Korea Utara

Mengenal Kim Yo-jong, Calon Diktator Baru Korut Bila Kim Jong-un Betulan Meninggal

Baru tersedia sedikit informasi soal perempuan 32 tahun itu. Banyak orang mulai menggali fakta-fakta soal adik sang diktator, setelah kondisi kesehatan Kim Jong-un terus diliputi tanda tanya.
Kim Yo-jong Perempuan Calon Diktator Penerus Korut Bila Kim Jong-un Betulan Meninggal
Sosok Kim Yo-jong, adik dari Kim Jong-un, ketika mengikuti lawatan kenegaraan ke Vietnam pada 2 Maret 2019. Foto oleh Jorge Silva/AFP

Jika kamu memantau informasi dari komunitas intelijen Amerika Serikat, kuat dugaan bila Kim Jong-un, diktator penguasa absolut Korea Utara, dalam kondisi kritis dan 'mati otak' setelah operasi jantung. Kabar media-media pro-Tiongkok setali tiga uang, mereka mencatat banyak keanehan di perbatasan, sehingga patut diduga diktator 36 tahun itu benar-benar sedang sekarat.

Tagar #KimJongUn sepanjang akhir pekan di Twitter dipenuhi bermacam skenario kematiannya. Lantas, bagaimana dengan situasi di Pyongyang dan sekitarnya? Adem ayem aja sepekan terakhir, namun beredar kabar banyak Helikopter mondar mandir di langit ibu kota Korut tersebut, tanpa ada kejelasan lebih lanjut.

Iklan

Realitasnya, semua informasi valid mengenai kondisi kesehatan Kim Jong-un hanya diketahui segelintir elit Korut. Selebihnya, bahkan pemerintah Tiongkok sekalipun yang jadi sekutu terdekat Pyongyang, tak bisa mengakses info tersebut sama sekali. Keluarga Kim, termasuk mendiang sang ayah Kim Jong-il, sejak lama dikenal punya masalah kesehatan turunan, seperti diabetes, darah tinggi, dan riwayat serangan jantung akibat obesitas. Tidak mengejutkan bila Kim Jong-un di usia relatif muda sudah menderita sakit berat.

Karena itulah, media massa dan komunitas intelijen internasional mulai mempelajari rekam jejak satu nama berikut: Kim Yo-jong. Dia adik kandung sang diktator, salah satu calon terkuat penerus Dinasti Kim. Konstitusi negara tersebut menyatakan keluarga Kim harus terus menerus menjadi pemimpin tertinggi. Kim Jong-un sejauh ini baru punya anak perempuan yang berusia tujuh tahun, jelas belum bisa diserahi tanggung jawab menjadi diktator.

Meski begitu, pakar Korut yang dihubungi VICE terbelah soal kemungkinan Kim Yo-jong jadi penguasa baru. Alasannya sederhana: Korut adalah negara otoriter yang sangat patriarkis. Kecil kemungkinan politikus elit Pyongyang, apalagi yang senior dan sepantaran ayah Kim Jong-un, rela melihat perempuan 32 tahun berkuasa. Namun, sebagian pengamat lainnya melihat kemungkinan perubahan tradisi itu ada. Pasalnya, oleh sang kakak, Kim Yo-jong sudah sering diserahi tanggung jawab seputar urusan kenegaraan. Dia memang dipersiapkan jadi pengganti kalau terjadi kondisi darurat.

Iklan

Meski begitu, satu fakta tetap harus diingat. Sekalipun calon pemimpin terbaru Korut adalah perempuan, bukan berarti kebijakan luar negeri mereka akan melunak.

"Kim Yo-jong sangat berpeluang jadi lebih tiran dan opresif jauh melebihi sang kakak, atau bahkan mendiang ayahnya sendiri," kata Sung Yoon-lee, pakar politik Korut, dari The Fletcher School, Tufts University, saat diwawancarai VICE News. "Sebab, untuk membuktikan kelayakannya sebagai pemimpin, dia bisa saja bertindak nekat. Seperti misalnya memprovokasi AS lagi dengan memproduksi senjata pemusnah massal atau menyerang pangkalan militer AS di Korsel."

Siapa Sebetulnya Kim Yo-jong?

Perempuan ini lahir pada 26 September 1987. Yo-jong adalah anak kelima Kim Jong-il, sekaligus si bungsu di keluarga penguasa Korut. Ibunya, Ko Yong-hui, adalah istri ketiga (ada yang menyebut gundik kedua) mendiang Kim Jong-il.

Sejak sembilan tahun, Kim Yo-jong dikirim ke Kota Berne, di Swiss, untuk menempuh pendidikan dasar. Kim Jong-un pun dikirim sang ayah ke sekolah di kota yang sama. Karena berbarengan merantau ke luar negeri, Yo-jong dan Jong-un jadi dekat secara emosional. Mereka berdua menempati rumah milik Kim Jong-il di Swiss, serta dijaga oleh tim paspampres yang sama, seperti dilaporkan oleh situs North Korean Leadership Watch.

Yo-jong kembali ke Pyongyang pada tahun 2000, setara dengan menempuh pendidikan setara SD-SMP di Swiss. Pada 2007, dia lulus dari Kim Il Sung University di Pyongyang, dengan gelar sarjana komputer. Berbeda dari dua kakak Kim Jong-un yang enggan terlibat pemerintahan (salah satunya bahkan dibunuh rezim Korut di Malaysia), Kim Yo-jong sangat tertarik politik.

Iklan

Hal itu disampaikan mendiang ayahnya sendiri, ketika menerima kunjungan delegasi internasional pada 2003. Dalam bincang-bincang santai, Kim Jong-il pernah bilang pada tamu negara kalau anak bungsunya (berarti Yo-jong) ingin berkarir dalam kancah politik Korut. Selepas punya gelar sarjana, terbukti, Kim Yo-jong langsung menjadi kader Partai Buruh Korea, satu-satunya partai di Korut.

Dia menjadi tangan kanan Kim Jong-il. Kim Yo-jong selalu mendampingi sang ayah saat menderita gejala stroke parah beberapa kali sepanjang 2008. Perempuan ini juga ditengarai terlibat aktif dalam tim suksesi yang memastikan kakaknya mulus menjadi diktator baru Korut pada 2011, setelah ayahnya meninggal.

Dia Jadi Orang Kepercayaan Kim Jong-un

Seperti pada sang ayah, Kim Yo-jong sangat loyal terhadap kakaknya setelah jadi pemimpin tertinggi. Yo-jong terpantau sering berada dalam rombongan inti Kim Jong-un di tiap acara kenegaraan. Dia beberapa kali diminta sang kakak menghadiri acara-acara internasional. Dia pun selalu terlihat pada dua kali pertemuan tingkat tinggi antara Presiden AS Donald Trump dan Kim Jong-un di Singapura serta Vietnam, pada 2018 dan 2019.

Yo-jong, menurut para ahli Korut, melihat dari dekat pengambilan keputusan tingkat tinggi, yang mencakup pembunuhan lawan politik. Salah satunya, keputusan Kim Jong-un mengeksekusi mati pamannya sendiri, Jang Song-thaek pada 2013, atas dugaan korupsi, konsumsi narkoba, kecanduan judi, dan kegemaran main perempuan. Menurut laporan intel Korsel, Jang dieksekusi dengan senapan anti-jet tempur, serta jasadnya dibakar pakai pelontar api.

Iklan

Tonton dokumenter VICE soal kondisi perpolitikan Korut terbaru:


Wartawan asing di Pyongyang menyadari Yo-jong sering sekali terlihat di acara kenegaraan mengenakan rompi warna hijau daun. Rompi itu biasanya hanya dipakai jurnalis yang meliput acara resmi Kim Jong-un. Dia sepertinya tidak ingin terlihat mencolok, tapi menurut pengamat Korut, pengaruh Yo-jong tidak bisa diremehkan.

"Jika kita memantau berita-berita dari media resmi Korut, maka bisa disimpulkan Kim Yo-jong punya peran besar di pemerintahan. Mulai dari mengawal kebijakan dalam negeri, terlibat dalam kerja tim ekonomi, memantau pengembangan senjata nuklir, sampai menjaga hubungan diplomatik Korut-Tiongkok," kata Joel Wit, mantan diplomat Kementerian Luar Negeri AS untuk urusan Korut, saat diwawancarai VICE News.

"Memang belum jelas, seberapa besar wewenang yang dia miliki selama ini dalam pengambilan keputusan terkait politik domestik maupun internasional, tapi dari indikasi yang ada sekarang, bisa kita duga kebijakan Kim Yo-jong tidak akan jauh berbeda dari kakaknya," imbuh Wit.

Ada informasi bila hubungan Yo-jong dan kakaknya sempat renggang setelah KTT dengan Trump pada 2019. Itu menjelaskan kenapa dia sempat dikeluarkan dari Politbiro Partai Buruh Korea. Tapi dari informasi media resmi Korut, sejak pekan lalu, Yo-jong sudah bergabung kembali di jajaran tertinggi partai, pertanda lain bahwa kondisi kesehatan Kim Jong-un memang sedang parah.

Iklan

Sejak kembali berkuasa di partai, Kim Yo-jong segera membuat pernyataan publik yang mengesankan kalau dia tak kalah galak dari Kim Jong-un. Misalnya, dia menyindir Korsel sebagai "anjing yang rajin menggonggong karena ketakutan", setelah politikus Seoul memprotes keras uji coba senjata di negaranya.

Bulan lalu, Yo-jong juga memuji Presiden Trump, karena mengirim surat resmi berisi ucapan selamat dan doa baik buat sang kakak. Meski begitu, dalam pernyataan pers yang sama, politikus perempuan ini mendesak AS lebih serius menawarkan opsi-opsi kerja sama konkret, agar Korut tertarik melucuti semua senjata nuklirnya.

Bisakah Dia Jadi Diktator Baru di Korut?

Satu-satunya faktor yang menipiskan peluang Yo-jong menjadi penerus kakaknya dalam situasi darurat, adalah budaya patriarkis yang kental di Korut. Negara paling tertutup sedunia itu dikendalikan sekelompok elit lelaki sejak merdeka pada awal dekade 50'an. Dari era kekuasaan pendiri Korut, Kim Il-sung, tak pernah nampak ada pemimpin perempuan di jajaran tertinggi pemerintahan.

"Di Korut, senioritas dan maskulintas sangat dijunjung tinggi karena budaya masyarakat masih mengadopsi nilai-nilai konfusius, sekalipun ideologi negaranya adalah sosialisme juche. Tak ada kesetaraan gender. Kim Yo-jong mungkin tangan kanan Kim Jong-un untuk berbagai urusan, tapi saya merasa posisinya tak akan lebih dari itu," kata Leonid Petrov, pakar Korut sekaligus dosen di International College of Management Sydney, saat dikonfirmasi VICE News.

Iklan

Petrov justru berspekulasi akan ada kudeta mengejutkan di Korut, seandainya Kim Jong-un benar-benar meninggal atau sakit parah sehingga tidak bisa memimpin. Petrov membayangkan nasib Yo-jong bisa menyerupai Jiang Qing, istri pemimpin tertinggi Tiongkok di masa lalu, Mao Zedong. Setelah Mao meninggal, Jiang Qing justru ditahan oleh elit Partai Komunis Tiongkok atas dugaan makar dan penyalahgunaan kekuasaan.

Pengamat Korut lainnya meragukan potensi kudeta dan munculnya pemimpin baru dari luar Dinasti Kim.

"Sampai sekarang, masih sedikit sekali perempuan yang bisa menjadi pemimpin di negara-negara Asia Timur."

"Perempuan memimpin di Korut itu bukannya mustahil. Hanya saja memang elit-elit politik di negara itu sangat seksis. Mereka belum pernah dipimpin perempuan sebelumnya," kata Steve Tsang, Guru Besar Kajian Asia Timur di SOAS London, kepada VICE News. Patriarki semacam ini bukan persoalan Korut saja. "Faktanya, sampai sekarang memang masih sedikit sekali perempuan yang bisa menjadi pemimpin di negara-negara Asia Timur."

Pakar lain menilai, tak ada sosok alternatif dari keluarga Kim yang bisa menjadi pengganti Kim Jong-un. Sebab, Kim Jong-chul, anak tertua mendiang Kim Jong-il, tidak pernah tertarik pada politik dan kabarnya tinggal di luar negeri. Kim Jong-nam, kakak tiri sang diktator Korut, sudah tewas dibunuh di Kuala Lumpur. Satu-satunya calon lain adalah Kim Han-sol, anak dari mendiang Kim Jong-nam, yang sekarang tinggal di Makau, dan mendapat perlindungan Tiongkok. Ada desas-desus bila Han-sol merupakan calon pemimpin Korut yang lebih disukai Beijing.

Iklan

Namun, dari dua nama yang masih hidup di atas, hanya Yo-jong yang rutin terlibat urusan pemerintahan. "Sekalipun perempuan, hanya Yo-jong yang memiliki kemampuan menggantikan kakaknya. Kita harus ingat, sekalipun secara resmi negaranya berbentuk republik, Korut menjalankan sistem dinasti politik seperti kerajaan," kata Profesor Yoon-lee. "Ingat lho, cuma Yo-jong anggota keluarga Kim lainnya yang sudah teruji di level internasional, bertemu langsung Presiden Trump, Presiden Tiongkok Xi Jinping, dan Presiden Korsel Kim Jae-moon."

Sementara Wit, sebagai diplomat AS yang terlibat negosiasi pelucutan nuklir dengan Korut pada 1994, mengaku tidak pernah bisa memahami logika pergantian kekuasaan di negara tersebut. Dia membenarkan bila Korut terbiasa menutup-nutupi kondisi kesehatan pemimpin tertinggi, agar rakyat tidak panik dan stabilitas politik terjaga. Sangat mungkin, kalau Kim Jong-un betulan meninggal, kabarnya baru diumumkan berbulan-bulan ke depan.

"Sejujurnya, tidak ada orang yang bisa menebak bagaimana suksesi kepemimpinan di Pyongyang bakal berlangsung," kata Wit.

Dia hanya mengingatkan, bahwa setelah Kim Jong-il meninggal, dulu prediksi pengamat politik salah semua. Kim Jong-un sempat diyakini tidak akan jadi pemimpin tertinggi karena usianya masih di bawah 30 tahun.

Banyak pengamat hubungan internasional memprediksi sang paman, Jang Song-thaek diserahi posisi pemimpin tertinggi, sementara Kim Jong-un hanya akan menjadi penasehat. "Kita tahu sekarang, kalau realitasnya justru berkebalikan," tandasnya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News