FYI.

This story is over 5 years old.

Menembus Batas

Mengasah Mimpi Menyempurnakan Tangan Robot Digerakkan Pikiran

Teknologi tangan sibernetik karya tiga alumni ITB menyimpan potensi besar membantu difabel dan penderita stroke beraktivitas secara normal. Masa depan ala sains fiksi bukan cuma mimpi.
Foto ilustrasi, hasil pengembangan Pentagon memakai teknologi sibernetik sejenis yang dihasilkan mahasiswa ITB pada 2014. Sumber foto DARPA/via Reuters.

Berkat sains fiksi, kita sekarang terbiasa pada konsep prostetik, alias pemanfaatan teknologi organ buatan. Dari kisah macam Star Wars hingga Akira, penggantian organ tubuh dengan fitur sibernetik adalah hal yang lazim terjadi. Siapa sangka, kemunculan teknologi macam itu ternyata tak perlu menunggu distopia terjadi. Pada 2014, di Indonesia, tiga mahasiswa tingkat akhir Institut Teknologi Bandung bahkan sudah berhasil menciptakan prototipe tangan sibernetik yang bisa digerakkan pikiran. Hebatnya lagi, jika sukses diproduksi massal, maka teknologi itu akan bisa membantu para difabel di Indonesia.

Iklan

Sosok di balik penciptaan tangan sibernetik itu adalah Ausi Hernanto, Muhammad Husni, dan Makmur Koko. Motivasi mereka sederhana: dengan tangan robotik tersebut, penyandang disabilitas dapat beraktivitas lebih mudah di kehidupan sehari-hari. Fokus utama mereka saat itu adalah membantu penderita stroke yang tidak mampu menggerakkan tubuh.

"Ketika akhirnya dipresentasikan, prototipe ini bisa dibilang berhasil walaupun jauh dari sempurna," kata Ausi kepada VICE.

Ausi, Koko, dan Husni selama setahun lebih mencoba mengembangkan cara agar tangan robot itu dapat terkoneksi dengan otak. Solusinya, mereka memasang headset wireless ke kepala pengguna yang mendeteksi gelombang otak. Lalu gelombang otak itu diterjemahkan komputer untuk ganti menggerakkan tangan robot.

Konsep itu tampak indah dalam teori, namun praktiknya sangat sulit dilakukan. Gelombang otak harus bisa diterima oleh komputer tanpa interupsi. Dampaknya pengguna harus sangat berkonsentrasi jika ingin menggerakkan tangan. Lebih-lebih memindahkan barang menggunakan tangan sibernetik tersebut.

Ide mengembangkan tangan sibernetik ini muncul saat Ausi, Koko, dan Husni bersama-sama mengembangkan Brain Computer Interface (BCI), sebuah teknologi menerima maupun memproses gelombang otak. Keputusan memanfaatkan BCI untuk membantu penyandang disabilitas datang dari alasan yang sangat personal. "Saat kami mengerjakan proyek ini, ada teman dekat kami yang terserang stroke dan akhirnya tangannya lumpuh," kata Ausi.

Iklan

Tonton dokumenter VICE mengenai infrastuktur kota-kota di Indonesia yang masih tak ramah terhadap difabel:


"Tangan sibernetik ini masih perlu disempurnakan agar dapat merespons gelombang otak lebih cepat dan lebih akurat," kata Ausi. Saat diujicoba, ada pengguna yang berhasil menggerakkannya dan ada yang gagal. "Ini karena tidak fokusnya otak ketika menggunakan alat. Untuk meningkatkan kemampuan pengguna dalam mengoperasikan BCI, perlu juga diadakan pelatihan khusus," imbuh Ausi.

Pekerjaan rumah lain yang belum selesai adalah membuat piranti sibernetik ini lebih portabel, sehingga mudah dibawa ke mana-mana oleh penggunanya kelak. "Jika sudah semakin matang, maka teknologi ini bisa diaplikasikan tidak hanya untuk penderita stroke namun juga orang-orang yang organnya terpaksa diamputasi," kata Ausi.

BCI adalah teknologi relatif anyar yang sebenarnya pondasinya sudah dipersiapkan bertahun-tahun lalu. Sejak awal, kampus-kampus dunia berkolaborasi mengembangkan BCI memang dengan tujuan membantuk manusia yang berstatus difabel agar dapat menggerakkan tubuh dan menormalisasi fungsi saraf motoriknya. Ketika dirilis pada momen Electrical Engineering Days (EE-days) yang diselenggarakan oleh Teknik Elektro ITB Juni 2014, tangan sibernetik tersebut memperoleh sambutan meriah dari sesama mahasiswa maupun birokrat kampus.

Sayangnya, seperti banyak proyek mahasiswa lain, tangan sibernetik karya Ausi, Koko, dan Husni masih butuh pengembangan lebih lanjut. Mereka masih 21 tahun saat mengerjakan proyek tersebut. Karena tuntutan hidup, Ausi kini bekerja sebagai manajer perusahaan teknologi lokal. Dia tak lagi bergabung dalam penyempurnaan tangan sibernetik, begitu pula dua sobatnya yang terlibat dalam proyek ini.

Pengembangan tangan sibernetik ini sekarang diteruskan oleh tim mahasiswa Teknik Elektro ITB. Kampus dikabarkan terus menyokong pendanaannya. Diharapkan, dalam waktu dekat teknologi sibernetik ini bisa mencapai tahap produksi massal dan mudah digunakan siapapun.

Bantuan teknologi ini akan memberi kemajuan besar bagi para penyandang disabilitas yang selama ini dirugikan oleh pembangunan infrastruktur yang tidak ramah terhadap mereka. Aksesibilitas akan menjadi faktor penting yang memudahkan mereka beraktivitas. Dengan begitu, hambatan difabel untuk mengakses lapangan pekerjaan semakin terbuka.

Tentu saja, teknologi sibernetik tak cuma terbatas pada tangan. Mata bionik, seperti di film-film barangkali bukan mimpi belaka. Terobosan yang diupayakan Ausi, Koko, dan Husni, adalah sumbangan besar yang membuat kita di Indonesia bisa terus bermimpi bahwa masa depan akan berubah menjadi lebih baik.