FYI.

This story is over 5 years old.

Ada Apa Dengan Bercinta

Begini Rasanya Magang Jadi Resepsionis Hotel Esek-Esek Bekas Lokasi Pembunuhan

Hotel di Mangga Besar dengan tarif per jam adalah solusi terbaik bagi pasangan untuk menikmati seks tanpa khawatir digerebek polisi moral. Aku menyelami makna dari profesi yang kerap dianggap remeh ini.
Begini Rasanya Magang Jadi Resepsionis Hotel Esek-Esek Bekas Lokasi Pembunuhan
Apakah para tamu bercinta dalam suasana murung di kamar suram ini? Nah, itu misterinya yang belum kami pecahkan. Semua foto oleh Dicho Rivan.

"Ada Apa Dengan ber-Cinta" adalah seri liputan khusus VICE membahas serba-serbi seks yang selama ini dianggap tabu, khususnya di Indonesia, padahal penting sekaligus bikin penasaran. Klik tautan ini untuk mengikuti artikel dan video lainnya dalam topik yang sama.


Kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat, sejak awal kemerdekaan republik ini sering dilabeli sebagai surga wisata nafsu lucah. Hotel kelas melati sampai bintang lima—ditambah bar dan karaoke yang menyediakan hostes untuk tamu—bertebaran di kawasan tersebut. Konon, Mangga Besar adalah lokalisasi terbesar di Jakarta sepanjang dekade 60'an. Daerah tersebut memasuki Abad 21, harus diakui baru sepenuhnya hidup ketika senja mulai merayap. Karyawan bar dan hotel dengan seragam licin terseterika tiba di tempat kerja masing-masing. Ketika malam semakin larut, kawasan tersebut bakal dipenuhi mobil dan motor para pelanggan.

Iklan

Sore itu di salah satu hotel melati berlantai delapan dengan cat warna-warni, Wasnen tengah duduk di belakang meja resepsionis sambil memainkan ponsel genggam keluaran Nokia-nya. Meja itu lebih tepat disebut seonggok kayu dibandingkan meja resepsionis. Bentuknya sudah tak karuan dan menghitam.

Itulah meja kerja Wasnen selama tiga tahun kariernya sebagai resepsionis. Kursi kerja plastiknya sudah memudar dan penyok di bagian punggung, tanda bahwa ia tak pernah absen diduduki bertahun-tahun.

1532414940062-convert_10

PIntu masuk hotel tempat Wasnen bekerja.

Wasnen memakai kaos abu-abu dan celana kain hitam saat saya temui. Ia mudah gugup ketika bertemu orang yang baru dikenalnya. Butuh waktu agar obrolan menjadi cair. Usianya 36 tahun. Ia punya dua anak yang ditinggal di kampung. Sekali dalam setahun, ia menyempatkan diri pulang demi keluarganya. Ia mengaku berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Wasnen sempat bekerja serabutan di Jakarta sebelum seorang kawan menawari pekerjaan sebagai penjaga hotel.

Pekerjaannya lumayan menyita waktu, ia kudu berjaga selama 12 jam per hari dengan jatah libur sehari. Gajinya kecil, cuma Rp700 ribu per bulan, tapi oleh pemilik hotel ia diberi tempat tinggal di lantai paling atas hotel tersebut bersama tiga karyawan lainnya.

"Pekerjaannya cukup membosankan karena saya cuma duduk-duduk," kata Wasnen. "Tapi lumayan karena sudah dapat tempat tinggal dan kadang dikasih makan. Jadi gaji bisa saya tabung buat di kampung."

Saya memutuskan menemani Wasnen berjaga menerima tamu hotel malam itu. Lobi hotel beralih fungsi jadi tempat parkir motor. Di situ cuma ada etalase minuman dan meja resepsionis. Tak ada CCTV atau pun jenis pengamanan lainnya. Hotel tersebut terletak di Jalan Mangga Besar yang hanya muat satu mobil. Sekian meter depan hotel, mengalir Kali Tangki yang kadang menebar bau busuk sampah rumah tangga. Nyatanya lokasi yang kurang mentereng tersebut rupanya tidak menyurutkan niat tamu menyewa kamar. Selama 10 menit saya duduk di samping Wasnen, setidaknya sudah ada enam pasangan tua dan muda mengantre. Semua ingin menyewa kamar termurah.

Iklan
1532414961843-convert_11

Pelajar dilarang masuk. Tapi faktanya ya enggak ada yang ngecek KTP.

Setiap tamu tak diwajibkan meninggalkan kartu identitas. Transaksi cuma berdasarkan prinsip "ada duit ada kamar." Begitu uang tunai diterima, Wasnen sigap mencatat setiap transaksi dalam buku besar andalannya, lalu tamu bisa bergegas menuju kamar. Tak lupa, ia akan memberikan satu bungkus sabun mandi kecil buat setiap pelanggan.

Khas hotel cinta, tamu bisa memilih rentang waktu menyewa kamar mulai dari tiga jam, 12 jam, atau 24 jam. Tamu dipatok ongkos Rp70 ribu untuk tiga jam ngamar. Sedangkan harga kamar 12 jam adalah Rp160 ribu, dan Rp200 ribu untuk seharian penuh.

Ketika harga sudah cocok, tamu akan diantarkan ke kamar oleh petugas kebersihan bernama Suhartati. Saya mencoba mengikuti Suhartati berkeliling mengantar tamu malam itu melewati lorong yang terasa remang meski sudah dilengkapi tiga buah lampu neon. Usianya sudah menginjak kepala lima, namun Suhartati, asal Pemalang, Jawa Tengah, masih cekatan naik dan turun tangga. Selama bekerja ia dibantu rekan setengah bayanya bernama Kusmiyati. Suhartati mengucapkan kalimat yang terdengar seperti mantra, tiap selesai mengantar tamu: "terima kasih, selamat beristirahat."

1532414979299-convert_13

Lorong dari meja resepsionis menuju kamar-kamar paket hemat untuk main tiga jam.

Setiap lantai di hotel itu punya 24 kamar berukuran masing-masing 3x5 meter dengan kamar mandi ukuran 1x2 meter, dilengkapi WC jongkok dan satu ember besar. Setiap kamar cuma punya satu kipas angin yang tak berguna menghilangkan pengap. Bau apek sprei dan kasur tua seolah keabadian, karena tidak ada ventilasi di setiap kamar. Jangan tanya kapan terakhir kali sprei tersebut dicuci dan diganti. Suhartati saja kesulitan menjawabnya.

Iklan

Dengan semua kekurangan tadi, serta suasana muramnya, hotel tersebut merupakan salah satu favorit di Mangga Besar. Pelanggan hotel ini berasal dari ekonomi menengah bawah. Di akhir pekan, kata Suhartati, jumlah tamu yang menginap bisa mencapai 150 pasangan per hari. Sepanjang ingatan Suhartati bekerja di hotel tersebut, ia belum pernah melihat ada penggerebekan yang suka dilakukan Satpol PP, atau ormas keagamaan untuk menciduk pasangan mesum di ruang-ruang tertutup. Di tengah meningkatnya upaya ormas radikal mengatur persoalan moral di negara ini, masih bebasnya bisnis lucah di Mangga Besar tentu jadi oase tersendiri bagi pasangan yang menginginkan privasi.

1532415016404-convert_14

Jangan tanya kapan terakhir kali seprei dan sarung bantalnya diganti.

"Kalau hari biasa paling cuma ada tamu puluhan," kata Suhartati. "Awal bulan biasanya ramai banget. Daerah sini memang aman dari penggerebekan, makanya banyak tamu ke sini."

Saya kembali menuju lantai bawah tempat Wasnen bertugas. Lobi masih ramai dengan tamu yang hilir mudik. Tidak ada percakapan dengan tamu selain tanya jawab soal ketersediaan kamar dan harga sewa. Belum ada dua jam saya di situ kebosanan sudah mulai melanda. Tidak ada hiburan selain memainkan ponsel. Wasnen bilang dirinya sudah terbiasa dengan lingkungan kerjanya. Ia sudah terbiasa menyaksikan berbagai tingkah polah tamunya yang kadang absurd—terutama gara-gara pengaruh alkohol.

Pernah sekali waktu tamunya mabuk berat, nyaris pingsan, sampai harus dibopong olehnya menuju kamar. Pagi harinya, ia harus membersihkan bekas muntah di lantai kamar. Ia memang kadang merangkap sebagai petugas kebersihan. Tak jarang ia menemukan bekas darah di sprei kasur dan harus mencucinya saat itu juga. Wasnen sudah malas mencari tahu dari mana asal darah tersebut.

Iklan

Tonton dokumenter VICE mengenai para penari lelaki di Banyumas mendobrak tabu soal simbol gender melalui kesenian yang nyaris punah:


"Itu semua hal biasa," kata Wasnen. "Pernah juga ada rombongan tamu berpasangan yang menyewa satu kamar. Padahal satu kamar harusnya cuma buat dua orang. Tapi ya enggak mungkin juga melarang, kan mereka bayar."

Hotel kelas melati memang kadang minim pengamanan. Pada 2012, kata Wasnen, di hotel tersebut pernah terjadi pembunuhan seorang perempuan di kamar 109. Ia memang belum bekerja di hotel tersebut waktu itu, namun ia kerap mendengar cerita dari rekan dan warga sekitar. Sampai sekarang pelaku pembunuhan tersebut belum juga tertangkap oleh polisi meski sketsa tersangka sudah disebar. Penyebabnya, tidak ada CCTV yang terpasang dan kartu identitas yang diberikan ke pihak hotel juga nihil. Enam tahun pasca kejadian, sistem manajemen risiko hotel tidak juga berubah.

"Sampai sekarang rasanya masih aneh saja," kata Wasnen. "Kayak ada yang mengganjal ketika tahu Tempat kerja saya bekas pembunuhan. Sampai sekarang untungnya belum ada kejadian aneh lagi di sini."

1532415036126-convert_12

Saya dalam proses magang bersama Wasnen.

Saat jarum jam menuju angka 10, Wasnen beranjak dari kursinya memeriksa situasi setiap lantai hotel. Saya mengikuti dari belakang. Asap rokok menyeruak memenuhi lorong lantai dua. Lorong tersebut senyap dan lengang. Wasnen berkeliling sekadar buat memastikan setiap tamu mematuhi aturan jam sewa. Tidak ada lift di hotel tersebut. Alhasil keliling menuju ke semua lantai jelas menguras energi.

Iklan

"Dalam semalam biasanya ada dua kali muter buat ngecek," kata Wasnen. "Kalau enggak dibawa gerak, badan malah capek cuma duduk-duduk."

Saat tengah malam, beberapa orang tamu masih berdatangan. Salah seorang perempuan dengan dandanan menor dan mulut berbau alkohol bersandar ke meja resepsionis sambil menanyakan apakah pengelola menyediakan kondom. Wasnen menjawab hotel tidak menyediakan barang macam itu. Pria yang datang bersama si perempuan cuma diam sambil memandang jam dinding. Gerak tubuhnya tak sabar ingin segera menyergap kasur di kamar.

Jarum jam memang bergerak lambat ketika tak ada hal yang bisa dilakukan. Ketika jarum jam menunjuk angka 5 di pagi hari. Wasnen bersiap mengakhiri shift-nya. Ia menyeduh kopi sambil duduk-duduk di depan hotel. Saya juga menyeruput kopi, namun mata saya sudah sulit diajak berkompromi.

1532415082970-convert_15

Kayak gini doang pekerjaan saya nyaris semalaman.

Saya pun beranjak pamit dan Wasnen segera menuju kamarnya di lantai delapan untuk beristirahat. Sebelum berpamitan Wasnen sempat bilang ke saya meski sering mendapat cap miring karena kerja di hotel mesum, dirinya mengaku bersyukur karena tidak harus mengemis atau mencuri untuk mencari uang.

"Orang mungkin mikir kerja di hotel ginian tidak membawa manfaat, tapi hotel seperti ini bisa ngasih apa yang selama ini dicari orang, perasaan aman karena enggak ada yang bakal gangguin," tandasnya. "Jadi apa salahnya kerja di hotel seperti ini?"