangun sekat-sekat kanal agar lahan gambut tak terlalu kering, sehingga kebakaran bisa diminimalisir,” imbuh Yuyun.
Pada 1995, presiden Soeharto mencanangkan program sejuta lahan gambut di Kalimantan. Kanal-kanal lalu dibuat mengeringkan lahan gambut dan mengalirkan air ke sungai-sungai. Meski efektif, lahan yang terlalu kering tersebut rentan terbakar. Akibatnya kebakaran hutan hebat melanda Kalimantan pada 1997. Belajar dari sejarah, insiden kebakaran massif pada 1997-1998 adalah bukti bahanya El Niño yang tak efektif sama sekali dihambat dengan kanal. “Ketika insiden serupa 1997-1998 terjadi, bahanya sangat besar. Kita bisa kehilangan ribuan hektar hutan hujan dan keanekaragaman hayati di dalamnya, ditambah miliaran ton karbon dioksida mencemari udara, serta dampaknya akan dirasakan penduduk di seluruh Asia Tenggara,” imbuh Fernandes.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru hari ini melansir 13 titik panas terdeteksi di Sumatera. Titik panas tersebut tersebar di Aceh tujuh titik, Sumatera Barat satu titik, Sumatera Selatan satu titik serta Sumatera Utara sebanyak empat titik.
Dengan tren pemanasan global, kebakaran hebat 1997 bisa terulang lagi di masa mendatang. Menurut Fernandes sangat kecil kemungkinan kebakaran hutan yang melanda Indonesia akan berskala sedang-sedang saja.
“Temperatur bumi terus meningkat,” ujarnya. “Sehingga penting bagi setiap pemangku kepentingan untuk memahami kaitan antara temperatur iklim dan reaksinya saat memicu percikan api.”