Kesehatan Mental

Emangnya Bener Diagnosis Bikin Kondisi Psikis Kita Makin Buruk?

Alih-alih fokus pada penyembuhan, sejumlah orang justru mengkhawatirkan kondisi mental mereka setelah menerima diagnosis.
Foto ilustrasi orang merenung
Foto: Donald Iain Smith via Getty

Dewasa ini, semakin banyak orang sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Stigma terkait isu kejiwaan pun telah dipatahkan, sehingga kita tak perlu lagi malu menceritakan kondisi psikis yang kita hadapi. Tapi memang, untuk melakukannya butuh keberanian yang besar. Bahkan tak jarang orang memikirkannya matang-matang sebelum mereka mantap mencari bantuan profesional.

Iklan

Akankah keputusan ini memengaruhi kehidupan? Bagaimana jika ternyata mereka didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan? Bagaimana kalau kondisinya memburuk setelah mendengar diagnosis tersebut? Bukankah biaya sekali terapi lumayan mahal? Bisa berabe kalau tambah parah.

Ada yang mengaku di TikTok, mereka merasa gejalanya semakin buruk sejak mengetahui sumber masalahnya. Katanya mereka jadi gak bisa fokus lah, atau tambah depresi karena didiagnosis seperti itu.

Padahal, kenyataannya tidak begitu. Diagnosis dari ahlinya justru langkah awal untuk mendapatkan penanganan yang tepat atas gejala-gejala yang kamu rasakan.

“Saya tak pernah menemukan bukti gejala pasien tambah parah setelah didiagnosis,” kata Justin Puder, psikolog yang berbasis di Florida, Amerika Serikat.

Dia menduga yang terjadi sesungguhnya bukanlah gejala memburuk, melainkan karena seseorang selalu mengaitkan kondisinya dengan diagnosis tersebut. Contohnya: “Aku enggak bisa konsentrasi dari tadi. Pasti ini gara-gara ADHD!” Alih-alih fokus pada penyembuhan, mereka malah pusing memikirkan masalahnya.

Iklan

Orang yang didiagnosis mengalami gangguan kecemasan, misalnya, mungkin semakin memperhatikan segala tindakan dan reaksi yang mereka lakukan ketika tersulut emosi. Mereka sadar serangan kecemasannya kambuh pada saat jantung berdebar kencang atau mual karena gugup. Dengan demikian, apa yang mereka rasakan sebetulnya bukan karena kondisinya tambah buruk, tapi karena mereka fokus mengamati gejala-gejala yang muncul dalam dirinya.

Puder menambahkan, sadar akan gejala yang dirasakan tak melulu berarti buruk. Kamu bisa memanfaatkannya untuk mengelola emosi lebih baik lagi.

Seberapa besar pemahaman seseorang tentang diagnosis mereka, serta penjelasan yang mereka terima dari terapis, juga dapat memengaruhi kesiapan mereka menghadapinya.

“Penjelasan yang kurang memadai bisa bikin seseorang panik memikirkannya,” terang Evan Lieberman, terapis yang menangani masalah kejiwaan dan kecanduan di Minnesota. Stres akibat kepikiran dapat memperburuk gejala mereka.

Begitu pula dengan tiadanya terapi atau intervensi yang memadai. Seseorang akan kebingungan gimana mereka harus mengatasi kondisi psikisnya. “Mereka didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan ini, tapi mereka tidak mengerti langkah apa yang harus diambil jika menanganinya sendirian. Ibaratnya kayak mendiagnosis pasien nyeri punggung, tapi tidak diberi pengobatan sampai sembuh,” Lieberman melanjutkan.

Iklan

Selain itu, ada kemungkinan orang merasa punya gejala tertentu setelah baca-baca dari Google. Menurut Lieberman, anak remaja yang mendiagnosis dirinya sendiri lebih berisiko menunjukkan gejala yang sebenarnya tidak pernah mereka miliki. Konten TikTok semacam “Things you didn’t know were ADHD” atau “Signs you’re depressed” bisa berbahaya apabila disajikan sembarangan tanpa bimbingan ahlinya.

Orang cenderung merasa lebih lega setelah mengetahui ada alasan lain di balik kebiasaan “anehnya”, bahwa semua yang mereka rasakan bisa terjadi karena mengalami depresi, ADHD, atau gangguan kejiwaan lainnya.

“Banyak pengidap ADHD sulit mengikuti proses pembelajaran, memenuhi tanggung jawab dan mengelola emosi mereka. Gejala-gejala ini tak jarang membuat mereka merasa bodoh, bersalah atau bahkan menyerah,” jelas Lieberman. “Diagnosis dapat mengurangi beban mental, dan mereka bisa berhenti menyalahkan diri. Saya kemudian memberi mereka harapan masih ada pengobatan efektif.”

Kondisi psikis akan semakin parah jika terus dibiarkan. Maka dari itu, penting bagi kita mencari bantuan yang tepat setelah mendapat diagnosis.

“Ketika kamu didiagnosis mengalami gejala tertentu oleh ahlinya, kamu juga harus mendapatkan penanganan berkelanjutan sesuai yang kamu butuhkan,” Lieberman berujar.

Kamu bahkan dapat berkonsultasi ke tempat lain untuk memastikan tidak salah diagnosis. 

“Saya menganjurkan cari pendapat lain bila diagnosis atau pengobatannya terdengar kurang masuk akal. Kami para praktisi wajib memberi penjelasan sedetail mungkin supaya pasien mudah memahami apa yang harus mereka lakukan terkait masalahnya,” pungkasnya.

Follow Romano Santos di Instagram.