Hanya sedikit fotografer dan jurnalis foto yang bisa menyamai capaian Neal Preston dalam mengabadikan ikon-ikon musik rock. Daftar rocker kelas dunia yang telah dipotret Preston panjang: dari Michael Jackson, Whitney Houston, Bruce Springteen, hingga Queen. Sepanjang karirnya yang membentang selama 48 tahun, fotografer otodidak kelahiran New York ini menyaksikan kelahiran rock and roll dan tumbuh bersama perubahan budaya yang menyertainya. Preston pernah menelurkan buku koleksi foto Led Zeppelin berisi karya-karyanya selama menjadi fotografer tunggal tur band legendaris asal Inggris itu. Preston bertanggung jawab atas foto-foto dalam kalender Elvira, sang Mistress of Dark, yang keluar pada 1990. Preston pulalah yang ditunjuk oleh Bob Geldof untuk mengabadikan gelaran-gelaran “Live Aid” spectacular pada 1985. Hebatnya, semua prestasi ini diraih Preston tanpa sekalipun ikut kelas-kelas fotografi.
Sebagai seorang fotografer lepas dan pekerja kreatif di New York City, karya-karya Preston jadi inspirasi saya dari hari ke hari. Kepiawaian dan fleksibilitas Preston membuka mata saya pada apa yang bisa dicapai seseorang jika seseorang berdedikasi menghidupi passion-nya. Maka, saat saya mendengar kalau fotografer pujaan saya ini hendak merilis buku baru Neal Preston: Exhilarated and Exhausted (pengantarnya ditulis oleh Cameron Crowe), saya langsung menyambar tawaran untuk mewawancarainya. Preston sangat bermurah hati membagi cerita di balik foto-foto ikonik karyanya dan ngobrol tentang banyak hal dari warisannya dalam kancah fotografi, nasib industri musik hingga cara berpikir yang mengubahnya dari penggemar fotografi saat duduk di bangku SMA menjadi seorang legenda dalam dunia fotografi.
VICE: kalau anda harus mengenalkan diri anda ke orang awam, siapa sih anda dan apa pekerjaan anda?
Neal Preston: saya adalah seorang lelaki yang percaya dengan nasib baik. Saya punya pekerjaan keren yang awalnya saya lakoni sebagai hobi. Tak sedikitpun kepikiran kalau nantinya saya punya karir panjang di dunia fotografi. Saya tak sempat kuliah karena saya terlalu sibuk meniti karir. Jadi, saya adalah seorang pria yang menemukan rock and roll di hari The Beatles manggung di acara Ed Sullivan dan pernah dihadiahi kamera pada umur 11 tahun. Dua hal ini awalnya cuma hobi yang perlahan-perlahan menjelma menjadi hobi yang super keren.
Videos by VICE
Waktu pertama kali kamu dihadiahi kamera, anda sudah mengerti menggunakan kamera foto? Saya dihadiahi kamera pertama oleh kakak ipar pertama saya. Saya punya tiga kakak ipar. Kamera pertama saya adalah Ansco Speedex 4.5. Di lensanya, saya bisa melihat beberapa angka. Lalu, ada bagian yang diputar untuk mengatur kecepatan shutter—awalnya saya buta fungsi angka-angka ini. Lalu, saya sadar kalau saya shutternya putar sedemikian rupa, hasil fotonya bakal seperti ini. Jadi, saya bereksperimen sendiri. Shutter kameranya saya putar sendiri dan saya pakai kameranya untuk mengambil gambar. Sampai di sini, saya setidaknya cukup mampu untuk memotret. Tapi ya, pengetahuan saya tentang fotografi saat itu cuma mentok di situ, selain hal-hal yang semaua orang tahu seperti ambil kameramu dan pastikan matahari ada di atas pundak.
Ayah saya bekerja sebagai stage manager di Broadway. Beliau menangani semua pertunjukan musikal akbar di sana. Makanya, ayah saya dianggap orang penting di era emas teater musikal. Ayah saya bekerja di pertunjukan My Fair Lady, Camelot, Fiddler on the Roof. pertunjukan besar adalah panggung favorit saya. Saya biasanya mengunjungi ayah pada pertunjukan matinee Sabtu siang. Tentu saja, ini saya lakukan setelah cukup umur untuk naik subway.
Suatu kali, saya berhasil memotret Harry Goz. Itu adalah foto pertunjukan yang pertama ambil dan cetak. Ayah kemudian memberikan hasil cetakannya ke Harry. Saya menduga Harry sudah jadi pengemar fotografi waktu itu karena dia punya seri buku tentang fotografi. Harry lantas menitipkan buku-buku itu ke ayah dan ibu untuk diberikan ke saya. Kayaknya, saya langsung mengkhatamkan buku-buku itu dalam satu jam. Selain ilmu dari buku-buku itu, saya pelajari teknik-teknik fotografi lainnya secara otodidak. Sampai hari ini, saya tak pernah mengambil kelas fotografi.
Ada fotografer yang anda jadikan panutan?
Mulanya saya tak tahu nama-nama mereka, tapi begitu saya menggeluti fotografi profesional, saya langsung tahu siapa mereka: Philippe Halsman dan Allan Grant, yang jandanya jadi teman baik saya. Orang-orang ini bisa memotret apa saja. Saya tak mengenal para editor dan bagian editorial jadi karya-karya fotografer inilah yang selalu menarik perhatian saja. Fotografer fesyen panutan saya waktu itu adalah Richard Avedon dan Norman Parkinson, yang kelak saya sadari sebagai sepasang fotografer paling jenius. Tapi, saya tak tertarik mengikuti jejak mereka. Saya lebih dekat dengan fotografer yang memotret (gelaran) musik dan menggagas fotografi musik.
Menurut anda, sepenting apa sih fleksibilitas bagi seorang fotografer?
Sebagai seorang jurnalis foto, fleksibilitas mutlak diperlukan. Biasanya, fotografer hanya piawai di satu area—entah itu advertising, fesyen atau editorial. Semua area ini sudah mencakup segalanya dari jurnalisme foto, foto-foto korporat dan segala wilayah lainnya. Bagi saya, meski spesialisasi saya adalah fotografi musik, saya tahu saya bisa memotret hal dan subyek lainnya dengan berbagai gaya. Bahkan bila gaya yang diminta bukan gaya saya.
Contohnya: untuk sebuah film ‘61 yang disutradarai Billy Crystal, tentang persaingan menciptakan home run antara Mickey Mantle dan Roger Maris pada 1961, saya menghabis dua hari untuk membuang ulang kartu baseball dengan potret dua aktor yang memerankan kedua pebaseball itu. Saya masih bisa menjelaskan betapa kerennya foto-foto itu—yang dibuat sebaik mungkin dengan piranti yang tersedia waktu itu. Artinya, saya bisa mereka ulang foto-foto lama. Malah, akhirnya saya dikenal sebagai orang yang bisa melakukan ini dengan sangat baik.
Apa memori tentang tur yang paling anda ingat sampai sekarang?
Banyak potongan-potongan memori yang masih saya ingat. Jalan-jalan di Tembok Besar Cina bersama Wham! Dan George Michael. Melancong ke Rusia dengan Billy Joel selama dua minggu. Saya tumbuh dewasa di bawah bayang-bayang Perang Dingin dan Krisis Misil Kuba. Alhasil, jalan-jalan ke Rusia sama absurdnya dengan terbang ke Uranus atau Pluto. Saya juga masih ingat ikut Whitney Houston ke Afrika Selatan. Menembus Checkpoint Charlie di Berlin Wall bareng Bryan Adams. Sejauh ini, saya sudah memotret enam penyelanggaraan Olimpiade di Torino, Itali dan Yugoslavia..momen-momen seperti itulah.
Tapi, kalau harus memilih momen paling terus saya ingat, favorit saya adalah ketika Sly Stone nyimeng di mobil saya ketika kami melaju di jalan bebas hambatan. Sly hari itu membawa anvil case kecil dan memakai seragam tentara. Ini kejadiannya tahun 1979—nanti kita obrolin detail kejadiannya. Pokoknya seru lah. Tiba-tiba dari anvil case itu, Sly menarik sebuah obor butana dan sebuah pipa rokok yang tak bsia saya lihat. Dalam sekejap, pemandangan dalam mobil saya berubah menjadi adegan dalam film Cheech and Chong cuma dengan asap yang lebih banyak. Tak ada satupun kejadian yang bisa mengalahkan momen ini.
Apa kegiatan anda saat libur?
Liburan itu seperti bongkahan emas karena saya jarang libur. Apa yang saya lakukan di hari libur? Dengan asumsi ini liburan beneran di mana saya tak harus mengedit foto—jangan lupa, saya memotret dengan kamera analog—selain mengejar kekurangan jam tidur, saya bakal party-party. Orang biasanya berpikir selama tur, kami tak henti pesta-pesta, padahal kenyataannya tidak. Hari libur biasanya saya pakai untuk membereskan kewajiban saya dan tentu saja tidur. Selama tur, kamu bakal kesusahan tidur—bahkan kalau kamu ikut tur band sekelas Captain dan Tennile sekalipun.
Di trailer buku terbaru anda, anda bilang “Saya bukan kisahnya, yang saya kerjakan itulah kisahnya.”
Saya benar-benar percaya ungkapan itu. Kita tahulah fotografer mana saja yang pernah ngomong “semua karya saya berkisah tentang diri saya.” Saya tak akan menyebutkan nama mereka. Tapi, sekali lagi, ini kembali ke bagaimana cara saya memandang pekerjaan ini. Tiap orang punya ego yang harus dipuaskan. Karya saya tak selalu tentang “kalian tahu enggak sih siapa saya?” foto-foto saya lebih sering dibaca sebagai ungkapan “pernah lihat foto ini belum?” di situlah letak ceritanya. Itu pula alasan kenapa saya menyusun buku ini. Buku ini merangkum bagaimana saya menjalani pekerjaan saya, bagaimana saya berdamai dengan stres dan tantangan pekerjaan ini, deadline dan perjalanan yang tak kunjung henti. Lalu, ada juga sedikit tentang pengendalian kepribadian. Pokoknya, hal-hal yang tak terlintas di benak orang ketika memandangi foto Jimmy Page menenggak Jack Daniel’s. Ada segudang buku yang intinya mau bilang “Ini foto Bruce Springteen. Kami menyantap cheeseburger setelah foto ini diambil dan Bruce adalah musisi yang baik hati.” saya punya banyak buku seperti ini. Buku saya sama sekali berbeda.
Seperti apa pola pikir anda ketika sedang memotret pertunjukan?
Ya saya di sana untuk bekerja. Begitu kamu menjejakkan kaki di panggung acara rock and roll, kamu sudah tidak lagi berada di Amerika. Saya tidak peduli apakah acaranya di Topeka, Kansas, Manhattan, LA, manapun. Kamu sekarang berada dalam negara bagian roadies. Oleh sebab itu, merekalah yang paling berkuasa biarpun bandnya yang berada di atas panggung, dan ada protokol yang harus kamu pahami. Kamu belajar menggunakan akal sehat, menjaga mata dan telinga tetap terbuka—dan mulut tertutup. Jangan menginjak apapun, jangan menyentuh apapun, dan bernafas di depan instrumen manapun, itu yang sudah jelas. Pastikan tanda pengenalmu bisa terlihat setiap saat, karena kamu diawasi oleh 12 pasang mata roadie. Dan yang paling penting, jangan mengacau. Begitu kamu mengacau, kamu akan dijatuhkan seperti pesawat musuh yang ditembak. Jangan mengacaukan pekerjaan roadie, karena mereka akan diteriaki karenanya. Kalau saya terjengkal kabel dan kabelnya copot, yang untungnya belum pernah kejadian—hampirlah—habislah saya sudah.
Dan ketika mereka sedang menurunkan peralatan, berhati-hatilah. Rugi besar kalau kamu sampai tertusuk forklift hanya karena kamu sedang berusaha bikin seorang perempuan yang tidak akan kamu temui lagi terpesona. Pokoknya jangan menghalangi pandangan penonton!
Apa pelajaran yang bisa diambil fotografer muda dari bukumu?
Buku saya itu bukan sebuah buku yang menyajikan “cara untuk melakukan sesuatu.” buku saya lebih mirip buku yang mengisahkan “bagaimana dulu saya melakukanya. Banyak yang sudah berubah dalam bisnis ini semenjak saya memulai karir sebagai fotografer musik. Saya besar sebelum era internet, ponsel, sebelum budget foto menurun. Banyak generasi muda yang bertanya pada saya, “Gimana sih caranya masuk ke bisnis fotografi?”
Ini sebetulnya bisa dibaca sebagai sebuah kabar baik dan kabar buruk sekaligus. Kabar baiknya sekarang lebih banyak outlet yang disedikan internet agar orang bisa melihat karyamu. Kabar buruknya, bayarannya sangat kecil, kalau tak bisa dibilang sangat merendahkan. Nasihat terbaik yang bisa saya berikan ke fotografer muda adalah: ikutilah band yang kamu suka. Kalau mereka sukses, kamu akan menjadi orang kepercayaan mereka. Mereka akan mengatakan ke orang-orang, “Ini foto-foto yang bisa dipake.” Beginilah caranya agar namamu dikenal di industri fotografi—cara terbaik untuk membuktikan diri sendiri. Kamu tidak akan kemana-mana hanya dengan mengontak Rolling Stone dan mengirimkan 18 portfolio.
Kamu kerap menggunakan foto hitam-putih dengan kontras tinggi, dan warna hitam pekat. Apakah ini “gayamu?”
Itu adalah gaya yang saya suka. Biasa disebut “high-key.” Gaya saya memfoto pertunjukan adalah asli milik saya. Kalau ngomongin fotografi di atas panggung, saya tahu persis apa yang harus dilakukan. Saya suka warna hitam tinta, istilah yang digunakan Woody Allen ketika syuting Manhattan. Saya suka latar belakang bersih—semakin sedikit obyek di latar belatang, semakin bagus. Singkirkan tiang-tiang mikrofon kalau kamu bisa. Kalau untuk yang high-key, memang ada elemen dramatisnya, tapi saya sudah melakukan ini semenjak SMA. Dalam frame orisinil Bob Marley, ada penyanyi latar yang merusak foto tersebut. Ketika sedang dalam proses kamar gelap, bagian tersebut dihitamkan tanpa perlu dihapus. Saya tahu ketika sedang melihat foto yang kuat. Saya tidak suka membuang foto kecuali itu memang benar-benar harus dilakukan.
Ada cerita di balik foto Freddie Mercury yang legendaris itu?
Foto itu diambil di awal konser. Di lagu pertama malah. Saya waktu baru sadar kalau itu frame ketiga yang saya pakai. Jadi, saya terus bekerja. Saya boro-boro terpkir ‘Yes! Dapat foto ikonik nih!’. Saya terus memotret. Filmnya sendiri baru saya lihat esoknya. Semua fotografer yang berani bilang ‘saya dapat foto ikonik ini,’ sepuluh menit setelah fotonya diambil, sebenarnya tak tahu apa-apa tentang pekerjaan mereka. Mereka mungkin malah tak mendapatkan foto ikonik yang mereka maksud—kamu butuh waktu dan sedikit renungan untuk melihat ulang masa lalu.
Anda mau dikenang sebagai apa?
Saya pengin dikenang sebagai seorang profesional. Saya belajar banyak dari sosok seperti Ken Regan, pemilik agen fotografi Camera 5. Nama besar di dunia jurnalisme foto. Modalnya cuma kesabaran mendengarkan dan mengamati. Ken seperti kakak bagi saya dan seorang profesional yang paripurna. Jadi, ya, saya pengin jadi seorang profesional yang paripurna. Sekujur karya kamu pada akhirnya akan bicara untuk dirinya sendiri. Intinya, saya memperlakukan orang dengan adil dan tidak berpikir segala tantang diri saya. Ego saya tak perlu dipuaskan dengan cara seperti itu. Pokoknya, saya bakal terus memotret dan menghargai karya-karya fotografer sebelum saya.
Pesan buku Neal Preston: Exhilarated and Exhausted sekarang juga.
Colek Elijah Dominique di Instagram .