Artikel ini pertama kali tayang di i-D Magazine.
Film dokumenter Cheryl Dunn yang dirilis 2013 Everybody Street adalah tontonan wajib bagi siapapun yang tertarik dengan fotografi, New York City, atau sesama manusia. Jamel Shabazz—satu dari 13 fotografer ikonik dalam dokumenter itu—adalah seorang akademisi yang rajin menekuni seni foto. Dalam Everybody Street, warga asli Brooklyn berbagi kisah di balik beberapa karyanya yang tersohor: potret warga New York kulit hitam, beberapa berdiri bersama kawan-kawan, sebagian besar tersenyum dan bangga. Foto-foto ini dipotret sebagian besar sepanjang era 1980-an.
Videos by VICE
Shabazz tak hanya merekam New York—gerbong-gerbong subway berlapis grafitti, Times Square penuh bioskop-bioskop murahan—namun juga warga New York era itu. Potret-potret ini memenuhi ruang antara dokumenter dan potret fesyen, yang dirayakan oleh industri fesyen. (Karena koleksi terbarunya terdiri dari foto-foto yang diambil dengan gaya yang sama dengan gaya Shabazz di era 80an—topi pancing, rantai emas, dan mantel-mantel indah—tidak mengherankan bila Marc Jacobs baru-baru ini menggelar bedah buku bersama sang fotografer.) Meski foto-foto ini menjadi ikonik dan penting, bukan berarti karya Shabazz sekadar soal gegayaan tanpa substansi.
Shabazz baru saja merilis sebuah buku, Sights in the City. Buku ini merupakan koleksi lebih dari 100 foto yang dibuat Shabazz selama empat dekade terakhir, sebagian besarnya belum pernah diterbitkan. Meski sebagian foto-fotonya berupa potret orang berpose, ada pula foto-foto spontan di jalanan. Shabazz menemukan humor, penderitaan, dan sihir pada momen-momen sekejap di taman-taman, unjuk rasa, dan parade. Dia menambang emas di antara kesemrawutan New York City, dan dalam prosesnya, juga memperkaya kita semua. Untuk merayakan rilisnya buku Sights in the City, kami mengobrol membahas Everybody Street, media sosial, dan pesannya kepada generasi muda di seluruh dunia.
i-D: Sights in the City diawali dengan wawancara antara anda dan Cheryl Dunn. Bagaimana Everybody Street membentuk pendekatan anda dalam pembuatan buku ini?
Jamel Shabazz: Pertama-tama, saya amat bersyukur pada Cheryl karena telah mengundang saya berbagi pandangan saya dalam dokumenter menarik ini. Setelah menonton Everybody Street, saya menyadari segmen saya terbatas pada pandangan saya soal fotografi jalanan. Jadi, sebagian besar yang saya sampaikan berpusat pada meminta izin subjek-subjek foto. Kalau dilihat ke belakang, saya bisa saja memberikan perspektif yang lebih berimbang soal foto dengan dan tanpa pose, juga soal meminta izin seseorang. Saya merasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk membuat monografi keempat khusus untuk fotografi jalanan New York City—sebuah buku yang akan memberikan pembaca sisi yang lebih komprehensif soal pendekatan saya. Karena obrolan soal fotografi jalanan pertama kali diungkapkan Cheryl di dokumenternya, saya kira cocok lah kalau saya mengawali buku saya dengan tanya jawab dengan Cheryl.
Dalam Everybody Street , anda mendiskusikan pendekatan dalam memotret—menciptakan momen menyenangkan dan memberdayakan antara diri sendiri dan subjek melalui dialog. Tapi Sights in the City sebagian besarnya terdiri dari foto-foto tak berpose. Bagaimana pendekatan anda dalam fotografi jalanan dengan gaya lebih spontan ini?
Mantap juga observasimu! Karya saya secara imbang terbagi antara foto-foto tradisional dengan pose, dan foto-foto jalanan spontan. Dalam semua karya saya yang telah terbit, kamu bisa melihat kombinasi dari kedua pendekatan itu. Ayah saya, yang merupakan instruktur fotografer utama saya, tidak pernah menggemari foto-foto dengan pose, dan seringkali memberikat kritik keras ketika saya perlihatkan foto-foto macam itu. Dia akan menyarankan lebih baik saya fokus memotret “momen-momen kepastian.” Saya mengikuti instruksinya, namun di waktu bersamaan membuat potret-potret dengan pose, karena saya sangat menikmatinya dan merupakan cerminan interaksi saya dengan subjek-subjek foto. Jadi selama lebih dari 35 tahun saya menjadi fotografer, saya selalu ingin menciptakan dua jenis karya berbeda, terdiri dari foto-foto dengan dan tanpa pose. Saya lebih menggemari foto-foto spontan yang saya ambil akhir-akhir ini. Pendekatannya sih sama saja: soal membawa kamera dan selalu siaga dan mengamati dengan jeli, dan juga menghargai sekeliling.
Foto-foto dalam buku ini dibuat dalam rentang empat dekade. Dalam satu foto, diambil tahun 2010, kelompok dari acara 106 & Park berpakaian era 80-an dengan gaya throwback. Fesyen merupakan pendauran ulang, tapi rasanya aneh kah melihat gaya berpakaian seperti itu muncul lagi bertahun-tahun kemudian?
Menurut saya, menarik sekali bisa melihat gaya-gaya berpakaian jaman dulu muncul kembali. Dari obrolan saya dengan anak-anak muda yang menyukai gaya retro, saya menyadari mereka memiliki hubungan mendalam dan apresiasi untuk fesyen 80an sampai-sampai mereka berharap sudah hidup di masa itu. Banyak juga yang bilang bahwa mereka menyukai fesyen 80an karena orangtua mereka dulu berpakaian seperti itu. Jadi ketika saya melihay gaya-gaya itu, saya jadi senang karena ternyata fesyen di era saya masih diapresiasi hingga sekarang. Selebihnya, beberapa orang dari generasi saya—kini berusia 40an dan 50an—masih bergaya era 70-an dan 80-an. Bagi mereka, beginilah cara mengenang momen spesial yang membentuk masa remaja.
Anda menyertakan foto-foto Mary Ellen Mark, yang juga dikisahkan dalam Everybody Street , ke dalam buku anda. Mengapa demikian?
Mary Ellen Mark adalah salah satu fotografer jalanan terbaik, sepanjang masa. Dalam beberapa kesempatan, kami berjumpa di jalanan—dari West Indian Day Parade di Brooklyn hingga beberapa perayaan umum, dia selalu melakukan pekerjaan yang mengagumkan. Saya pertama kali dikenalkan pada karyanya di akhir 70an, ketika itu saya membaca tentang dia di buku fotografi Time Life. Saya kemudian mencari tahu lebih lanjut soal gaya fotografinya. Saya sangat mengapresiasi subjek-subjek yang dia dokumentasikan, dari anak-anak miskin di Seattle hingga orang-orang kembar. Cinta antara dia dan subjeknya sangat terlihat, dan saya kagum dengan hal itu. Mary Ellen Mark sangat dedikatif dan pekerja keras.
Satu insiden yang masih saya ingat dengan jelas adalah ketika kami bertabrakan ketika dia menghampiri saya yang sedang membuat potret pasangan di Harlem dan mencoba mengambil image yang sama. Saya menegurnya dengan menepuk halus supaya dia tahu saya tidak senang dia memotret subjek yang dengan susah payah saya yakinkan supaya mau berpose di depan kamera saya. Sekarang dia dengan mudahnya mengambil foto yang sama, jadi saya tidak suka. Ketika saya tegur, dia malah mendorong saya balik. Insiden itu bisa saja menjadi situasi serius, tapi saya biarkan saja. Alih-alih saya memotret dia, yang bisa kamu lihat di Sights in the City.
Anda menyinggung kekuatan dan pentingnya fotografi sehubungan dengan penciptaan kenangan. Apakah anda merasa konsep ini berubah di era digital?
Saat ini, kenangan tidak habis-habis dibuat, tidak seperti dulu, ketika hanya sedikit orang yang punya kamera bagus dan kemampuan membuat foto-foto bagus. Kini, dengan kemajuan teknologi dan media sosial, pembuatan dan persebaran foto menjadi aspek yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Yang menurut saya sangat menarik adalah, adanya ketertarikan terhadap fotografi, dan saya melihat banyak karya bagus. Kini, hampir siapa saja bisa menciptakan foto dan menjadi pencerita. Dan yang saya lihat sekarang, dibandingkan saat saya belajar memotret dulu, adalah ada kisah tak terhingga yang diceritakan oleh fotografer-fotografer “baru” ini. Jadi saya menyambut generasi fotografer sekarang.
Anda juga membahas dampak pengalaman wajib militer di Jerman terhadap kehidupan Brooklyn—jadi ketika anda kembali 1980-an, anda merasa ingin membantu anak-anak muda memfokuskan energi mereka pada hal-hal di luar perilaku destruktif. Nasehat apa yang ingin anda sampaikan kepada mereka?
Nasehat saya untuk anak-anak muda jaman sekarang adalah, persiapkan masa depan. Tetapkan tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai, dan bekerja dan berusahalah mencari mentor yang bisa membantumu sepanjang jalan. Kita semua diberkahi dengan bakat-bakat internal, jadi cari gairah dalam dirimu, kembangkanlah, dan terus maju. Saya percaya bahwa kita semua dilahirkan di planet ini untuk alasan tertentu. Jadi mari bekerja dengan penuh semangat untuk menciptakan peninggalan yang bisa menginspirasi orang-orang dan menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik.