Politik Internasional

PM Israel Netanyahu dan Putra Mahkota Saudi MBS Dikabarkan Bertemu di Lokasi Rahasia

Menlu AS Mike Pompeo terlibat pertemuan itu. Dialog di Saudi ini menjadi momen tatap muka pertama kedua pemimpin negara Timur Tengah yang berseteru tapi mesra tersebut.
PM Israel Netanyahu dan Pangeran Arab Saudi MBS Salman Dikabarkan Gelar Pertemuan
Menlu AS Mike Pompeo, PM Israel Benjamin Netanyahu (tengah), dan Menlu Bahrain Abdullatif bin Rashid Al Zayani, bertemu di Yerusalem pada 18 November 2020. Foto oleh ENAHEM KAHANA/POOL/AFP via Getty Images

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan menggelar pertemuan tertutup dengan Pangeran Mohammad Bin Salman (biasa dijuluki MBS) di sebuah lokasi rahasia di Arab Saudi akhir pekan lalu. Kabar ini bocor ke media Israel dan Amerika Serikat, dari pejabat militer sekaligus diplomat Negeri Bintang Daud.

Meski belum terkonfirmasi, ada info bila Netanyahu dan MBS menggelar dialog tatap muka itu di Neom, kota yang digadang-gadang jadi pusat teknologi Saudi di kawasan Barat Laut Negeri Petro Dollar.

Iklan

Amerika Serikat dilaporkan terlibat memfasilitasi pembicaraan pemimpin Israel dan Saudi. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, ikut hadir dalam pertemuan MBS dan Netanyahu, dalam rangka lawatan 10 hari ke beberapa wilayah Timur Tengah.

Pertemuan sang putra mahkota Saudi—yang secara de-facto sudah menjadi penguasa kerajaan kaya minyak itu menggantikan ayahnya Raja Salman—dengan petinggi Israel dipastikan memicu gejolak negara-negara mayoritas Muslim.

Kerajaan Arab Saudi dianggap patron beberapa negara muslim Timur Tengah dari pengaruh Israel. Realitasnya, berbagai laporan independen sudah menunjukkan kalau Israel dan Saudi telah menjalin kerja sama sejak lama, terutama dalam transfer teknologi dan perdagangan senjata.

Palestina marah mendengar ada kabar pertemuan antara MBS dan Netanyahu. Mohammad Shtayyeh, Perdana Menteri Otoritas Palestina, mengingatkan Saudi agar jangan main-main dengan nasib rakyat Palestina yang masih memperjuangkan kemerdekaan.

“Normalisasi hubungan beberapa sekutu Palestina hanyalah solusi kabur dari kenyataan dan penindasan yang dialami kami karena aksi-aksi Israel,” kata Shtayyeh.

Kabar adanya pertemuan sang pangeran dengan Netanyahu dibantah oleh Menteri Luar Negeri Saudi Faisal bin Farhan lewat twit. Dia menyatakan ada dialog dengan Pompeo di Kota Neom, namun hanya dihadiri pejabat AS dan Saudi.

Selama periode kepemimpinan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat membuat bermacam manuver tak disangka-sangka di Timur Tengah. Trump menjadi presiden pertama yang meyakinkan tiga negara mayoritas muslim, yakni Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Sudan, untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Manuver Amerika itu memicu kemarahan di Palestina, yang penduduknya merasa dikhianati tiga negara muslim tersebut, mengingat wilayah mereka sampai sekarang masih dijajah tentara Zionis. Trump juga memaksakan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, meski mayoritas negara-negara di dunia menganggapnya zona internasional yang tak boleh diklaim salah satu pihak, baik itu Islam, Kristen, ataupun Yahudi.

Iklan

Trump dan Pompeo tampaknya punya satu ambisi yang tersisa sebelum masa kerja mereka berakhir Januari tahun depan. Yakni menjajal kemungkinan normalisasi hubungan antara Saudi dan Israel. Saudi, karena memiliki dua tempat tersuci bagi umat muslim sedunia, idealnya tidak akan pernah berdamai dengan Israel. Akan tetapi, bila Trump sukses meyakinkan MBS untuk mengubah status quo tersebut, maka konstelasi politik Timur Tengah bakal berubah.

Satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki sikap politik tegas bermusuhan dengan Israel adalah Iran. Jika Saudi sampai berpaling dari Palestina, dan memilih normalisasi hubungan dengan Zionis, maka dukungan kelompok ekstremis akan menguat pada Teheran. Di sisi lain, situasi tersebut bisa mendorong perpecahan lebih tajam antara komunitas Sunni-Syiah di kawasan.

Raja Salman, ayah MBS yang kini berusia 84 dan menyerahkan kekuasaan harian pada anaknya lantaran isu kesehatan, sebelumnya menyambut baik normalisasi hubungan tiga negara muslim dengan Israel. Salman justru menyebut bahwa ancaman terbesar di kawasan saat ini bukan Israel, melainkan Iran.

"Ambisi-ambisi rezim di Iran meyakinkan kami kalau mereka bisa merugikan kawasan secara keseluruhan,” kata Raja Salman lewat keterangan tertulis, saat mengucapkan selamat pada Joe Biden karena memenangkan pemilu AS, mengalahkan Trump. Raja Salman sekaligus menuntut AS agar kembali menjatuhkan sanksi ekonomi, sekaligus menerapkan isolasi total pada Iran, agar para mullah di Teheran tidak lagi tertarik mendanai pengembangan senjata nuklir.

Selama dua dekade terakhir, nyaris semua konflik di Timur Tengah dipengaruhi rivalitas Saudi-Iran. Arab Saudi secara terang-terangan mendanai kelompok minoritas Sunni di Suriah untuk mendongkel Bashar al-Assad. Sementara Iran, sebagai balasan atas aksi Saudi menggangu sekutunya di Suriah, mendukung kelompok pemberontak Houthi di Yaman menjungkalkan pemerintah setempat.

Iran merespons kritis ambisi AS memaksakan negara arab berdamai dengan Israel. Menurut pejabat di Teheran, negara yang diklaim “berdamai” itu memang menjalin hubungan dengan Israel selama ini diam-diam. “Artinya yang diteken tiga negara itu hanyalah formalisasi hubungan yang sudah berlangsung sejak lama.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News