FYI.

This story is over 5 years old.

teater

Teater Musikal 'SpongeBob SquarePants' Adalah Penyelamat Umat Manusia

Sekilas, pertunjukan musikal ini mirip dengan episode biasa dalam serial SpongeBob SquarePants, bedanya kali ini ada bel dan peluit khas Broadway.
via VICE

Teater Broadway adalah tempat berlindung yang paling asik saat New York sedang dingin-dinginnya. Kalian enggak cuma bakal merasa bak duduk di depan tungku api yang hangat, tapi kalian akan disuguhi sajian teater yang penuh dengan nyanyian, tarian dan kostum-kostum yang wah.

Ini yang bikin nonton Teater Broadway jauh lebih berharga dari nonton maraton berpuluh-puluh judul serial di Netflix selama seminggu penuh, misalnya. Lebih dari itu, Broadway selalu menyiapkan kisah-kisah yang sudah kita akrabi namun disuguhkan dengan cara yang belum pernah kita rasakan sebelumnya. Tak ayal, kalau dari Teater inilah lahir pertunjukkan macam Spamalot dan American Idiot.

Baru-baru ini, Teater Broadway kembali menunjukkan kelasnya dengan menyajikan pertunjukan Live Action SpongeBob SquarePants: The Broadway Musical, sebuah pertunjukkan yang sudah kita cari celahnya. Awalnya, saya agak sangsi kalau saya bakal terhibur. Pasalnya, saya bukan tipe orang yang suka nonton teater (enggak usah ditanya kenapa deh). Barangkali kalian belum tahu, pertunjukan ini dapat ulasan penuh pujian di New York Times loh. Jadi, seenggaknya ada jaminan kalau pertunjukannya memang berkualitas dan saya jadi enggak males-malesan nonton

Selama pertunjukkan live action ini, semua tokoh dalam serial Nickelodeon ini diperankan oleh aktor tanpa mengenakan kostum binatang laut (btw, spons itu hewan laut ya, jangan lupa!). Dalam penampilan pertama di Broadway, Ethan Slater sukses memerankan spongebob lengkap dengan segala kepolosannya. Mungkin kalian agak susah memercayai kalau manusia bisa berperan sebagai spons yang konyol, lugu dan baik hati. Tapi, Slater beneran bisa berakting sebagai Spongebob kok. Enggak percaya? Ya silakan ke Broadway sendiri buat nonton. Kerap kali memamerkan senyum culun ala Spongebob, Slater berhasil menambal kekurangan fisiknya sebagai spongebob dengan tindak-tanduk khas spons berwarna kuning itu di atas panggung. Saya sampai kesusahan untuk memisahkan mana Slater dan mana SpongeBob begitu sang aktor membungkuk di akhir pertunjukkan. Begitu Lilli Copper dan Danny Skinner, keduanya berhasil menampilkan performa live action terbaik karakter tupai laut Sandy Cheeks dan bintang laut tolol Patrick Star, secara berturut-turut. Jai'len Christine Li Josey yang memerankan Pearl hampir mencuri perhatian. Suaranya memancing gelak tawa penonton saat dia curhat tentang ketamakan ayahnya Mr. Krabs (Brian Ray Norris). Di sisi lain, lagu rap yang dinyanyikan oleh Plankton (Wesley Taylor) juga bukan lagu rap biasa—tak jauh beda dari lagu-lagu rap tentang kehidupan jalanan. Sementara itu, Gavin Lee, yang memerankan Squidward, mendapatkan standing ovation saat menyanyikan lagi “I’m Not a Loser,” yang diciptakan oleh dua anggota band nerd They Might Be Giants, John Flasburg dan John Linnell—saya juga ikut-ikutan meneteskan air mata saat memberikan aplause bagi performa Lee yang sangat menyentuh. Dinyanyikan Lee yang mengenakan kostum yang terdiri dari stocking jala, top hat dan tongkat, lagu tersebut terdengar mrip seperti “Puttin’ on the Ritz” di Young Frakenstein, bedanya yang bernyanyi kali ini adalah seekor cumi-cumi sendu. Selain “I’m Not A Loser,” penonton juga disuguhi cover lagu dari David Bowie dan Brian Eno, T.I. Panic! at the Disco, John Legend dan banyak lagu lainnya. Inilah yang membuat live action Spongebob berada beberapa kelas di atas pertunjukan sejenisnya. Banyak anak-anak—dan orang tuanya—terlihat tersenyum, ikut bernanyi dan berjoget selagi lagu-lagu itu dimainkan di berbagai adegan, dari adegan legendaris berburu ubur-ubur dan momen-momen sebelum kehancuran melanda Bikin Bottom—cerita yang kayaknya sering banget muncul dalam serial Spongebob Plotnya pertunjukkan sendiri bercerita tentang gunung berapi yang bakal meletus dalam waktu dekat, SpongeBob cs hanya punya waktu dua hari untuk memikirkan cara menyelamatkan diri. Berbekal cerita seperti ini, penonton sudah pasti bakal menyaksikan para pemain berlarian dalam lingkaran, berteriak-teriak dan melambai-lambaikan tangan mereka—bonusnya, penonton disuguhi selipan referensi mengenai hubungan sesama jenis, perang, kapitalisme, gaya hidup sehat dan penyelamatan ekosistem laut di sana-sini. Sekilas, pertunjukan musikal ini mirip dengan episode biasa dalam serial SpongeBob SquarePants, bedanya kali ini ada bel dan peluit khas Broadway. Kalian tak salah kalau mengira saya keranjingan nonton live action SpongeBob di Broadway. Kalau boleh nambah, barangkali saya bakal menonton penonton pertunjukan ini barang satu atau dua jam lagi. Saya enggak sendirian kok. Di sebelah saya, duduk seorang ibu dan putranya yang datang jauh-jauh dari South Dakota. Mereka sedang liburan dan menginap di Time Square. Ini kali pertama mereka melancong ke New York. kepada saya, mereka mengaku sebagai “fans berat” SpongeBob. Sepanjang pertunjukan saya menyempatkan diri melirik ke arah mereka. Saya enggak bisa tidak melakukannya lantaran mereka terus menunjukan reaksi yang kamu jarang temukan dalam: kebahagiaan hakiki. SpongeBob, saya rasa, enggak cuma bakal menyelamatkan Bikini Botton, tapi seluruh umat manusia.