Artikel ini pertama kali tayang di VICE Arabia.
“Saya tidak tahu sebenarnya saya sudah menikah atau belum,” kata NS*, seorang perempuan berusia 22 tahun asal Mosul, di utara Irak. “Ketidakpastian ini merusak masa depan saya.”
Videos by VICE
Menurut pejabat Human Rights Watch, NS adalah salah satu dari sekurang-kurangnya 1.600 janda Irak yang telah diberikan surat nikah oleh pengadilan ISIS di Mosul selama masa penjajahan tiga tahun rezim khilafah. Sekarang Mosul sudah bebas. Suami-suami mereka mati di peperangan, tetapi pemerintahan Irak tidak mengakui keabsahan pernikahan para pengantin khilafah tersebut.
Kebanyakan dari perempuan ini dipaksa untuk menikah dengan militan saat ISIS menguasai Mosul, atau mereka menikah dengan anggota keluarga sendiri untuk menghindari pernikahan tersebut. Meskipun pemerintahan Irak menyatakan mereka bersedia mengakui pernikahan yang diresmikan di bawah kekuasaan ISIS, pernikahan hanya diakui apabila pasangan suami istri memberitahukannya secara langsung.
Untuk janda seperti NS, pengakuan itu tidak akan mungkin terjadi—mengingat mereka tidak memiliki surat nikah yang resmi—maka pemerintah tidak akan mengeluarkan kartu identitas anak yang dibutuhkan buat mengakses pelayanan publik seperti sekolah dan rumah sakit.
Hal ini terjadi pada Nada*, 20. Dia menikah dengan seorang militan ISIS yang terbunuh dalam pembebasan Mosul; setelahnya, pemerintahan Irak tidak mau mengakui pernikahan mereka. Dia sudah mengajukan banding atas keputusan tersebut di pengadilan negeri setempat dan harus membayar biaya tagihan hukum sebesar Rp4,8 juta, tetapi permohonannya ditolak.
Tiga tahun lalu, Renad*, 25, dipaksa menikah dengan anggota ISIS. Dia mempunyai seorang anak laki-laki dan perempuan sebelum suaminya terbunuh pada bulan Januari tahun lalu. Renad mengatakan dia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa surat nikah. “Pemerintah mempersulit hidup kami,” ujarnya. “Kedua anak saya tidak bisa bersekolah atau berobat ke rumah sakit pemerintah.” Status perkawinan di KTP-nya masih “lajang.”
Janda-janda ini, seperti NS, Nada, dan Renad, dianggap sebagai simpatisan ISIS, meskipun mereka tidak ditanyakan pendapatnya saat menikah. Beberapa dari mereka bahkan mendapatkan ancaman pembunuhan dan diusir paksa oleh masyarakat setempat, sementara pasukan keamanan Irak telah mengirim sekitar 170 keluarga yang dianggap sebagai simpatisan ISIS ke “kamp rehabilitasi” di luar kota. Menurut dewan daerah Mosul, keluarga yang dikirim ke kamp-kamp ini “mendapat rehabilitasi psikologis dan ideologis, dan mereka baru diperbolehkan keluar dari kamp setelah terbukti memberi respons positif terhadap program rehabilitasi.” Human Rights Watch menyatakan bahwa kamp ini lebih mirip seperti “hukuman kolektif”.
“Terlalu banyak perempuan muda yang dihukum atas sesuatu yang bukan salah mereka,” ujar Rizan al-Sheikh, anggota Komite Parlemen Irak untuk Perempuan dan Anak. Rizan bekerja sama dengan sejumlah rekan kerja perempuannya untuk menekan pemerintah untuk menemukan solusi, terutama yang mengizinkan saksi untuk maju dan bersaksi atas para janda, atau menggunakan bukti DNA untuk membuktikan hubungan keluarga.
“Jika masalah ini tidak diselesaikan sekarang, maka akan berdampak buruk bagi rakyat Irak ke depannya,” kata Rizan menjelaskan.
Pengacara di Irak bernama Ismail Al-Fatlawi menganggap pemerintah harus melangkah lebih jauh lagi. “Kami memerlukan pengadilan khusus untuk mengatasi masalah ini,” kata Al-Fatlawi. “Pengadilan harus dapat mempertimbangkan surat nikah sebelumnya dan dokumentasi lainnya, seperti foto keluarga dan laporan saksi dari teman dan keluarga. Solusi yang bersifat politik dan sementara tidak akan menyelesaikan masalah. Kami memerlukan tanggapan yudisial yang kuat, sesuai dengan dampak negatifnya yang bisa terjadi pada generasi mendatang.”
Undang-undang tersebut tidak hanya berdampak pada perempuan yang telah menikah dengan militan ISIS, namun setiap janda yang memperoleh izin nikah dari pengadilan ISIS pada saat mereka menguasai wilayah tersebut. Ini termasuk perempuan Irak yang menikahi kerabat dan temannya sendiri untuk menghindari pernikahan paksa dengan anggota ISIS. Roa’a*, seorang perempuan asal Mosul, mengatakan bahwa selama masa penjajahan ISIS, orang tuanya melarang dia dan teman-temannya untuk keluar rumah sendirian karena takut mereka akan diculik dan dinikahkan paksa oleh anggota ISIS.
Roa’a menikahi sepupu keduanya di sebuah pengadilan ISIS, tetapi dua tahun kemudian, tentara Irak memerintahkan suaminya untuk berperang melawan ISIS. Dia tidak pernah pulang sejak 13 Desember 2016. “Kami belum memiliki anak, karena ingin menunggu sampai kami melarikan diri dari Mosul, atau sampai kota ini bebas dari ISIS.”
Tak lama setelah ISIS mengambil alih Mosul pada tahun 2014, Ola*, 21, segera menikahi sepupunya. “ISIS memaksa anak perempuan untuk menikah dengan anggota mereka,” ujar Ola. Mei 2017 lalu, Ola dan suaminya terpisah saat ISIS menyerang daerah tempat tinggal mereka. Suaminya tidak pernah terlihat lagi sejak itu. “Anggota bersenjata ISIS menyerang tempat tinggal kami dan memisahkan banyak keluarga,” Ola menjelaskan. “Kami semua berusaha untuk menyelamatkan diri, dan saat itulah saya kehilangan suami saya. Saya tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.” Meski begitu, dia bersyukur belum memiliki anak, karena dia tidak yakin bisa mengurus anak apabila pemerintah menolak untuk mengakui status keluarga mereka.
Selain status perkawinannya tidak diakui, Ola tidak akan bisa menikah lagi. Tradisi keluarga di daerahnya mengharuskan perempuan membuktikan diri masih perawan atau sudah janda sebelum menikah untuk kali berikutnya. Makanya situasi tambah buruk, mengingat pemerintahan Irak menolak membantu Ola dan ribuan janda lainnya. Mereka terombang-ambing dalam ketidakpastian akibat pernikahan yang tidak mereka inginkan sejak awal.
*Nama-nama narasumber diubah untuk melindungi privasi mereka.